Ramadan seharusnya menjadi bulan di mana umat Islam melatih diri untuk hidup sederhana, menahan hawa nafsu, dan memperkuat solidaritas. Namun, di Indonesia, Ramadan justru menjadi puncak aktivitas konsumsi.
Kebiasaan berbelanja, sebulan atau lebih, sebelum hari raya dikonfirmasi oleh 43,18% responden.
Sebanyak 68,73% responden mengalami peningkatan anggaran belanja selama bulan Ramadan, dengan alasan tradisi buka puasa bersama dan pembelian barang baru sebagai persiapan Lebaran.
Itulah sedikit cuplikan perilaku masyarakat dalam menyambut Ramadan melalui pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas periode 10-12 Mei 2017 di 12 kota besar di Indonesia.
Survei Kurious memperbaruinya, tahun 2023 menunjukkan 84 persen responden menyatakan pengeluarannya cenderung lebih besar saat Ramadan dibanding bulan-bulan lainnya.
Masyarakat Indonesia cenderung mulai berbelanja sekitar dua minggu sebelum Lebaran, dengan puncak belanja terjadi pada satu minggu sebelum hari raya (60%).
Di Indonesia, menjelang Hari Raya Idul Fitri, kebiasaan berbelanja besar-besaran menjelang Lebaran menjadi fenomena yang hampir tidak terhindarkan.
Masyarakat seringkali berfokus pada pembelian pakaian baru, perlengkapan rumah tangga, dan makanan, dengan tujuan menyambut hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa.
Namun, fenomena ini semakin memunculkan pertanyaan:Â Apakah kebiasaan ini bertentangan dengan semangat asli Ramadan yang seharusnya lebih mengarah pada kesederhanaan, peningkatan spiritualitas dan pengendalian diri?
Pola Perilaku BelanjaÂ
Vemale.com mewawancarai Haikal Bekti Anggoro, Head of Digital Marketing Lazada Indonesia yang menyebutkan bahwa fashion muslim lengkap dengan aksesorisnya, paling banyak terjual.
Hal serupa juga ada di Shopee, di mana gamis, sepatu wanita, gamis syar'i, flat shoes dan alat sholat wanita masih menjadi favorit masyarakat Indonesia jelang Ramadan.
Sebanyak 300.000 transaksi per hari dan terus meningkat setiap tahunnya. Pembelian gadget termasuk "the big three" kategori yang banyak dibeli, yaitu 17 persen.
Menurut Google, lalu lintas web e-commerce melonjak hingga hampir 152%Â selama periode Ramadan.
Untuk belanja daring, kategori barang tiga teratas yang dibeli oleh konsumen adalah mobile data/internet plans (86%), fashion and apparel (78%), dan personal care and cosmetics products (70%).
Untuk belanja luring, kategori barang tiga teratas yang dibeli oleh konsumen adalah medicine and vitamins (48%), food and drinks (46%), dan household appliances (29%).
Sedangkan survei tSurvey.id menemukan kebiasaan berbelanja sebelum hari raya adalah sebagai berikut:
Sebanyak 77% responden memilih kategori makanan dan minuman, diikuti fashion (58%), elektronik dan beauty & health (11%), peralatan rumah tangga (8%), furnitur dan dekorasi (6%), mainan & hobi (4%), otomotif (3%), buku & kantor (2%), dan kategori lainnya (15%).
Berdasarkan data dari berbagai sumber, total pengeluaran untuk belanja kebutuhan rumah tangga dan produk lainnya selama Ramadan bisa berkisar antara Rp1 triliun hingga Rp5 triliun.
Budaya Konsumtif dalam Masyarakat Modern
Fenomena konsumsi yang berlebihan, seperti berbelanja menjelang Hari Raya Idul Fitri, sesungguhnya terjadi di hampir semua negara.
Di India, menjelang Diwali, festival cahaya yang sangat dirayakan, masyarakat berbelanja secara besar-besaran. Barang-barang yang dibeli termasuk pakaian baru, dekorasi rumah, dan perhiasan. Begitu juga di Amerika Serikat menjelang Natal dan Tahun Baru.
Pasar e-commerce global mendorong budaya belanja di antaranya, hari-hari penjualan seperti Black Friday, Cyber Monday, dan Singles' Day di Tiongkok, yang dikenal sebagai festival belanja 11.11 (sindoshipping.com, 29/4/2021).
Bahkan, Singles' Day 2022, Alibaba mencatat penjualan senilai lebih dari USD84,5 miliar dalam satu hari.
Dalam masyarakat modern, individu tidak lagi menjadi subjek yang sadar dan berdaulat atas kebutuhan dan keinginan mereka.
Sebaliknya, mereka menjadi objek yang dikendalikan oleh mekanisme pasar, yang mendorong mereka untuk terus mengonsumsi barang dan jasa tanpa memperhatikan nilai-nilai sosial atau spiritual.
Kebiasaan berbelanja menjelang Hari Raya dapat dipandang sebagai manifestasi dari kebiasaan masyarakat modern tersebut.
Ketika masyarakat dipaksa untuk membeli berbagai barang, mereka tidak lagi mengonsumsi untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, tetapi untuk memenuhi tuntutan pasar yang dikemas dalam iklan, promosi, dan tradisi yang didorong oleh startup e-commerce.
Teori Hegemoni Gramsci menjelaskan, iklan-iklan di televisi dan media sosial seringkali menggambarkan hari raya sebagai momen di mana seseorang harus memiliki pakaian baru, perabotan baru, dan bahkan mobil baru.
Narasi ini tidak hanya mendorong konsumsi berlebihan, tetapi juga menciptakan tekanan sosial bagi mereka yang tidak mampu mengikutinya.
Akibatnya, Ramadan yang seharusnya menjadi bulan untuk memperkuat solidaritas sosial, justru menjadi bulan di mana kesenjangan ekonomi semakin terasa.
Konsumerisme Ramadan: Sebuah Kontradiksi Spiritual
Konsumerisme yang diperkenalkan melalui berbagai saluran media dan iklan, membentuk pandangan dunia yang menyatakan bahwa kebahagiaan dan identitas seseorang terletak pada kepemilikan barang dan status sosial yang terkait dengannya.
Ideologi ini mengarah pada pembentukan pola pikir bahwa "kebahagiaan" dan "kesuksesan" seseorang dapat diukur dengan materi, termasuk pakaian dan kendaraan baru.
Dalam konteks Ramadan, di mana umat Muslim diharapkan untuk menahan hawa nafsu, mengendalikan keinginan, dan memperbanyak ibadah, kebiasaan berbelanja sebelum hari raya justru mereduksi esensi dari bulan suci tersebut.
Data dari Bank Indonesia (2022) menunjukkan bahwa menjelang Lebaran, terjadi peningkatan signifikan dalam belanja konsumen, terutama untuk pakaian, makanan, dan barang-barang elektronik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga merambah ke daerah-daerah pedesaan.
Kebiasaan belanja secara berlebihan sebelum Lebaran ini dapat dilihat sebagai bentuk kontradiksi spiritual. Umat Islam berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi di sisi lain, mereka terjebak dalam lingkaran konsumsi yang terus berulang.
Menurut Marx, kapitalisme menciptakan "fetisisme komoditas", di mana nilai suatu barang tidak lagi ditentukan oleh kegunaannya, tetapi oleh nilai tukarnya dalam pasar.
Dalam konteks Ramadan, fetisisme ini terlihat jelas ketika barang-barang seperti pakaian baru, gadget baru, dan mobil baru menjadi simbol status sosial, bukan kebutuhan riil.
Konsumsi berlebihan ini seringkali mengakibatkan utang yang menumpuk. OJK menunjukkan bahwa menjelang Lebaran, terjadi peningkatan permohonan kredit konsumen, termasuk kredit tanpa agunan yang memiliki bunga tinggi.Â
Hal ini menciptakan beban finansial jangka panjang bagi banyak keluarga, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
Seharusnya, Ramadan menjadi waktu yang memfokuskan individu pada nilai-nilai kesederhanaan, kepedulian sosial, dan spiritualitas, bukan pada kecenderungan untuk memenuhi keinginan konsumtif yang justru menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi.
Implikasi Terhadap Spiritualitas dan Praktik Ibadah
Ramadan adalah waktu untuk merenung, mengendalikan diri, dan meningkatkan kualitas ibadah. Namun, kebiasaan konsumtif ini berisiko mengalihkan fokus umat Muslim dari esensi spiritual Ramadan.
Konsumsi berlebihan bisa merusak tujuan utama Ramadan, yaitu memperdalam ketakwaan dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan.
Dengan melupakan prinsip dasar pengendalian diri yang diajarkan dalam puasa, umat Muslim justru terjerat dalam kebiasaan konsumtif yang lebih berorientasi pada duniawi daripada ukhrawi.
Hal ini berkontribusi pada hilangnya kesederhanaan dalam hidup, yang sejatinya menjadi salah satu nilai yang diajarkan dalam ajaran Islam, terutama dalam konteks Ramadan.
Kesimpulan
Fenomena berbelanja sebelum hari raya secara berlebihan ini bukan hanya sekadar masalah budaya, tetapi juga masalah struktural yang memperkuat ketimpangan sosial dan ekonomi.Â
Untuk mengembalikan makna spiritual Ramadan, diperlukan kesadaran kritis terhadap praktik-praktik konsumerisme yang telah menggerogoti nilai-nilai dasar agama: Kesederhanaan, kepedulian sosial, dan spiritualitas.
Tanpa itu, Ramadan akan terus menjadi bulan di mana kapitalisme merayakan kemenangannya, sementara umat Islam kehilangan esensi ibadah yang sejati.
"Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya" (QS-Al-Isra : 27).
Referensi:
Althusser, Louis. (1971). Ideology and Ideological State Apparatuses. In Lenin and Philosophy and Other Essays. Monthly Review Press.
Bank Indonesia. (2022). Laporan Perekonomian Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2022). Tingkat Kemiskinan di Indonesia.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks.
Harvey, David. (1989). The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change. Blackwell.
Kumar, Krishan. (2000). Marxism and Modernity. Polity Press.
Marx, Karl. (1990). Das Kapital, Volume I. Penguin Classics.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2022). Data Kredit Konsumen.
Schor, Juliet B. (1998). The Overspent American: Why We Want What We Don't Need. Harper Perennial.
https://kfmap.asia/blog/bagaimana-perilaku-belanja-saat-bulan-ramadhan/3101
https://tsurvey.id/portal/memahami-perubahan-perilaku-konsumen-indonesia-di-bulan-ramadan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI