Budaya Konsumtif dalam Masyarakat Modern
Fenomena konsumsi yang berlebihan, seperti berbelanja menjelang Hari Raya Idul Fitri, sesungguhnya terjadi di hampir semua negara.
Di India, menjelang Diwali, festival cahaya yang sangat dirayakan, masyarakat berbelanja secara besar-besaran. Barang-barang yang dibeli termasuk pakaian baru, dekorasi rumah, dan perhiasan. Begitu juga di Amerika Serikat menjelang Natal dan Tahun Baru.
Pasar e-commerce global mendorong budaya belanja di antaranya, hari-hari penjualan seperti Black Friday, Cyber Monday, dan Singles' Day di Tiongkok, yang dikenal sebagai festival belanja 11.11 (sindoshipping.com, 29/4/2021).
Bahkan, Singles' Day 2022, Alibaba mencatat penjualan senilai lebih dari USD84,5 miliar dalam satu hari.
Dalam masyarakat modern, individu tidak lagi menjadi subjek yang sadar dan berdaulat atas kebutuhan dan keinginan mereka.
Sebaliknya, mereka menjadi objek yang dikendalikan oleh mekanisme pasar, yang mendorong mereka untuk terus mengonsumsi barang dan jasa tanpa memperhatikan nilai-nilai sosial atau spiritual.
Kebiasaan berbelanja menjelang Hari Raya dapat dipandang sebagai manifestasi dari kebiasaan masyarakat modern tersebut.
Ketika masyarakat dipaksa untuk membeli berbagai barang, mereka tidak lagi mengonsumsi untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, tetapi untuk memenuhi tuntutan pasar yang dikemas dalam iklan, promosi, dan tradisi yang didorong oleh startup e-commerce.
Teori Hegemoni Gramsci menjelaskan, iklan-iklan di televisi dan media sosial seringkali menggambarkan hari raya sebagai momen di mana seseorang harus memiliki pakaian baru, perabotan baru, dan bahkan mobil baru.
Narasi ini tidak hanya mendorong konsumsi berlebihan, tetapi juga menciptakan tekanan sosial bagi mereka yang tidak mampu mengikutinya.