[caption id="attachment_358342" align="aligncenter" width="600" caption="Kala Makara, pintu gerbang utama Taman Mini Indonesia Indah nan megah. Foto diambil pada Minggu 29 Maret 2015. (Foto Ganendra)"][/caption]
MATAKU tak sedikitpun mengerjap. Sembari memicingkan mata kananku, aku asyik mengintip dibalik bingkai kecil itu. Sebuah obyek yang ‘menggoda' menjadi target bidikan kameraku. Dua bocah perempuan. Tanpa hirau, berdua fokus melenggak lenggokkan badannya dengan gemulainya. Sambil berdiri berhadapan tak henti mengulang-ulang gerakan. Gerakan sebuah tarian. Jari jemarinya membentuk simpul, diayunkan mengikuti gerakan bibir yang menghitung angka. Satu dua... tiga empat... satu dua.. tiga empat. Kakinyapun harmonis mengikuti hitungan, berpadu padan dengan gerakan badan dan ayunan tangan.
Sementara sekumpulan bocah lainnya yang melakukan gerakan tarian yang berbeda disampingnya, tak membuatnya terganggu. Laki-laki dan perempuan. Sementara Ruri, demikian nama seorang remaja memperhatikan dengan seksama. Ruri sedang menggantikan peran instruktur yang tak hadir di kesempatan latihan Minggu siang itu.
"Kami sedang latihan Tari Dayak, Om," jawabnya saat aku tanya di sela-sela latihan mereka di Anjungan Kalimantan Barat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Minggu 29 Maret 2015.
[caption id="attachment_358344" align="aligncenter" width="600" caption="Setiap hari Minggu, anak-anak ini berlatih menari, khususnya tarian Dayak di Anjungan Kalimantan Barat. Foto diambil pada Minggu 29 Maret 2015. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358363" align="aligncenter" width="600" caption="Sebuah panggung mini di Anjungan Kalimantan Barat ini menjadi tempat latihan menari Ruri dan kawan-kawannya. Foto diambil Minggu 29 Maret 2015. (Foto Ganendra)"]

Bocah-bocah dari ragam usia itu nampak sekali bersemangat. Wajah-wajah berkeringat mereka tak sedikitpun terlihat lelah. Mereka bergembira. Mereka mungkin tanpa sadar telah berperan melestarikan budaya adat mereka. Tarian adat Suku Dayak Kalimantan Barat, yang bahkan bukan dari suku mereka sendiri. Yaaa, bocah-bocah yang tergabung di Sanggar Borneo Khatulistiwa itu adalah bocah-bocah yang tinggal di seputaran TMII. Dari beragam sekolah yang berbeda. Dari budaya yang berbeda. Entah apa yang kurasakan melihat mereka berlatih tarian. Tak banyak yang bisa kuucapkan. Aku benar-benar takjub. Hal yang lama sekali tidak pernah aku lihat langsung. Sebuah emosi yang mungkin bergejolak dari lubuk paling dalam. Aku sedang terharu.
Mungkin bocah-bocah itu hanya merasakan kegembiraan bisa menari. Atau mungkin mereka senang dapat berinteraksi dengan kawan-kawannya, bermain dengan berlatih tarian. Mungkin mereka tidak menyadari, bahwa aktivitas berlatih menari mereka itu adalah sangat bernilai. Bukan sekedar tarian, namun sebuah simbolisasi kecintaan pada budaya yang tumbuh perlahan dalam jiwa mereka. Bersemi dan kian memancar dalam setiap gerakan mereka. Dan aku bilang itu suatu hal yang langka di masa kini.
[caption id="attachment_358345" align="aligncenter" width="600" caption="Mereka tergabung di Sanggar Borneo Khatulistiwa yang sering pentas di TMII. (Foto Ganendra)"]

Minggu, 29 Maret 2015 siang, aku sengaja menyempatkan diri mengunjungi ‘miniatur Indonesia' itu. Taman Mini Indonesia Indah yang akan memasuki usia 40 tahun pada 20 April 2015 mendatang. Aku sudah beberapa kali datang ke obyek wisata budaya kebanggaan bangsa ini. Terakhir ke TMII pada tahun lalu saat acara Kompasianival 2014 yang digelar Kompasiana. Sebelumnya pernah datang berkunjung pada 2010.
Mengenang kembali, tepatnya 26 Juni 2010 aku mengantarkan keponakan yang masih duduk di SMP waktu itu. Dia sangat menyukai taman seluas 150 hektar ini. Mulai dari replika rumah adat, Istana bermain, ragam museum, kereta gantung dan lain-lain. Museum menjadi tempat favoritnya.
[caption id="attachment_358348" align="aligncenter" width="600" caption="Linda (berbaju merah) keponakanku yang kuajak ke TMII pada Juni 2010. (Foto Ganendra)"]

Beragam wahana TMII yang bermaskot tokoh wayang Hanoman bernama NITRA (Anjani Putra) ini, sarat edukasi dan penting khususnya bagi generasi muda. Satu hal yang penting diketahuinya adalah Indonesia dengan berbagai suku dan budaya adalah menyatu dalam satu negeri Indonesia. Kekayaan budaya yang beragam seperti yang dipelajarinya di sekolah, adalah satu dan bukan menjadi perbedaan yang membuat pertentangan. Bhinneka Tunggal Ika. Dia jadi tahu rumah adat Minang, rumah Toraja, Papua, rumah adat Bali dan masih banyak lagi. Yang jelas tidak hanya mengetahui dari teori buku bacaan di sekolahnya, namun menyaksikan sendiri karya cipta budaya nenek moyangnya. Dan ini sangatlah penting ditanamkan pada generasi seusia dia.
[caption id="attachment_358400" align="aligncenter" width="600" caption="Maskot TMII, tokoh wayang Hanoman yang dinamakan NITRA (Anjani Putra). Maskot ini diresmikan penggunaannya oleh Ibu Tien Soeharto, bertepatan dengan dwi windu usia TMII, pada tahun 1991. (Foto Ganendra)"]

Corak Kental Budaya Nusantara di TMII
Memasuki pintu utama TMII, corak budaya kental dengan arsitektur gerbang nan megah. Keliatan dari jarak jauh seperti sayap-sayap melengkung yang siap ‘terbang'. Kala Makara demikian pintu gerbang itu disebut. Konon di setiap bangunan di TMII mengandung makna, termasuk Kala Makara ini. Almarhumah Ibu Tien yang menjadi penggagasnya. Bentuk tiga lengkungan tersebut menunjuk pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Makna yang sesuai dengan arti Kala Makara, yakni lorong waktu. Bentuknya megah Kala Makara menjadi sebuah simbol keragaman budaya yang ada di seluruh Indonesia.
Memasuki ‘lorong waktu' loket di gerbang pintu utama, mesti membeli tiket seharga Rp. 16.000,- untuk satu orang dan bea sepeda motor. Kita akan disambut oleh para petugas pintu gerbang utama ini. Special di setiap hari Minggu, semua petugas mengenakan pakaian adat Betawi. Tak heran di setiap sudut di dalam TMII, kita akan melihat pemandangan ‘budaya' pakaian adat Betawi. Sebuah corak bernuansakan budaya sudah dimulai dari petugasnya. Praktis saat masuk membeli tiket hingga nanti berkeliling di dalam taman luas itu, akan banyak dijumpai petugas berpakaian Betawi. Pakai celana batik plus sarung yang dililitkan di leher. Suasana makin adem dan bersahabat rasanya. Senang juga bisa berkesempatan berfoto dengan petugas di salah satu loket bagian dalam. Para petugas lumayan ramah dan bersahabat pada setiap pengunjung.
[caption id="attachment_358376" align="aligncenter" width="600" caption="Penulis (tengah) berfoto bersama petugas TMII yang berbusana adat Betawi. (Foto Ganendra)"]

Langkah kakiku perlahan melewati ‘lorong waktu' Kala Makara dan beranjak ke bagian dalam. Suasana yang sangat ramai di bagian paling depan. Pengunjung ada disana sini bak mendapatkan taman bermain besama keluarga maupun teman-temannya. Apalagi buat anak-anak, senang bukan main. Sayup-sayup suara musik terdengar dari kejauhan. Ramai. Keingintahuan menuntun kakiku menghampiri suara itu. Ternyata? Sekumpulan orang asyik bergoyang diiringi lagu-lagu dangdut! Sebuah pentas non permanen menjadi ajang ‘Gebrak Dangdut' di area samping kiri nampak riuh. Pengunjung berjoget dengan semangat mengikuti alunan lagu dangdut yang memang mendorong untuk bergoyang. Musik yang memang kental dengan nada-nada mengajak bergoyang benar-benar dinikmati pengunjung, para pecinta dangdut. Semua pengunjung dari berbagai latar belakang suku, tua muda berbaur menjadi satu. Hanya satu yang terlihat jelas, mereka menikmatinya bersama.
[caption id="attachment_358362" align="aligncenter" width="600" caption="Sebuah acara dangdut untu menghibur masyarakat di berbagai kalangan. Foto diambil pada Minggu 19 Maret 2015. (Foto Ganendra)"]

TMII sendiri setiap tahun menggelar kegiatan budaya sekitar 500an acara! Beraneka ragam acara digelar salah satunya adalah untuk merekatkan masyarakat akan budaya nusantara. Perayaan Imlek tahun ini juga digelar di TMII. Merangkul budaya nusantara menjadi satu keragaman yang dimiliki bersama.
Anjungan Daerah Se-Nusantara
Melewati jalur jalan nan mulus dan rindang itu selanjutnya aku menemukan beragam replica rumah adat nusantara. Aku tertarik melihat sebuah bangunan tinggi menjulang dengan tiang-tiang kayu ramping namun terlihat kokoh di Anjungan Kalimantan Barat. Desainnya tradisional bangeet. Tingginya melebihi rumah satu lantai. Ada tangga kayu menuju ke rumah atas. Baluk demikian rumah adat sub Suku Dayak Bidayuh Kalimantan Barat itu disebut. Baluk ini menggambarkan dengan jelas seperti apa kehidupan suku Dayak di tempat asalnya. Tradisional dan nampak agung dengan hidup selaras dengan alam. Rumah pun berbahan dasar alami, kayu, bamboo dan dedaunan sebagai atap.
Bayangkan apakah kita tahu ada kekayaan budaya tinggi ini jika tak ada TMII? Dimana anak-anak kita dapat mengetahui mempunyai saudara setanah air dari Suku Dayak dengan budayanya?
[caption id="attachment_358374" align="aligncenter" width="600" caption="BALUk, rumah adat sub Suku Dayak Bidayuh Kalimantan Barat. (Foto Ganendra)"]

Saya pikir fungsi dari TMII salah satunya adalah sebagai sarana yang paling mudah memperkenalkan budaya kepada generasi muda. Kekayaan budaya yang dikemas dalam satu wadah untuk mengingat, mengetahui, edukasi, dan mencintai ragam budaya setanah air. Jadi ingat keponakanku saat kuajak ke TMII pada Juni 2010. Dia mengaku senang dengan ornament-ornamen yang menggambarkan adat istiadat susku-suku di nusantara. Rumah adat Toraja di Anjungan Sulawesi Selatan, Rumah Gadang di Anjungan Sumatra Barat, Ornamen etnik Anjungan Bali dan lain sebagainya.
[caption id="attachment_358364" align="aligncenter" width="600" caption="Rumah adat Gadang di Anjungan Sumatera Barat. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358365" align="aligncenter" width="600" caption="(Searah jarum jam). Rumah adat Toraja, Nusa Tenggara Timur, Gapura Bali dan Anjungan Papua. (Foto Ganendra)"]

Salut bahwa TMII didesain sedemikian rupa sehingga mudah untuk dinikmati. Di kanan kiri jalan searah dengan pengaturan yang rapi, nampaknya pengunjung memang dimanjakan untuk mudah menikmati aneka kekayaan budaya adat nusantara. Yaa, beragam anjungan dari 33 provinsi di Indonesia. Anjungan itu dibangun di sekitar danau dengan miniatur Kepulauan Indonesia, yang terbagi tematik menjadi enam zona, yakni Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Tiap anjungan menampilkan bangunan khas setempat, juga baju dan pakaian adat, busana pernikahan, baju tari, serta artefak etnografi seperti senjata khas dan perabot sehari-hari, model bangunan, dan kerajinan tangan.
Aku lihat di setiap anjungan provinsi dilengkapi panggung, amfiteater atau auditorium untuk menampilkan berbagai tarian tradisional, pertunjukan musik daerah, dan berbagai upacara adat. Katanya biasanya digelar setiap hari Minggu. Seperti yang kuceritakan di atas, kegiatan latihan tarian Dayak yang dilakukan anak-anak Sanggar Borneo Khatulistiwa. Sementara sebagai contoh pertunjukkan music daerah adalah seperti yang ditunjukkan anak-anak remaja saat latihan pertunjukkan musik daerah di Anjungan Nusa Tenggara Barat. Anak-anak seumuran SMP piawai memainkan beragam alat musik daerah. Menumbuhkan kecintaan music daerah menjadi sangat positif melalui kegiatan ini. Dan mereka dalam waktu-waktu tertentu sering mengadakan pertunjukkan, baik di TMII sendiri maupun di luar.
Museum Budaya Sejarah Nusantara
Melewati beragam bangunan di TMII, aku melihat sarana museum yang banyak terdapat disini. Museum befungsi untuk menyimpan dan ruang pameran bagi sejarah, budaya, flora dan fauna, serta teknologi di Indonesia. Wahana museum ini tentu sangat penting sebagai perannya melestarikan budaya peninggalan nenek moyang di seluruh nusantara. Ada 16 museum yang berdiri megah di TMII, yakni Museum Indonesia, Museum Purna Bhakti Pertiwi, Museum Keprajuritan Indonesia, Museum Perangko Indonesia, Museum Pusaka, Museum Transportasi, Museum Listrik dan Energi Baru, Museum Telekomunikasi, Museum Penerangan dan Museum Olahraga. Ada juga Museum Asmat. Museum ini terdiri dari Museum Komodo dan Taman Reptil, Museum Serangga dan Taman Kupu-Kupu, Museum Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Museum Minyak dan Gas Bumi dan Museum Timor Timur (bekas Anjungan Timor Timur)
[caption id="attachment_358366" align="aligncenter" width="600" caption="Beragam museum di TMII. (Foto Ganendra)"]

Museum-museum tersebut masing-masing di desain sedemikian rupa dengan tanpa meninggalkan makna sejarahnya. Lihat saja patung besar Monumen Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang berdiri tegak sambil mengacungkan keris di depan Museum Telekomunikasi itu, mengingatkan pada satelit komunikasi pertama Indonesia, bernama Palapa, sesuai jiwa Sumpah Palapa menyatukan nusantara. Patung ini tentu menarik bagi anak-anak untuk mengetahui lebih jauh. Atau bagi yang mengenal Gajah Mada dari buku sekolah, dapat senang mengetahui sosok patungnya.
[caption id="attachment_358378" align="aligncenter" width="600" caption="Patung tokoh Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapanya, berdiri tegak di depan Museum telekomunikasi. (Foto Ganendra)"]

Sementara itu di Museum Pusaka berada di jalur selatan TMII, berperan melestarikan, merawat, mengumpulkan, serta menginformasikan benda-benda budaya berupa senjata tradisional kepada generasi penerus agar bertumbuh rasa bangga terhadap bangsanya. Museum dengan dua lantai seluas 1.535 m² di atas lahan 3.800 m² ini selain sebagai tempat benda-benda koleksi senjata seluruh nusantara, namun dilengkapi informasi mengenai pusaka, misalnya rincian pusaka, ragam bentuk pusaka, zaman pembuatan pusaka, ragam hias bilah pusaka, berbagai pusaka khas daerah, pusaka dari zaman ke zaman, dan pusaka hasil temuan.
Tentu sejarah kejayaan bangsa di masa silam dapat digambarkan di melalui museum ini. Misalnya saja tentang keris Nagasasra Sabuk Inten zaman Mataram, kujang zaman Pajajaran, keris Singa Barong tinatah mas, karih dari Sumatera, belati zaman Kerajaan Mataram, kudi zaman kerajaan Tuban, pedang zaman Hamengku Bowono IX, dan keris Naga Tapa dari Yogyakarta. Benda-benda pusaka yang sangat bernilai sejarah itu dipajang sebagai benda-benda pusaka unggulan karena langka dan melegenda. Jika terawat dan lestari dengan baik, bukankah berguna bagi generasi penerus untuk mengenal jati diri bangsanya? Dengan mengenal sejarah nenek moyangnya?
Aku jadi ingat masa SMP dulu sering mendengarkan sandiwara radio yang banyak mengangkat kisah berlatar belakang sejarah. Seperti kisah Nagasasra Sabuk Inten di zaman Mataram. Sandiwara yang menurutku sangat bagus sebagai salah satu sarana mengenalkan dan melestarikan kisah-kisah kehidupan jaman kerajaan dulu. Sekarang masih ada ga yaa, sandiwara seperti itu?
Kerajinan Budaya
Melanjutkan perjalanan lebih ke dalam lagi, aku menemui beberapa penjual barang kerajinan. Souvenir shop itu menjual beragam cenderamata khususnya bagi para pengunjung yang ingin membawa ole-ole. Souvenir shop berjajar dengan menjual aneka rupa, mulai dari baju sampai souvenir. Tentu saja barang-barang kerajinan itu menggambarkan dengan jelas replica kekayaan budaya nusantara melalui aneka patung-patung kecil pengantin Jawa, ada juga alat musik dari Indonesia timur. Corak kental budaya yang disuguhkan TMII ini semakin memperkuat brand TMII sebagai pusat wisata budaya paling lengkap di tanah air.
[caption id="attachment_358367" align="aligncenter" width="600" caption="Aneka kerajian budaya sebagai souvenir dijual di TMII. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358368" align="aligncenter" width="600" caption="Aneka kerajian budaya Pengantin Jawa nan klasik dijual di TMII. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358369" align="aligncenter" width="600" caption="Aneka baju bermotif budaya sebagai souvenir dijual di TMII. (Foto Ganendra)"]

Budaya Kuliner Daerah
Kuliner adalah menjadi bagian budaya. Cita rasa dan ragam menu nusantara adalah buah karya peninggalan leluhur yang patut dijaga. Beberapa anjungan juga dilengkapi kafetaria atau warung kecil yang menyajikan berbagai Masakan Indonesia khas provinsi tersebut, selain toko cenderamata yang menjual berbagai kerajinan tangan, baju, kaus, dan lainnya. Di anjungan DI Yogyakarat tentu tersedia gudeg, Anjungan Jawa Timur tersedia kulineran Jawa Timuran. Di Anjungan Jawa Tengah, provinsi tempat kelahiranku Wonogiri, bahkan tersedia pecel Wonogiri. Pasti tau khan, Wonogiri cukup populer dengan menu pecel selain baksonya. Ini dia kupotret salah satu penjualnya. Hehehee.
Ragam kuliner bukan saja tersedia di anjungan daerah, namun di beberapa tempat terkonsentrasi pusat jajan dengan penjual makanan dengan menu beragam dari daerah-daerah. Ada Sego pecel (Nasi pecel), Pondok Minang, Nasi timbel, Soto & Sop dan lain-lain. Didesain berjajar, menyatu seakan mengatakan bahwa," Kami adalah makanan khasanah nusantara yang unik dan berbeda namun dapat dinikmati kita semua."
[caption id="attachment_358387" align="aligncenter" width="600" caption="Ini dia aneka kuliner lokalnya. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358388" align="aligncenter" width="600" caption="Silakan menikmati menu-menu lokal disini. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358371" align="aligncenter" width="600" caption="Wah ada menu bakso Wonogiri dari tanah kelahiranku. Yummiii. (Foto Ganendra)"]

‘Nguri-uri' Budaya Nenek Moyang Sebagai Langkah Pelestarian
Hal yang patut diapresiasi adalah kegiatan yang rutin dilakukan di anjungan daerah TMII. Seperti kukutip diatas, beberapa kegiatan budaya seperti tarian maupun music daerah, teater dan lain-lain terkemas dalam agenda kegiatan di TMII. Ruri dan kawan-kawannya di Sanggar Borneo Khatulistiwa yang menggunakan panggung pentas di Anjungan Kalimantan barat adalah aksi positif membangun kecintaan anak-anak melalui seni tari. Demikian pula tarian Gambyong di anjungan Jawa Tengah. Mencintai musik daerah seperti diperagakan anak-anak remaja di Anjungan Nusa Tenggara Barat juga menjadi salah satu langkah ‘Nguri-uri' Kebudayaan/ Melestarikan budaya, yang patut diacungi jempol.
Bukankah budaya nusantara nan adiluhung ini mesti dilestarikan kepada anak cucu kita? Bukankah generasi penerus yang akan mewarisinya?
[caption id="attachment_358370" align="aligncenter" width="600" caption="Anak-anak berlatih musik daerah di Anjungan Nusa Tenggara Barat. Foto diambil pada Minggu 29 Maret 2015. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358474" align="aligncenter" width="600" caption="Anak-anak yang tergabung dalam Sanggar Borneo Khatulistiwa memanfaatkan mini panggung di Anjungan Kalimantan Barat untuk berlatih tarian Dayak Kalbar. (Foto Ganendra)"]

Jika demikian, sarana, wadah dan semacamnya menjadi penting perannya. TMII menjadi salah satu pemeran utama untuk melestarikan kebudayaan nusantara melalui sarana edukasi kekayaan budaya daerah. Dan itu sejalan dengan konsep penggagasnya Siti Hartinah atau Almarhum Bu Tien yakni TMII diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan rasa cinta tanah air pada seluruh bangsa Indonesia. Tentu melalui kekayaan kebudayaan adat istiadat yang ribuan jumlahnya melalui budaya kesenian, kuliner, arsitektur dan lain sebagainya. Dan semua itu dapat dinikmati, diketahui di wahana museum, anjungan daerah di TMII.
Corak Toleransi Beragama
Dukungan terhadap peran dan fungsi TMII oleh pemerintah, khususnya pada tahun 2012 diakui sebagai Wahana Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Kementerian Agama RI). Ada sejumlah bangunan keagamaan yang berdiri megah dan tertata apik di kawasan TMII ini. Bangunan keagamaan diwakili oleh beberapa rumah ibadah agama resmi yang diakui di Indonesia. Mungkin saja adik-adik kita di Jawa Tengah misalnya, belum pernah melihat bangunan Pura seperti banyak terdapat di Bali. Atau mungkin belum pernah melihat langsung bentuk bangunan Wihara seperti apa.
TMII membingkai keragaman beragama yang tersimbolisasi melalui bangunan keagamaan. Hal itu digambarkan sebagai bentuk toleransi dan keselarasan hubungan antar agama di Indonesia. Ada Masjid Pangeran Diponegoro, Gereja Katolik Santa Catharina, Gereja Protestan Haleluya, Pura Penataran Agung Kertabhumi, Wihara Arya Dwipa Arama, Sasana Adirasa Pangeran Samber Nyawa dan Kuil Konghucu Kong Miao. Pesan yang aku tangkap, adalah bangunan keagamaan yang saling berdampingan itu menunjukkan harapan kerukunan antar para pemeluknya. Berbeda keyakinan bukan menjadi masalah esensial bagi kehidupan yang beragam di negeri ini. Dan itu wajib ditanamkan kepada para generasi penerus.
[caption id="attachment_358392" align="aligncenter" width="600" caption="(searah jarum jam). Gereja Protestan Haleluya, Pura Hindu, Wihara Budha dan Sasana Adirasa Pangeran Samber Nyawa. (Foto Ganendra)"]

TMII Pelestari Budaya Indonesia, Perekat Persatuan dan Kesatuan Bangsa yang Tak Pernah Mati
Sedikit lelah namun terpuaskan melihat aneka ragam budaya di TMII, sejenak menikmati adem dan sejuknya miniature kepulauan yang luas membentang dalam kolam dengan beragam pulaunya. Angin sejuk semilir, meski panas terik matahari sedang bersemangat. Lokasi yang tepat di tengah-tengah, menjadi tempat melepas lelah sembari bercengkerama dengan keluarga. Ada kereta gantung di atas hilir mudik. Ada kereta api ‘Titihan Angin' melintas. Asyik sebenarnya, mengelilingi TMII dengan aneka moda transportasi itu. Bisa juga lhoo bawa kendaraan sendiri, mobil, motor. Tapi kayaknya lebih ayik dengan sepeda. Nah di TMII ada persewaan sepeda onthel/ gowes. Ada juga sepeda onthel bermesin/ scoper. harga sewanya Rp. 25 ribu per 30 menit. Asyik bisa berboncengan.
[caption id="attachment_358382" align="aligncenter" width="600" caption="Ini dia scopernya. sepeda onthel bermesin. Asyik untuk keliling. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358380" align="aligncenter" width="600" caption="Titian angin, kereta yang mengantarkan keliling TMII. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358396" align="aligncenter" width="600" caption="Kolam renang Snow Bay. (Foto ganendra)"]

[caption id="attachment_358397" align="aligncenter" width="600" caption="Danau tempat berekreasi dan bermain perahu angsa. (Foto Ganendra)"]

Sebagai sarana rekreasi TMII dilengkapi beragam sarana rekreasi, seperti Istana Anak-anak Indonesia, Kereta gantung, Perahu Angsa Arsipel Indonesia, Taman Among Putro, Taman Ria Atmaja, Desa Wisata, Kolam renang Snow Bay, Museum Iptek TMII. Dilengkapi pula taman flora fauna. Ada Taman Anggrek, Taman Apotek Hidup, Taman Kaktus, Taman Melati, Taman Bunga Keong Emas, Akuarium Ikan Air Tawar, Taman Bekisar, Taman Burung, Taman Ria Atmaja Park, panggung pagelaran musik, dan Taman Budaya Tionghoa Indonesia.
[caption id="attachment_358395" align="aligncenter" width="600" caption="Istana anak-anak Indonesia di TMII. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358473" align="aligncenter" width="600" caption="Taman Budaya Tionghoa di TMII. (Foto Ganendra)"]

Nah, TMII sebagai sebuah miniatur yang memuat kelengkapan Indonesia dengan segala isinya ini mempunyai peran penting dalam menumbuhkembangkan kecintaan generasi pada budaya bangsanya. Aku pikir di usia 40 tahun sejak berdirinya, TMII telah memberikan sumbangsih besar dalam pelestarian budaya nusantara melalui beragam sarana budayanya, anjungan daerah, museum, juga kegiatan-kegiatan budaya seperti tarian dan musik daerah yang diperankan oleh para generasi muda yang mencintainya. Dan aku berharap Ruri-Ruri lain ataupun anak generasi negeri ini bisa berkesempatan mengenal budaya bangsa dengan baik. Semoga juga makin banyak anak-anak yang berkegiatan positif di TMII seperti halnya Ruri dan teman-temannya. Jika demikian, maka TMII sebagai perekat budaya bangsa menjadi prinsip dan konsep yang mesti dipegang teguh, agar budaya adiluhung bangsa ini dapat lestari.
Akhir kata, Selamat HUT Ke-40 TMII 20 April 1975 – 20 April 2015, Semoga Pesona Indonesia di parasmu mampu menjadi Pelestari Budaya Indonesia, Perekat Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Jaya selalu TMII, tak lekang dimakan waktu. Terima kasih atas 40 tahun kiprahmu mempersatukan dan mempererat bangsa serta melestarikan budaya negeri bagi generasi pewaris bangsa ini. Kami BANGGA padamu.
#SalamWisataBudaya
@rahabganendra
[caption id="attachment_358385" align="aligncenter" width="600" caption="TMII Pelestari Budaya Indonesia, Perekat Persatuan dan Kesatuan Bangsa yang Tak Pernah Mati. (Foto Ganendra)"]

[caption id="attachment_358683" align="aligncenter" width="600" caption=" TMII sebagai sebuah miniatur yang memuat kelengkapan budaya negeri. (wikipedia)"]

Semua foto adalah jepretan pribadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI