Tubuh kita memiliki sistem dan kemampuan istimewa, Dimana tubuh  bisa mengirim sinyal "sakit" saat kelebihan/ kekurangan kandungan makanan.
Saya akan merasa gampang pusing saat tensimeter menunjuk angka tinggi. Saya akan merasakan lipatan perut makin tebal, saat karbo dan lemak berlebihan.
Saat puasa Ramadan ini, intensitas deteksi menu, saya lakukan saat sahur maupun berbuka puasa.
Pada umumnya orang cenderung kalap makan, "balas dendam" setelah seharian menahan lapar.
Namun selain alasan religius, alasan Kesehatan membuat saya memegang prinsip makan tak berlebihan.
Strategi pintu kedua, adalah saat mengonsumsi makanan. Saat saya makan. penting beberapa peinsip untuk bisa menikmati makanan bukan karena kewajiban "harus makan". Atau sebagai penebus rasa lapar, mencapai kenyang. Makan lebih mulia dari itu. Makan adalah sebuah proses menghargai diri sendiri, kepada orang yang berkontribusi/ terlibat menghadirkan makanan, dan kepada Tuhan yang memberikan nikmatnya melalui aktivitas makan.
Penghargaan kepada diri sendiri, bagi saya menikmati proses makan adalah cerminan kualitas perilaku. Memperlakukan makanan dengan cara, mengunyah perlahan, nikmati segala rasa. Â Jangan biarkan nikmat rasa itu berlalu begitu saja. Makan adalah cita asa. Bisa menikmati cita rasa makanan adalah sebuah nikmat.
Oleh karenanya makan dengan situasi tenang, tidak terburu-buru, jadi perlu.
Ada nikmat berbeda Ketika kita menyadarkan diri, bahwa makanan terhidang ada banyak jasa orang lain.
Petani yang menanam padi. Penjual yang menjual beras. Orang yang memasak dan mengubahnya menjadi nasi.
"Rantai jasa" itu selayaknya kita hargai dengan cara menikmati makanan dengan baik.
Saya teringat bahwa dalam budaya kuliner, makan/ minum bahkan menjadi sebuah ritual bernilai. Upacara minum the di Jepang, budaya makan Bersama saat lebaran, dan banyak budaya kuliner lainnya.