2. Non-Penal Policy (Kebijakan Pencegahan): Kebijakan non-penal Hoefnagels mencakup segala upaya untuk mencegah kejahatan sebelum terjadi. Ini melibatkan pendidikan, intervensi sosial, dan penguatan nilai-nilai moral di masyarakat. Non-penal policy juga mencakup reformasi sosial, di mana perbaikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat dipandang sebagai langkah penting dalam mencegah kejahatan.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini bisa berupa program pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan yang seringkali menjadi akar dari tindak kejahatan. Misalnya, pemerintah dapat memberikan pelatihan keterampilan kepada kelompok-kelompok yang rentan terhadap kriminalitas, seperti remaja yang putus sekolah, untuk mengurangi potensi mereka terlibat dalam tindakan kriminal.
Teori Penyebab Kejahatan
Dalam kerangka berpikir Hoefnagels, penyebab kejahatan tidak bisa dipandang dari satu perspektif saja. Ia menguraikan berbagai teori yang dapat menjelaskan mengapa seseorang melakukan kejahatan, antara lain:
Teori Biologis/Psikologis: Menjelaskan bahwa beberapa individu mungkin memiliki faktor genetik atau gangguan psikologis yang membuat mereka lebih rentan melakukan kejahatan.
Teori Sosiologis: Berfokus pada faktor-faktor lingkungan sosial, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan kurangnya pendidikan, yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan.
Teori Penyimpangan Budaya: Mengemukakan bahwa perilaku kriminal dapat dipengaruhi oleh norma dan nilai yang berkembang dalam kelompok tertentu di masyarakat.
Teori Kontrol Sosial: Menyatakan bahwa ikatan sosial yang lemah dengan keluarga, sekolah, dan masyarakat dapat menyebabkan perilaku menyimpang.
Teori Pelabelan (Labeling Theory): Menggambarkan bagaimana individu yang diberi label sebagai "kriminal" oleh masyarakat sering kali menginternalisasi label tersebut dan berperilaku sesuai dengan ekspektasi tersebut.
Why: Mengapa Kebijakan Kriminal Hoefnagels Penting di Ruang Publik Indonesia?
Tingkat Kriminalitas di Indonesia