Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menjadi Macan di Menit Akhir

30 Maret 2019   13:39 Diperbarui: 30 Maret 2019   16:08 14033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan Layar tayangan KompasPagi - KompasTV

Malam ini, Komisi Pemilihan Umum akan menggelar debat capres ke-4 di Hotel Shangri-La, Jakarta.  Pesertanya adalah capres Joko Widodo (Jokowi) dan capres Prabowo Subianto. Keduanya akan memaparkan visi dan misinya terkait tema ideologi, pertahanan dan keamanan, pemerintahan dan hubungan internasional.

Debat dengan durasi sekitar dua jam itu, disiarkan langsung oleh Metro TV, Indosiar dan SCTV yang dimoderatori pembawa acara berita (News Anchor) di SCTV, Retno Pinasti, dan pembawa acara berita di Indosiar Zulfikar Naghi. Sembilan orang akan menjadi panelis dalam debat kali ini.

Menariknya, debat kali ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyiapkan alokasi waktu khusus antara capres Jokowi dan capres Prabowo Subianto untuk saling bertanya menjawab dan memberikan respon.

Mirip laga krusial antara tim papan atas, biasanya dimenit akhir jadi penentuan siapa yang menjadi macan. Tersirat harapan besar di menit akhir tidak saling menyerang secara personal. Tapi ini debat, bukan pertandingan sepak bola.

Kedua capres diprediksi tidak akan mengendurkan serangan argumentasi pada sesi akhir debat. Pada awal bedat, keduanya saling menguatkan pondasi berfikir agar pada sesi akhir tidak kehabisan bahan. Maka pilihan argumen normatif itu diberlakukan.


Masuk pada menit akhir, ada rasa pesimis keduanya mampu mengendalikan emosi intelektual untuk tidak menyinggung ranah personal. Lihat saja debat sebelumnya, walaupun tidak mendominasi, serangan personal tetap saja muncul. Kalau Sandiaga Uno vs Ma'ruf Amin yang jadi capres, bisa dibayangkan betapa sejuknya debat tanpa saling serang pribadi.

Komunikasi hig- context menjadi tipe komunikasi kedua capres untuk bebas berbicara apa saja sesuai tema yang sudah ditentukan. Namun bukan berarti tidak ada keingingan mempertanyakan segala sesuatu dibalik uraian track record untuk menjadi seorang capres.

Debat sebelumnya Jokowi menyinggung banyak hal soal konsistensi visi nurasi Prabowo membersikan Indonesia dari kehadiran para koruptor. Menariknya, keberadaan ratusan ribu hektare lahan Prabowo juga terlibat dalam persoalan kapasitas menjadi seorang kepala negara.

Meski terus disentil, Prabowo tidak diam. Manajemen organisasi turut dibicarakan karena komponen pemerintahan dinilai tidak rapi. Alhasil, infrastruktur di era Jokowi terkesan grasa-grusu. Ada yang lebih ramai dibicarakan, saat Jokowi menyingung soal lahan Prabowo, malah jadi bumerang. Alih-alih meyakinkan program bagi-bagi tanah, malah dicap sebagai orang yang tidak paham sejarah.

Apa yang terjadi pada debat sebelumnya, bisa saja kembali terulang di menit-menit akhir debat keempat. Kedua kubu saling mengklaim telah menjadi macan dalam debat. Faktanya, macan yang dimaksud bukan sebuah entitas, melainkan efek imagologi untuk mendapat sebuah pengakuan masyarakat tentang siapa yang munafik ketika berbicara soal idealisme kerakyatan.

Animo masyarakat kemudian lahir dan memandang pesimis kepada kedua capres sama-sama bukan seorang Soekarno, bukan pula Nilson Mandela, bukan juga Obama, bahkan sama sekali tidak ada kemiripan dengan para pemimpin negara sekaligus pemikir kebangsaan.

Mengenang kembali para tokoh pemimpin negara, tidak terlepas dari keahlian mereka dalam mengelolah dan berfikir tentang rakyatnya. Dinamika saat itu, tentu menerapkan skema politik yang apik dan menginspirasi, ada tipikal membakar seperti Adolf Hitler, beringas seperti Lenin dan Mao Zedong, dan tipikal lainnya.

Di zaman ini, sulit menemukan siapa yang macan dan siapa yang kancil. Di menit akhir jadi penentu siapa yang sebenarnya macan atau hanya sekadar menjadi macan mimbar dalam sehari.

Kedua capres punya tipikal berbeda. Soekarno salah satu pemimpin yang suka membakar massa lewat orasinya cetar membahana. Kalau pun menyentil salah satu persoalan, tidak lepas dari ranah argumentasi kebangsaan. Kita bisa lihat itu dari Prabowo, walaupun tidak sepenuhnya mirip.

Lain hanya dengan Jokowi, sulit menemukan kesamaan dengan para tokoh dunia. Mungkin saja perpaduan antara para pemimpin negara tipikal halus tapi beringas atau sebaliknya. Boleh dikata, mantan Walikota Solo ini jadi entitas baru ditengah krisis kepemimpinan.

Selama ini animo masyarakat melihat sebab akibat menjadi capres mengacu pada siapa yang dekat dengan negara adidaya, Amerika. Kalau dekat pasti menang, seperti Susilo Bambang Yudhoyono. Kalau pun tidak dekat, mungkin saja dekat dengan China, seperti Jokowi saat ini.

Tangkapan layar video berita Kompas.id: Jokowi Animatif, Prabowo Pemuji
Tangkapan layar video berita Kompas.id: Jokowi Animatif, Prabowo Pemuji

Maka dalam sesi akhir debat nanti,  sulit rasanya melepaskan pemahaman masyarakat yang tidak ingin ada argumentasi saling serang personal. Kasus Romahurmuziy atau Romi misalnya, diciduk Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap. Tentu itu jadi amunisi buat Prabowo bila ingin mengunci lidah Jokowi. Argumen turunannya yakni ideologi dengan menyindir revolusi mental ala Jokowi.

Dengan demikian, Jokowi kelimpungan menjawab isu hukum itu. Tapi Jokowi selama ini tetap tampil dingin ala kejawaan. Kalau Jokowi orang Sulawesi atau Timur, Prabowo sudah dihabisinya lebih dulu.

Hadirnya panelis berkompeten menambah bekal berfikir kedua capres diawal bedat nanti. Panelis untuk tema ideologi diisi oleh Prof DR Zakiyuddin yang berprofesi sebagai Direktur Pascasarjana IAIN Salatiga dan Dr J Haryatmoko SJ seorang akademisi Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Sedangkan tema pemerintahan, panelisnya adalah Dr Erwan Agus Purwanto M Si yang berprofesi sebagai Dekan Fisip Universitas Gadjah Mada, Dr Valina Singka Subekti seorang akademisi Departemen Ilmu Politik Fisip UI dan Dadang Tri Sasongko seorang Sekjen Transparency International Indonesia.

Kemudian Tema pertahanan dan keamanan, panelisnya adlaah Al Araf sebagai Direktur Eksekutif Imparsial dan Dr Ir Apolo Safanpo seorang Rektor Universitas Cenderawasih. Selanjutnya Tema hubungan internasional, panelisnya adalah Drs I Basis Eko Soesilo MA seorang Pengajar HI Fisip Unair dan Dr Kusnanto Anggoro seorang Akademisi Fisip UI.

Cukup berkompeten dibidangnya. Segala pertanyaan yang telah disusun para panelis bisa jadi penambah amunisi kedua capres untuk bermain lepas di sesi akhir. Apakah melahirkan argumentasi yang subtantif lengkap dengan solusi, atau hanya sekadar kesempatan menundukkan lawan demi elektabilitas di mata masyarakat, mari kita saksikan malam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun