Mohon tunggu...
Rafinita Aditia
Rafinita Aditia Mohon Tunggu... Mahasiswi program Komunikasi dan Penyiaran Islam

Penapak Jenjang s1 yang masih belajar.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Malam Nujuhlikur, Tradisi Bengkulu yang Masih Bertahan Tak Tergerus Zaman

9 Mei 2019   06:34 Diperbarui: 9 Mei 2019   06:43 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tunam yang sudah di bakar - Dokpri

Bengkulu merupakan salah satu provinsi yang berada di Pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi Bengkulu merupakan provinsi ke-26 di Indonesia dengan ibu kotanya yaitu Kota Bengkulu. 

Provinsi ini terletak di pesisir barat Pulau Sumatra dan berhadapan dengan Samudera Indonesia, serta berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat di sebelah utara, Provinsi Lampung di sebelah selatan, dan Provinsi Jambi di sebelah timur.

Provinsi Bengkulu berada pada koordinat 300 45' -- 300 59' LS dan 1020 14' - 1020 22' BT dengan luas wilayah 151,7 km. Penduduk yang mendiami kota ini berasal dari berbagai suku bangsa, di antaranya suku Melayu, Rejang, Serawai, Lembak, Bugis, Minang, Batak dan lain-lain.

Adapun satu-satunya Kota di provinsi ini yaitu Kota Bengkulu. Sedangkan Kabupaten yang ada di Provinsi Bengkulu tersebut adalah Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Lebong, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kaur.

Setiap daerah di Provinsi Bengkulu, mempunyai berbagai tradisi khas masing-masing, mulai dari pakaian, makanan, tarian, dan masih banyak lagi. Salah satu tradisinya ialah Malam Nujuhlikur, yang merupakan tradisi dari masyarakat suku Rejang di Kabupaten Bengkulu Utara.

Karena saya tinggal di Bengkulu Utara sejak belia, tepatnya di Desa Pasar Kerkap Kecamatan Air Napal Kabupaten Bengkulu Utara, saya selalu ikut merayakan tradisi ini setiap tahunnya. 

Mayoritas penduduk di desa Pasar Kerkap berasal dari suku Rejang, dan sisanya adalah pendatang, termasuk saya. Namun, masyarakat pendatang di desa ini masih sangat menghargai tradisi asli suku rejang, dan tetap ikut merayakan tradisi ini bersama.

Dalam bahasa Bengkulu, nujuhlikur berarti dua puluh tujuh, malam nujuhlikur artinya malam ke dua puluh tujuh. Kegiatan ini biasa dilakukan pada puasa ke-27 atau tiga hari lagi menjelang lebaran di halaman rumah atau di pinggir jalan raya. 

Nujuh likur itu sendiri ialah kegiatan membakar tempurung kelapa (tunam) yang telah disusun di sepancang kayu hingga tinggi menjulang ke langit. Makna dari kegiatan ini adalah sebagai rasa syukur karena bertemu dengan bulan Ramadan dan menyambut idhul fitri.

"Mitosnya dulu semakin tinggi kita menyusun tempurung kelapa maka semakin besar rasa syukur kita kepada Allah SWT. Karena tempurung kelapa dianggap sebagai buah penuh manfaat dan rasa syukur", ujar Zainudin, salah seorang sesepuh Desa Pasar Kerkap ketika di wawancarai senin, 7 mei 2019.

Tempurung kelapa biasanya dikumpulkan pada jauh-jauh hari sebelum malam nujuh likur, karena harus dikeringkan agar mudah terbakar dan di lobangi tengahnya agar mudah disusun. Setelah itu, tonggak kayu yang kira-kira sebesar lengan dengan panjang sekitar 1-2 meter akan dipilih untuk meletakkan tempurung kelapa. 

Tonggak kayu itu akan ditancapkan ke tanah, kemudian satu persatu tempurung yang sudah dilubangi akan ditumpuk di kayu tersebut. Mulai dari anak-anak hingga orang tua sangat menunggu moment seperti ini karena akan ada kerjasama dan kekompakan masyarakat ketika bersama-sama menghidupkan tunam.

Pada permukaan tempurung yang paling atas akan disiram minyak tanah untuk mempermudah proses pembakaran. Tunam yang akan dibakar ini jumlahnya tak hanya satu. Jumlahnya bisa semakin banyak, tergantung dari tempurung kelapa yang berhasil dikumpulkan.

Mulai dari pagi, masyarakat sudah mulai menyusun tunam di halaman rumah, ketika sudah berbuka puasa maka tunam siap dinyalakan. Biasanya sebelum sholat tarawih, seluruh tunam sudah dihidupkan. Sepanjang jalanan desa akan diterangi oleh kibaran api dari bakaran tunam tersebut.

Sebagai generasi muda sudah seharusnya kita mengenal tradisi dan budaya kita agar terus bertahan meskipun di tengah kecanggihan zaman. Dan kita juga harus melestarikan tradisi kita, salah satunya yaitu dengan menuliskannya agar orang lain tau bahwa Indonesia memupunyai berjuta tradisi dan budaya yang tidak akan ada habisnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun