Beberapa tahun belakangan, Indonesia mengalami perubahan besar dalam aturan ketenagakerjaan lewat disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, atau yang sering disebut Omnibus Law. Tujuan utamanya adalah untuk menarik investasi dan membuka lebih banyak lapangan kerja. Tapi, banyak yang masih mempertanyakan: apakah perubahan ini benar-benar menguntungkan pekerja?
Latar Belakang Perubahan Regulasi
Seiring waktu, sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, seperti ketimpangan kekuasaan antara pekerja dan pengusaha, serta rumitnya proses penyelesaian konflik industrial. Undang-undang sebelumnya dianggap kurang fleksibel dan sulit diadaptasi dengan dinamika dunia usaha.
Sebagai solusi dari berbagai persoalan tersebut, pemerintah merancang UU Cipta Kerja yang menggabungkan sejumlah aturan lama dan melakukan pembaruan di berbagai sektor penting. Perubahan ini mencakup aspek-aspek seperti hubungan kerja, sistem upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga perlindungan sosial bagi para pekerja
Inti Perubahan dan Tujuannya
Salah satu fokus utama UU Cipta Kerja adalah menciptakan hubungan kerja yang lebih fleksibel. Hal ini dilakukan dengan mengubah skema pengupahan, termasuk penggunaan sistem upah per jam dan berdasarkan hasil kerja, serta mengatur ulang ketentuan upah minimum. Selain itu, peraturan terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga mengalami perubahan, yang berpotensi mempermudah pengusaha dalam melakukan PHK dengan biaya yang lebih rendah.
Selain itu, regulasi mengenai tenaga kerja asing dan outsourcing juga mendapatkan penyesuaian yang lebih longgar, yang secara unik bertujuan menarik investasi tetapi berpotensi mengurangi perlindungan terhadap tenaga kerja lokal.
Dampak terhadap Pekerja
Namun, di balik motif meningkatkan investasi dan kemudahan berusaha, banyak analisis menyebutkan bahwa perubahan ini dapat merugikan pekerja. Penekanan pada fleksibilitas kerja sering kali diartikan sebagai pengurangan perlindungan hak-hak dasar pekerja, seperti cuti, waktu istirahat, dan jaminan pesangon.
Sejumlah indikator menunjukkan bahwa aturan-aturan dalam UU tersebut cenderung melemahkan posisi pekerja dalam hubungan industrial. Akibatnya, pekerja jadi semakin kesulitan dalam memperjuangkan hak-haknya secara optimal.
Para ahli dan pengamat industri menilai bahwa, secara umum, UU Cipta Kerja lebih memihak pada pengusaha dan investasi daripada perlindungan terhadap pekerja. Rekomendasi dari berbagai kalangan menyarankan agar pemerintah lebih aktif dalam mereformasi regulasi guna menyeimbangkan hak pekerja serta tetap meningkatkan iklim investasi.
Selain itu, masih muncul kekhawatiran bahwa skema pengupahan berbasis hasil dan jam kerja akan berujung pada menurunnya kesejahteraan pekerja, terutama terkait hak atas waktu istirahat dan jaminan sosialnya.
Kesimpulan
Perubahan aturan ketenagakerjaan ke UU Cipta Kerja sebenarnya menunjukkan tindakan positif pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru. Tapi pada kenyataannya, banyak data menunjukkan bahwa perlindungan pekerja justru kurang mendapat perhatian.
Keberhasilan reformasi ini ke depannya sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan investasi dan perlindungan hak-hak pekerja, agar keduanya bisa berjalan seimbang dan adil.
referensi:
Sarjana, I., Sudiarawan, K., Medd, L., Raksita, I., & Hermanto, B. (2023). OMNIBUSLAW EMPLOYMENT CLUSTER: IS ITA FORM OF LABOR EXPWITATION IN THE INDONESIAN CONTEXT?. UUM Journal of Legal Studies. https://doi.org/10.32890/uumjls2023.14.1.3.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI