SALUT kepada Polda Metro Jaya yang sigap dan cekatan telah mulai menangani perkara tuduhan ijazah palsu yang dilaporkan Jokowi ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya pada Rabu, 30 April 2025. Kurang dua minggu penyidik telah memanggil para saksi untuk diminta keterangan dalam perkara tindak pidana Pasal 310 dan 310 KUHP dan Pasal 27, 32 dan 35 UU ITE oleh penyidik Ditreskrimum PMJ.Â
Jangan Anda bandingkan dengan penanganan perkara warga negara biasa yang baru dimulai pemeriksaan saksi setelah lebih dari satu bulan. Bahkan ketika Jokowi menjabat presiden, cukup dengan bisikan di telinga petinggi Polri, oknum yang tidak disukai Jokowi bisa seketika jadi pesakitan dengan 1001 alasan.
Mengenai Jokowi lebih suka menjerat oposan dan aktivis yang tidak sejalan dengan menggunakan institusi Polri bukan barang baru atau rahasia di kalangan elit melainkan sudah jadi pengetahuan khalayak ramai. Delik pidana dalam UU ITE selalu jadi andalan penguasa, terutama Presiden Jokowi untuk memberi pelajaran para penentangnya.Â
Saya adalah korban pertama penerapan Pasal 27 UU ITE di era Presiden Jokowi. Baru satu minggu menjabat Presiden RI saya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan oleh Penyidik Ditkrimsus Polda Metro Jaya pada tanggal 1 November 2014. Tidak ada panggilan kepada saya untuk diminta keterangan lebih dulu sebagaimana  ditentukan undang-undang terhadap  dugaan tindak pidama delik aduan. Saya sudah ditetapkan sebagai tersangka bahkan sebelum laporan polisi dibuat, begitu pengakuan teman-teman lenyidik yang menangani perkara saya pada Oktober - Januari 2014.
Penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang telah diubah menjadi Pasal 27A menyebutkan pada pokoknya orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain supaya diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik melalui sistem elektronik dipidana penjara paling lama dua tahun.Â
Ancaman pidana penjara paling dua tahun tersebut hanya 1/3 dari anncaman pidana penjara dalam Pasal 27 (3) UU ITE ketika belum dilakukan perubahan yaitu paling lama 6 tahun sebagaimana diterapkan kepada saya dulu. Â Tidak hanya ancaman pidana penjara yang telah dikorting tinggal sepertiga, delik pidana dasal 27A UU ITE tersebu juga telah batasi secara ketat melalui Keputusan Bersama Menkominfo - Jaksa Agung - Kapolri tahun 2021 tentang Implementasi Pasal Tertentu dalam UU ITE.Â
Penyidik tidak bisa lagi seenaknya menafsirkan delik dalam Pasal 27 UU ITE yang dulu sempat dijuluki pasal karet karena sangat luas penafsiran dan tidak jelas batasannya. Pokoknya kalau ada pejabat tinggi atau konglomerat yang merasa terganggu dengan cuitan atauÂ
tulisan bernuansa kritik atau ejekan, kecaman melalui media elektronik, maka si pelakunya siap-siap bakal lamgsung dicokok polisi dan dijebloskan ke penjara. Pasal 27 dan beberapa pasal lain dalam UU ITE sempat mendapat perhatian serius lembaga HAM dan demokrasi  internasional  yang menuding pasal-pasal tersebut hanya kedok rezim untuk membungkam oposan dan lawan politik. UU ITR menjadi instrumen paling efektif bagi penguasa untuk melindungi dirinya dan kroninya dari serangan kritik publik. UU ITE ini juga menjadi momok di kalangan aktivis dan menjadi penyebab merosotnya kualitas demokrasi dan perlindungan hak di Indonesia.Â
UU ITE yang awalnya diterbitkan untuk menjangkau kejahatan sektor keuangan dan perbankan, pencucian uang, terorisme dan perdagangan mausia secara efektif dibelokkan oleh penguasa untuk menjerat dan mengkriminalisasi lawan politik dan aktivis yang gemar menggunakan media elektronik sebagai sarana perjuangannya. Istilahnya, komen dikit kena ITE.Â
Jika dicermati secara seksama, pemenuhan unsur delik dalam Pasal 27A  UU ITE harus merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 310 dan 310 KUH Pidana. Artinya, delik dalam Pasal 27 A UU ITE tidak dapat berdiri sendiri melainkan sebagai extra delik atau delik pidana tambahan dari pidana Pokok yang diatue dalam Pasal 31o dan 311 KUH Pidana tentang pencemaran nama baik.  Di samping itu, terdapat kesulitan dalam memastikan pemenuhan unsur delik "penyerangan kehormatan atau nama baik" khususnya terhadap pejabat atau mantan pejabat yang mengemban tanggung jawab publik dikarenakan secara umum kritik terhadap pejabat yang dilakukan oleh warga atau rakyat merupakan hak konstitusional yang seharusnya tidak tunduk pada ketentuan undang-undang. Singkatnya, delik dalam pasal 27A UU ITE seharusnya tidak berlaku terhadap penyampaian kritik dalam bentuk apapun dari rakyat kepada pejabat. Mengenai frasa kehormatan atau nama baik, sangat relatif dan plastik. Kehormatan atau nama baik bukan monopoli pejabat apalagi di tengan membanjirmya pejabat-pejabat korup dan nepotisme kronis.  Substansinya adalah kehormatan dan nama baik  tersebut tidak melekat pada jabatannya melainkan kepada pribadinya. Jabatannya boleh saja terhormat akan tetapi tidak menjamin pribadinya menjadi terhormat.Â