Mohon tunggu...
H.  Rackhmad Kristianto Adi
H. Rackhmad Kristianto Adi Mohon Tunggu... Kurikulum

Saya Guru Fisika di SMA Sedes Sapientiae Jambu, sekolah swasta Katolik berasrama yang berfokus pada pembentukan karakter dan pendidikan holistik.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Saat Dunia Digital Menyerbu, Bisakah Kita Tetap Hadir untuk Anak-Anak Kita?

27 April 2025   09:30 Diperbarui: 27 April 2025   10:22 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tinggal di asrama. Saya tinggal di rumah, seperti kebanyakan orang tua. Tapi setiap hari, saya bekerja di sebuah sekolah berasrama---sebuah tempat di mana anak-anak belajar hidup dalam keteraturan, kedisiplinan, dan yang menarik: keterbatasan akses digital.

Di sekolah berasrama in, anak-anak tidak diizinkan membawa ponsel pintar. Mereka hanya diperbolehkan memiliki HP monokrom, itupun sebatas untuk alat komunikasi darurat. Laptop hanya boleh digunakan pada jam-jam tertentu, lalu harus diserahkan kembali ke pamong asrama. Bagi sebagian orang, aturan ini mungkin terdengar kaku, bahkan kolot. Tapi benarkah pembatasan ini sesuatu yang harus kita tolak mentah-mentah?

Kontras Dua Dunia

Setiap hari saya menjadi saksi dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, dunia para siswa asrama yang belajar, bermain, berdiskusi, dan tumbuh tanpa gawai di tangan. Sebuah pemandangan yang kini terasa langka di era serba digital ini.

Memang, di awal masa adaptasi, keluhan terdengar dari sana-sini. Ada yang bosan, ada yang diam-diam berusaha mencari "jalan pintas" untuk tetap terkoneksi. Namun perlahan, keluhan itu berubah menjadi keasyikan. Mereka mulai kembali menikmati kegiatan sederhana yang selama ini hampir hilang: membaca buku, bermain bola di lapangan, membuat prakarya, hingga menulis surat tangan untuk orang tua mereka. Ada kehangatan dan kejujuran yang terpancar dari interaksi sehari-hari mereka.

Sebaliknya, kehidupan saya di rumah berbicara lain. Sebagai orang tua, saya melihat bagaimana anak saya begitu lekat dengan dunia digital. Waktu makan menjadi sunyi. Percakapan menjadi minim. Nasehat kadang hanya terdengar seperti suara lewat yang menguap tanpa bekas. Saya pernah menegur, membatasi, marah, bahkan akhirnya menyerah dalam diam. Tetapi perlahan saya sadar, ini bukan hanya soal anak yang tidak patuh, ini tentang zaman yang bergerak begitu cepat, dan kita yang kadang tertinggal mengikutinya.

Tantangan Zaman Digital

Kita hidup di tengah era di mana segalanya serba cepat, serba instan, serba terhubung. Teknologi telah mengubah hampir semua aspek kehidupan: cara bekerja, cara belajar, cara berkomunikasi, bahkan cara kita membangun relasi dan mencintai.

Di satu sisi, teknologi membawa kemudahan yang luar biasa. Namun di sisi lain, ia membawa tantangan besar---terutama dalam mendampingi tumbuh kembang anak-anak kita yang masih rapuh fondasi jiwanya. Mereka masih mencari arah, belajar memilah informasi, dan belum memiliki daya tahan terhadap derasnya arus notifikasi, viralitas, dan dunia maya yang tiada henti menawarkan distraksi.

Di sinilah saya belajar bahwa kehadiran kita, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional menjadi kebutuhan yang jauh lebih penting daripada sekadar membuat aturan.

Bukan Sekadar Melarang, Tapi Mendampingi

Pembatasan penggunaan digital di asrama bukanlah bentuk pengekangan, melainkan sebuah ruang belajar. Saya melihatnya sebagai sebuah upaya untuk menanamkan nilai-nilai penting: fokus, empati, ketekunan, pengendalian diri, dan tanggung jawab. Nilai-nilai yang tidak tumbuh dari layar, tetapi dari relasi nyata antar manusia.

Saya teringat sebuah nilai luhur Jawa: urip iku mung sawang-sinawang : hidup adalah tentang saling memandang, saling memahami, bukan sekadar saling melihat lewat layar.

Sebagai guru dan orang tua, saya menyadari bahwa sekadar melarang tidak cukup. Kita perlu hadir, memberi penjelasan, berdialog, menjadi teladan. Kita perlu membangun koneksi, bukan hanya membangun aturan.

Hadir itu bisa sesederhana: meletakkan ponsel saat makan bersama, menatap mata anak saat berbicara, mendengarkan cerita kecil mereka tanpa menyela. Karena kehadiran yang utuh lebih dari sekadar keberadaan fisik adalah bekal utama dalam membangun karakter.

Menanam Benih Karakter

Saya percaya, kita tidak bisa (dan tidak perlu) menjauhkan anak-anak sepenuhnya dari teknologi. Tapi kita bisa membekali mereka dengan keterampilan untuk menggunakan teknologi secara bijak.

Kita bisa menciptakan ruang jeda, momen hening, momen refleksi yang memungkinkan mereka mengenal dirinya sendiri, tanpa intervensi layar.

Mendidik bukan soal siapa yang paling cepat mencetak anak berprestasi, tetapi siapa yang paling konsisten menanam benih karakter. Benih itu bisa berupa kebiasaan sederhana, waktu berkualitas, percakapan ringan yang penuh makna, atau aturan yang dijelaskan dengan kasih sayang. Jika dirawat dengan sabar, benih itu akan tumbuh menjadi pohon karakter yang kuat.

Di sekolah, saya melihat anak-anak belajar menyapa guru dengan hormat, bersabar saat antre, bekerja sama dalam tugas kelompok tanpa terlalu bergantung pada mesin pencari. Mereka belajar menjadi manusia, bukan sekadar pengguna teknologi.

Saya Juga Masih Belajar

Namun, saya harus jujur mengakui: saya pun masih dalam perjalanan. Saya masih sering jatuh dan terjebak dalam godaan dunia digital. Walaupun saya beralasan hanya untuk mencari berita, membalas pesan WhatsApp, mengirim tugas sekolah, atau mengurus administrasi kerja, tetap saja ada saat-saat ketika gadget mencuri perhatian saya dari hal-hal yang lebih penting di depan mata.

Ada kalanya saya kalah oleh rasa lelah, membiarkan anak bermain gadget lebih lama demi mendapatkan sedikit waktu tenang. Ada kalanya saya terlalu sibuk membalas email hingga lupa mendengar cerita sederhana anak tentang harinya.

Saya belajar bahwa kesadaran itu perlu terus diperbarui setiap hari. Bahwa mendidik karakter itu bukan soal sudah atau belum berhasil, tetapi soal terus berusaha hadir dan konsisten.

Mari Kita Mulai, Dari Rumah

Jika ada satu hal nyata yang bisa kita lakukan hari ini, mari kita mulai dari rumah. Dari ruang makan, dari kamar tidur, dari ruang tamu---dari waktu-waktu kecil yang sering luput.

Mari kita mulai dari diri sendiri karena anak-anak belajar lebih cepat dari teladan dibanding dari perintah. Mari kita hadir sepenuhnya: dengan tatapan mata, pelukan, percakapan, tawa bersama, bahkan dalam diam yang nyaman.

Mari kita hentikan sejenak notifikasi, tutup layar, dan buka hati. Dengarkan cerita mereka, meski kadang hanya tentang tugas sekolah, tentang teman baru, atau tentang hal-hal kecil yang mungkin bagi kita terasa sepele tetapi bagi mereka, itu adalah dunia mereka.

Karena sesungguhnya, pendidikan karakter tidak dibangun dari ceramah panjang atau hukuman keras. Ia lahir dari kehadiran yang konsisten, dari kasih sayang yang nyata, dari relasi yang tumbuh di tengah keterbatasan dan kebersamaan.

Dunia Digital Sudah Terlalu Dekat

Tidak ada tombol "kembali ke masa lalu" yang bisa kita tekan. Dunia digital kini telah menyatu dengan hidup kita, mengalir dalam setiap detik yang kita jalani.
Namun, selalu ada jalan untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam diri anak-anak kita. Jalan itu dimulai dari satu langkah sederhana: hadir sepenuhnya.

Mendampingi anak-anak di era digital bukan hanya sekadar melindungi mereka dari bahaya dunia maya. Itu juga tentang memberi mereka bekalkarakter yang kokoh, hati yang penuh kasih, dan pikiran yang jernih agar mereka kelak bisa berdiri tegak, menghadapi tantangan dunia dengan percaya diri.

Perjalanan ini memang tak mudah. Ada kalanya terasa berat, penuh rintangan dan kelelahan.
Namun percayalah, setiap langkah kecil untuk hadir sepenuhnya adalah perjuangan yang tak pernah sia-sia.

Di tengah dunia yang kian dipenuhi oleh layar dan gawai, kita tak akan pernah benar-benar lepas dari mereka. Tetapi kita selalu bisa memilih:
* Apakah kita akan menjadi budak teknologi,
* Atau kita akan menggunakannya dengan kebijaksanaan?

Saya, seorang guru sekaligus orang tua, terus belajar.
Masih sering tersandung.
Masih sering gagal.
Namun saya memilih untuk terus berjuang, untuk terus hadir.

Karena di balik cahaya layar yang terus berkelip, ada dunia nyata yang jauh lebih indah:
Ada tawa ceria anak-anak kita.
Ada kisah-kisah sederhana yang hanya bisa kita dengar jika kita benar-benar hadir, dengan hati yang sepenuhnya terbuka.

Dan saya ingin hadir. Sepenuh hati.

Mari kita mulai langkah pertama, hari ini.
Bersama. Dengan kesadaran penuh. Dengan kasih yang tak terhingga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun