Bukan Sekadar Melarang, Tapi Mendampingi
Pembatasan penggunaan digital di asrama bukanlah bentuk pengekangan, melainkan sebuah ruang belajar. Saya melihatnya sebagai sebuah upaya untuk menanamkan nilai-nilai penting: fokus, empati, ketekunan, pengendalian diri, dan tanggung jawab. Nilai-nilai yang tidak tumbuh dari layar, tetapi dari relasi nyata antar manusia.
Saya teringat sebuah nilai luhur Jawa: urip iku mung sawang-sinawang :Â hidup adalah tentang saling memandang, saling memahami, bukan sekadar saling melihat lewat layar.
Sebagai guru dan orang tua, saya menyadari bahwa sekadar melarang tidak cukup. Kita perlu hadir, memberi penjelasan, berdialog, menjadi teladan. Kita perlu membangun koneksi, bukan hanya membangun aturan.
Hadir itu bisa sesederhana: meletakkan ponsel saat makan bersama, menatap mata anak saat berbicara, mendengarkan cerita kecil mereka tanpa menyela. Karena kehadiran yang utuh lebih dari sekadar keberadaan fisik adalah bekal utama dalam membangun karakter.
Menanam Benih Karakter
Saya percaya, kita tidak bisa (dan tidak perlu) menjauhkan anak-anak sepenuhnya dari teknologi. Tapi kita bisa membekali mereka dengan keterampilan untuk menggunakan teknologi secara bijak.
Kita bisa menciptakan ruang jeda, momen hening, momen refleksi yang memungkinkan mereka mengenal dirinya sendiri, tanpa intervensi layar.
Mendidik bukan soal siapa yang paling cepat mencetak anak berprestasi, tetapi siapa yang paling konsisten menanam benih karakter. Benih itu bisa berupa kebiasaan sederhana, waktu berkualitas, percakapan ringan yang penuh makna, atau aturan yang dijelaskan dengan kasih sayang. Jika dirawat dengan sabar, benih itu akan tumbuh menjadi pohon karakter yang kuat.
Di sekolah, saya melihat anak-anak belajar menyapa guru dengan hormat, bersabar saat antre, bekerja sama dalam tugas kelompok tanpa terlalu bergantung pada mesin pencari. Mereka belajar menjadi manusia, bukan sekadar pengguna teknologi.
Saya Juga Masih Belajar