Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Menguliti" Permohonan Tim Hukum Anies di Mahkamah Konstitusi

1 April 2024   17:29 Diperbarui: 1 April 2024   21:52 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                  dokumen pribadi

Penulis : (Rachmad Oky,SH,MH/ Ketua Departemen HTN Fakultas Hukum Unilak/ Peneliti LAPI HUTTARA)

Rakyat Indonesia telah melewati perhelatan besar demokrasi pada tanggal 14 Desember 2024 yang lalu, yang menarik bagi rakyat tentunya menunggu hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).

Tidak perlu menunggu lama, hasil Quick Count telah menyajikan kemenangan bagi pasangan Prabowo-Gibran (02) yang unggul dari pasangan Anies-Muhaimain (01) dan Ganjar-Mahfud (03).

Tentu hasil dari perhitungan Quick Count tersebut tidak mendapatkan tempat bagi pihak yang tidak memperoleh hasil suara mayoritas. Dalil yang lazim dikeluarkan oleh pihak yang kalah adalah "Kecurangan Pemilu".

Diksi "kecurangan" dalam pemilu bukan barang baru, mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) telah berlangganan tetap untuk menyelesaikan perkara Pemilu. Dalam Pilpres 2014 dan 2019, MK telah menolak pembuktian kecurangan pemilu yang dimohonkan oleh pihak yang kalah.


Situasi semakin meruncing semenjak Real Count diumumkan oleh KPU yang menegaskan kemenangan ada pada kubu Prabowo-Gibran, tentu hal itu membuat pasangan "Amin" dan pasangan "Ganjar-Mahfud" tidak tinggal diam melihat situasi Pemilu yang tidak normal.

Tim Hukum Anies tetap dengan pendiriannya  yang memasukkan Permohonan persengketaan Pilpres ke MK pada tanggal 21 Maret  2024, permintannya tesebut agar MK bisa memutus dengan amar putusan Pemilu ulang karena proses pemilu tidak jujur dan adil.

Tidak lama berselang dari Tim Hukum Anies, Tim Hukum Ganjar-Mahfud juga memasukkan permohonan persengketaan hasil Pemilu ke MK dengan harapan Pemilu diulang dengan mendiskualifikasi pasangan Prabowo- Gibran.

Melihat peta kemenangan telah nyata dalam genggaman Prabowo-Gibran, lalu apakah nantinya MK mengabulkan permohonan yang diajukan Tim Anies dan Tim Ganjar-Mahfud? atau justru mempertegas keputusan KPU?

Penyelesaian persengketaan hasil pemilu Pilpres dilaksanakan secara "Speed trial" yang hanya menggunakan waktu selama 14 hari, proses pembuktian kecurangan Pemilu harus dilakukan secara cepat. Sementara para pihak yang terlibat adalah para pasangan calon Presiden yang merasa memiliki hak untuk maju pada putaran kedua atau merasa memiliki hak sebagai pemenang pemilu. Dengan demikian ini diketegorikan sebagai Pemohon.

Pihak pemohon akan mendalilkan bahwa adanya kesalahan dalam proses penghitangan suara yang ditetapkan oleh KPU, dengan itu KPU pada dasarnya berstatus sebagai Termohon. Diluar Pihak Pemohon dan Termohon dikenal pula dengan Pihak Terkait yakni Pihak yang merasa tidak berkeberatan atas keputusan KPU atau biasanya pasangan calon Presiden yang ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.

Namun tidak lupa pula ada pihak yang dianggap dapat memberikan keterangan atas berjalannya sebuah Pemilu, lembaga yang terlibat dalam memberi keterangan adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Sementara Tim Hukum Prabowo-Gibran telah menempuh sebagai Pihak Terkait yang akan menbantah  dalil-dalil permohonan Pemohon Tim Anies dan permohonan pemohon tim Ganjar-Mahfud.

Persidangan perselisihan hasil Pilpres 2024 akan memakan waktu selama 14 hari sesuai dengan hukum acara MK yang berlaku. Untuk saat ini MK melaksanakan persidangan Perselisihan hasil Pemilu Presiden mengacu pada Peraturan MK No. 1 Tahun 2024 tentang Tahapan, kegiatan, jadwal penanganan perkara perselisihan hasil pemilu junto Peraturan MK No. 4 Tahun 2018 tentang Tata cara beracara dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.

Tanggal 27 Maret 2024 Pemohon telah diberi kesempatan untuk membacakan Permohonannya, dari apa yang telah disampaikan dalam permohonan pemohon terdapat permintaan (petitum) yang menjadi harapan pemohon agar dikabulkan oleh MK.

Beberapa petitum yang pada pokoknya yaitu membatalkan Keputusan KPU terkait perolehan suara Pemilu Pilpres, mendiskualifikasi pasangan calon Prabowo/Gibran, memerintahkan agar KPU melakukan pemungutan suara ulang Pilpres, memerintahkan Bawaslu melakukan supervisi, memerintahkan Kepolisian dan TNI  melakukan pengamanan pemungutan suara ulang.

Dari apa yang dimohonkan  Tim Anies terkesan sangat memaksakan kehendak dan boleh dibilang  permohonan yang disampaikan justru keluar dari koridor  UUD 1945.

Mengingat  hukum acara perselisihan hasil pemilu Presiden hanya mengenal metode kuantitaf yang mana Tim Anies dibebankan untuk menyandingkan perolehan suara yang benar menurut versi Pemohon dengan perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU.

Berdasarkan Peraturan MK No.4 Tahun 2018 tentang Tata cara beracara dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden senyatanya memberi pedoman pernyataan petitum yang berbunyi : "memuat permintaan  untuk membatalkan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh termohon dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar menurut pemohon".

Atas hasil perolehan suara yang diumumkan KPU dimana pasangan calon Prabowo/Gibran mendapatkan suara 96.214.691 juta suara dengan sebaran kemenangan di 36 provinsi, sementara Anis/Muhaimin memperoleh 40.971.906 juta suara dengan sebaran kemenangan di 2 provinsi.

Dari data yang sudah diumumkan oleh KPU maka semestinya menjadi kesempatan bagi Tim Anies untuk menyandingkan angka perolehan suara yang benar versi Pemohon dan membuktikan penghitungan suara Termohon adalah penghitungan yang salah.

Namun apa yang terdapat didalam Permohonan Tim hukum Anies tidak sedikitpun ada data kuantitaif yang bersifat perolehan suara versi Pemohon serta dimana pula sebaran wilayah kemenangannya. Artinya Tim Hukum Anies tidak satupun berkeberatan atas pengumuman KPU atas perolehan suara Pilpres 2024.

Jika merujuk Permohonan Tim Anies maka terlihat lebih menitikberatkan pada kualitas proses Pemilu yang jauh dari prinsip jujur dan adil, misalnya banyaknya turut campur Presiden Jokowi untuk mengusahakan kemenangan Putranya  sebagai Wakil Presiden sehingga terjadi politisasi kebijakan yang berkontribusi untuk memenangkan pasangan calon Prabowo/Gibran.

Proses pembuktian dalam metode kualitatif tidaklah mudah dan terkesan menempatkan MK sebagai "tong sampah perkara" dari setiap proses Pemilu. Permohonan yang sifatnya kualitatif justru menyebabkan adanya kekaburan pihak termohon. Ini terkonfirmasi dari Permohonan Tim Hukum Anies yang justru kehilangan pihak yang disasar.

KPU yang semestinya ditempatkan sebagai termohon justru tidak perlu membuktikan apa-apa atas penghitungan yang telah ditetapkan. Namun sebaliknya Tim Hukum Anies justru menyasar pada pihak-pihak yang tidak relevan untuk diperhadapkan di MK seperti Presiden dan menteri-menteri terkait

Misalnya tuduhan kecurangan yang dilakukan Presiden Jokowi dan institusi yang berada dalam pengaruh presiden yang menyebabkan Pemilu tidak fair atau lolosnya Gibran sebagai calon Wakil Presiden adalah bagian dari manipulatif kecurangan Pemilu hingga adanya politisasi penggunaan dana bantuan sosial.

Yang menjadi soal atas permohonan kualitatif tersebut adalah bagaimana proses pembuktian atas permohonan tersebut? Apalagi setiap proses kebijakan publik telah ditempuh melalui mekanisme undang-undang yang berlaku. Lalu apa bisa Mahkamah menilai niatan politik kebijakan pejabat-pejabat negara?

Terkait permintaan pemohon untuk mendiskualifikasi pasangan calon Prabowo/Gibran atas dasar bahwa  kemenangan  yang diperoleh karena adanya pengaruh dana bantuan sosial, maka tentunya harus ada bentuk pembuktian korelasi antara kebijakan bansos dengan terpengaruhnya pemilih untuk memilih pasangan calon Prabowo/Gibran.

Lalu, apa mungkin membuktikan niatan politik dapat berkorelasi langsung dengan tingkat elektabilitas pasangan Prabowo/Gibran? Sangat tidak elok jika yang disasar Tim Anies hanya bentuk kebijakan yang dianggap menguntungkan pasangan calon Prabowo/Gibran. Ada baiknya bentuk kebijakan yang diambil Presiden harus dibuktikan juga disebaran wilayah yang mana dan di TPS yang mana kebijakan bantuan sosial tersebut mempengaruhi tingkat keterpilihan.

Ada juga pertanyaan mendasar, apakah seseorang yang menerima dana bansos secara langsung akan memilih pasangan calon Prabowo/Gibran? Bagaimana cara membuktikan seseorang yang menerima bansos seketika akan memilih pasangan calon Prabowo/Gibran? Karena bisa saja mereka yang menerima bansos justru tetap memilih sesuai pendiriannya dan tentunya harus juga dibuktikan berapa jumlah suara secara kuantitatif yang diperoleh pasangan Prabowo/Gibran atas pengaruh kebijakan bansos tersebut.

Perlu diketahui pula bahwa pembuktian kualitatif ini tidak ada standar prosedurnya dan juga memang akan sulit untuk mendapatkan bukti-bukti  konkrit yang meyakinkan, maka hal paling mudah dilakukan adalah pemohon akan menyandarkan pembuktian tersebut kepada Hakim Mahkamah Konstitusi.

Ini juga terkonfirmasi ketika Tim Hukum Anies dan Tim Hukum Ganjar menyampaikan permohonannya yang meletakkan pihak diluar Pemohon untuk dapat ikut andil mencari bukti-bukti kecurangan termasuk Hakim MK.

Dari apa yang disampaikan didalam Permohonan Tim Hukum Anies jelas-jelas tidak memperdulikan lagi bentuk perselisihan hasil, bukan tidak boleh namun terkesan  permohonan yang dilayangkan ke MK adalah tidak fair yang mengenyampingkan  Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Bahwa ditegaskan pula pada pasal 24C UUD 1945 menyatakan salah satu kewenangan MK adalah memutus perselisihan hasil Pemilu, tentu hal ini termasuk Pemilu Presiden. Jika disandingkan antara Permohonan Tim Anies dengan apa yang diamanahkan UUD 1945 maka terdapat pertentangan yang nyata bahwa didalam Permohonan Pemohon tidak menitikberatkan pada perselisihan hasil sedangkan UUD 1945 berbicara soal perselisihan hasil.

Permohonan Tim Anies terkesan tidak fair karena hanya mengklaim sepihak  dan berlindung dibalik pasal 22 E UUD 1945 yang menyatakan Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Padahal masing-masing pihak haruslah dianggap bersama-sama sedang membuktikan bahwa Pemilu telah sesuai dengan pasal 22 E UUD 1945.

Disni terlihat jelas Permohonan Pemohon hanya berlindung dibalik pasal 22 E UUD 1945 dan mengenyampingkan pasal 24 C UUD 1945, mungkin hal tersebut terlihat adil bagi Pemohon namun justru itu tidak menghadirkan keberimbangan bagi Termohon KPU yang harus dibebankan menyelenggarakan Pemilu sejalan dengan pasal 22 E UUD 1945 dan harus mampu bertanggungjawab atas perolehan hasil sesuai dengan pasal 24 C UUD 1945.

Dengan kata lain, tidak adil bagi KPU  karena satu sisi dituntut untuk menyelenggarakan pemilu sesuai dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil namun pada sisi lainnya ketika KPU ingin membuktikan perolehan hasil Pemilu berdasarkan Pleno KPU justru tidak dipersoalkan oleh Pemohon Tim Hukum Anies dalam petitum Permohonan.

Dalam tatanan Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga membedakan perselisihan proses dengan perselisihan hasil,  terang sudah didalam pasal 474 menegaskan jika berkaitan terkait perselisihan hasil pemilu Presiden maka muaranya hanya di MK. Artinya undang-undang menghendaki bahwa MK hanya berwenang untuk menguji perselisihan kuntitatif.

Dalil permohonan pemohon pasangan Anies ingin menggiring agar MK bisa bertindak Progresif dan Revolusioner, jikapun demikian keinginan pemohon maka semestinya dalam Permohonan Pemohon tidak perlu sungkan-sungkan untuk melibatkan Presiden Jokowi  sebagai Termohon 2 karena jelas-jelas dalam posita Pemohon membawa-bawa nama Presiden Jokowi.

Walaupun pada dasarnya  tidak pernah dikenal dalam perselisihan hasil Pemilu membawa Presiden sebagai para pihak termohon, namun jika mengikuti logika Permohoan pemohon agar Mahkamah bisa memutuskan secara progresif dan revolusioner maka tidak ada salahnya Presiden dicoba untuk dilibatkan sebagai Termohon 2 sehingga dalam Petitum pemohon bisa meletakkan Presiden sebagai Pihak yang terhukum.

Namun anehnya, permohonan pemohon (Tim Hukum Anies) banyak mempersoalkan "cawe-cawe" Jokowi dalam Pemilu Pilpres 2024 tetapi tidak meletakkan Presiden sebagai pihak yang terhukum didalam petitum pemohon. Dengan demikian semsetinya Mahkamah Konstitusi menolak logika Permohonnan Tim Hukum Anies untuk bisa memutus dengan putusan yang berwatak progresifitas dan revolusioner.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun