Mohon tunggu...
Florentina RachelYolanda
Florentina RachelYolanda Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar | Penulis | Wattpad : atmaanila | Instagram : bibliostic, rchlyolanda

Dara yang menetapkan diri sendiri sebagai lifelong-learner.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Gender terhadap Preferensi Gaya Berpakaian dan Kaitannya dengan Kualitas Kinerja di Lingkungan Kerja

11 Oktober 2022   15:00 Diperbarui: 11 Oktober 2022   15:00 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mengetahui bahwa kecenderungan hormon maskulin dan feminin tidak dapat dikendalikan manusia, penting juga untuk mengetahui bahwa cap tabu yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang berpakaian tidak sesuai dengan jenis kelaminnya dapat membatasi kebebasan berekspresi orang tersebut dan menurunkan rasa percaya diri mereka. Apalagi kaum laki-laki yang biasanya mendapat tekanan yang lebih berat terhadap stereotip berpakaian daripada perempuan (Savitri, Syarief, & Laksemi, 2022) . Penampakan perempuan yang mengenakan celana sudah menjadi hal biasa di masyarakat, tetapi begitu laki-laki mengenakan rok, caci maki dan stigma negatif langsung dilemparkan kepada orang tersebut. Seseorang yang memiliki hormon feminin yang lebih kuat cenderung memiliki preferensi berpakaian dengan warna yang beragam, seperti merah muda, merah, ungu, kuning, dan hijau. Preferensi ini berbeda dengan warna maskulin seperti abu-abu, hitam, dan biru saja. Seorang laki-laki yang memiliki ekspresi gen kromosom Y lebih sedikit ketimbang kromosom X sangat mungkin memilih warna-warna feminin. Sayangnya, ekspektasi masyarakat yang sudah berjalan berabad-abad membuat laki-laki feminin takut untuk berpakaian sesuai dengan keinginannya. Padahal, pakaian tidak pernah memiliki identitas gender. Adanya stereotip masyarakat mengenai gaya berpakaian hingga saat ini disebabkan oleh sistem sosial dan kultural masyarakat yang telah mengonstruksikan peran gender yang terdapat di jenis kelamin laki-laki dan perempuan, termasuk fesyen (Anindya, 2016).

Laki-laki yang merasa nyaman berpakaian dengan warna feminin disertai dengan perilaku dan sifat keperempuanan seringkali dicap masyarakat sebagai liyan 'yang lain'. Begitu pula dengan perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki. (Theresia & Sulityani, 2018) mengemukakan bahwa suatu hal yang liyan (yang asing/tidak lazim) akan mendapat ancaman dari pihak yang lebih kuat. Ancaman atau intimidasi inilah yang menyebabkan seorang liyan merasa tertindas dan takut untuk menunjukkan identitasnya yang sebenarnya. Misal, seorang perempuan yang sebenarnya lebih nyaman bepergian dengan kaos oblong berwarna gelap dan celana cargo terpaksa mengenakan blus berwarna pink karena orang tuanya beranggapan bahwa dengan mengubah penampilan anaknya menjadi lebih feminin, anaknya akan lebih cepat mendapatkan pasangan. Namun, hal ini dapat menyebabkan si anak merasa tidak bebas bertindak seperti biasanya karena harus menyesuaikan apa yang menjadi keinginan orang tuanya.

Harapan Masyarakat Terhadap Gaya Berpakaian dan Pengaruhnya Terhadap Stres Kerja

Kenyamanan berpakaian seseorang dapat memengaruhi kinerjanya di tempat kerja. Saat seseorang merasa nyaman dengan apa yang dikenakannya, ia akan lebih mudah fokus menyelesaikan pekerjaannya dan tingkat produktivitas menjadi naik. Di samping itu, variabel lain yang memengaruhi kinerja seseorang yaitu motivasi kerja, kepuasan kerja, kadar stres, keadaan pekerjaan, remunerasi, dan desain pekerjaan (Handoko, 2008). Pada kajian kali ini, bahasan akan difokuskan pada tingkat stres yang berkorelasi dengan ekspektasi masyarakat terhadap seragam atau pakaian seorang pekerja.

Stres adalah suasana ketegangan yang memiliki imbas pada perasaan, proses bernalar, dan kondisi seseorang (Handoko, 2008). Sedangkan menurut Gibson et al, tingkat stres kerja dimaknai dari beberapa sudut pandang, yaitu sebagai stimulus, respons, dan stimulus-respons (Yulianti, 2000). Pemaknaan tingkat stres sebagai stimulus menilai tingkat stres sebagai suatu daya yang memberikan represi terhadap individu agar individu tersebut memberikan reaksi atas tingkat stres. Pendekatan ini menilai tingkat stres sebagai efek dari hubungan antara dorongan lingkungan dengan tanggapan individu itu sendiri. Tingkat stres dalam corak negatif tidak jarang dijabarkan sebagai situasi tertekan yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara keinginan dengan realita. Dalam bahasan ini, ketidaksesuaian itu terjadi antara harapan masyarakat terhadap sifat dan perilaku seseorang selayaknya jenis kelamin mereka, yakni laki-laki dan perempuan. Di samping itu, Gibson et al mengatakan bahwa seseorang yang tidak punya teman yang cukup untuk berbagi cerita, merasa dikucilkan atau dimusuhi merupakan salah satu penyebab timbulnya stress (Yulianti, 2000).

Prestasi kerja dapat dipengaruhi oleh stress. Tingkat stres kerja yang bertambah akan menyebabkan prestasi kerja menurun (Suprihatiningrum & Bodroastuti, 2012). Jika tingkat stres melampaui batas normal, kemampuan karyawan dalam menghadapi lingkungan kerja dapat terganggu. Akibatnya, pelaksanaan pekerjaan mereka tidak berjalan maksimal dan produktivitas menjadi turun. Jika hal ini dibiarkan, proses mewujudkan tujuan perusahaan juga akan terkena imbasnya.


Upaya untuk Menciptakan Ruang Aman Bagi Liyan

Sekarang ini, sudah banyak retail atau perusahaan yang bergerak di bidang fesyen yang menciptakan mode yang bisa dikenakan tanpa memandang jenis kelamin atau lebih sering disebut dengan uniseks. Tentu saja ide seperti ini memberikan ruang aman bagi mereka yang memiliki preferensi berpakaian yang tidak memenuhi ekspektasi masyarakat. Sebagai pemerhati kebebasan berekspresi tanpa memandang gender, kita dapat mendukung ide perusahaan-perusahaan ini dengan mengenakan pakaian uniseks yang mereka luncurkan dan mengombinasikan dengan selera pribadi. Sosialisasi busana dengan konsep uniseks juga bisa diselenggarakan lewat media visual yang mampu memenuhi kebutuhan sampai masyarakat mulai terbiasa melihatnya. Akibatnya, seiring berjalannya waktu, eksistensi konsep busana ini diterima publik seperti halnya perpaduan antara kaos oblong dan celana jin yang saat ini lazim dipakai oleh kaum perempuan.

Cara lain untuk menciptakan ruang aman bagi liyan adalah dengan memuji atau memberi apresiasi kepada mereka yang berani tampil di muka publik tanpa memedulikan stereotip masyarakat agar rasa percaya dirinya terus ada. Dalam realisasinya, Jepang telah lebih dahulu menyelenggarakan sebuah acara peragaan busana yang mengangkat tema genderless. Acara peragaan ini dinamakan Tokyo Girls Collection. Model-model genderless digunakan untuk mengenakan busana yang dapat dikenakan oleh semua jenis kelamin, baik perempuan maupun laki-laki (Deanda, 2021). Jika peragaan seperti ini diadakan di Indonesia, orang-orang yang dicap liyan oleh masyarakat akan merasa dihargai karena diberikan akses untuk mengaktualisasi dan merepresentasikan dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Maslow (SUMARNI, 2019) bahwa aktualisasi diri bersifat mendasar, potensial setelah manusia terlahir, tetapi menghilang setelahnya, terpendam, atau terhambat karena kulturalisasi. Aktualisasi diri ini memiliki keterkaitan dengan kreativitas. Maka, setelah seseorang mendapatkan aktualisasi diri, kreativitasnya akan meningkat. Kreativitas yang tinggi inilah yang sangat dibutuhkan di dunia kerja.

Kesimpulan

Gender tidak bersifat kodrati karena gender dipengaruhi oleh berbagai faktor dan dapat berubah seiring perubahan yang terjadi dalam aspek sosial dan psikologis orang tersebut. Gender seseorang memengaruhi preferensi berpakaian orang tersebut. Orang yang gen maskulinnya lebih kuat cenderung berpakaian dengan warna maskulin dibandingkan dengan warna feminin, meskipun ia perempuan. Orang yang gen femininnya lebih kuat cenderung berpakaian dengan warna manis meskipun ia laki-laki. Namun, adanya stereotip masyarakat mengenai apa yang pantas dikenakan oleh perempuan dan laki-laki dapat mengekang keinginan orang tersebut dalam berpakaian sebagai sarana untuk mengekspresikan siapa diri mereka. Hal ini akan mendorong orang tersebut untuk berbusana sesuai dengan ekspektasi masyarakat umum karena mereka merasa diintimidasi secara tidak langsung. Kekurangcocokan pakaian yang dikenakan dengan preferensi berpakaian mereka dapat memengaruhi rasa percaya diri yang berujung pada menurunnya kualitas kinerja di tempat kerja. Jika rantai ini dibiarkan terus menerus, motivasi kerja orang tersebut akan menghilang dan tingkat stres yang ia alami berpotensi melampaui batas normal. Saat fenomena ini dirasakan oleh banyak karyawan, proses pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan perusahaan akan terhambat. Maka, perlu adanya upaya untuk menciptakan ruang aman bagi setiap orang, terlebih individu-individu yang dianggap masyarakat memiliki sifat dan perilaku yang melenceng dari jenis kelaminnya, agar dapat mengekspresikan identitasnya melalui gaya berpakaian tanpa merasa terintimidasi oleh harapan atau ekspektasi lingkungan sekitarnya. Dengan begitu, tekanan yang mereka terima dapat berkurang sehingga stres yang dirasakan juga tidak melampaui batas normal. Akhirnya, kualitas kinerja di tempat kerja tidak terganggu atau malah menjadi lebih optimal karena mereka merasa mendapat dukungan dan aktualisasi diri dari lingkungan tempat mereka bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun