Mohon tunggu...
Florentina RachelYolanda
Florentina RachelYolanda Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar | Penulis | Wattpad : atmaanila | Instagram : bibliostic, rchlyolanda

Dara yang menetapkan diri sendiri sebagai lifelong-learner.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Gender terhadap Preferensi Gaya Berpakaian dan Kaitannya dengan Kualitas Kinerja di Lingkungan Kerja

11 Oktober 2022   15:00 Diperbarui: 11 Oktober 2022   15:00 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gender adalah bagian interaksi sosial yang berhubungan dengan perbedaan seksual pada manusia (Demartoto, 2007). Hilary M. Lips, dalam bukunya yang berjudul Sex and Gender (1997), mengemukakan pengertian gender sebagai harapan-harapan dari budaya terhadap perempuan dan laki-laki (Lips). Harapan-harapan budaya yang dimaksud adalah sifat-sifat yang dianggap masyarakat sepatutnya ada di dalam diri laki-laki dan perempuan. Contohnya adalah lelaki diharapkan menjadi jantan, perkasa, dan mampu melindungi perempuan, sedangkan perempuan diharapkan masyarakat menjadi sosok yang lemah lembut dan memiliki sifat keibuan. Padahal, sifat-sifat ini dapat ditukar. Laki-laki dapat menjadi sosok yang lemah lembut dan perempuan dapat menjadi sosok yang perkasa. Perubahan sifat-sifat ini mampu terwujud dari waktu ke waktu dan dari daerah ke daerah lainnya (Fakih, 1996).       

Fenomena pertukaran sifat laki-laki dan perempuan ini dapat memengaruhi gaya berpakaian orang tersebut. Ada laki-laki yang lebih suka dan nyaman mengenakan pakaian berwarna merah muda dan bermotif bunga ketimbang kaos polos berwarna gelap yang diasosiasikan dengan pakaian laki-laki. Sebaliknya, ada perempuan yang lebih nyaman mengenakan kemeja model laki-laki berwarna gelap ketimbang blus. Perasaan nyaman terhadap busana yang dikenakan ini berkiatan dengan kepercayaan diri seseorang. Menurut Ghufron & Rini (2011:35), kepercayaan diri merupakan salah satu bagian kepribadian yang krusial dalam diri manusia sehingga akan banyak menciptakan masalah pada diri seseorang jika ia tak memiliki rasa percaya diri. Permasalahan yang dapat timbul jika seseorang tak memiliki kepercayaan diri adalah kinerja yang kurang optimal dalam pekerjaan yang dilaksanakannya.

Berangkat dari situ, penulis akan mengupas pengaruh gender terhadap preferensi gaya berpakaian yang dapat menyokong kepercayaan diri. Dalam esai ini, penulis juga membahas perbedaan gender dan jenis kelamin dengan harapan pembaca memeroleh pertimbangan sebelum menjustifikasi perilaku seseorang yang dianggap menyimpang dari ekspektasi masyarakat. Semua upaya ini dilakukan guna memperluas ruang aman bagi mereka yang memiliki preferensi berpakaian yang oleh masyarakat dianggap tidak pas dengan jenis kelaminnya.

Pengertian gender dan perbedaannya dengan jenis kelamin

Salah satu pengertian gender menurut Jary dan Jary dalam Dictionary of Sociology (1991:254) adalah

Penggolongan seseorang ke dalam kelompok 'maskulin' atau 'feminin' berdasarkan sifat-sifat yang melekat dalam diri orang tersebut secara sosial dan psikologis.

Contohnya, perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut, bertutur kata baik, anggun, dan sensitif, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai sosok yang kuat, melindungi, perkasa, dan mengedepankan logika. Seperti yang kita tahu, sifat-sifat ini tidak didapat secara kodrati, tetapi dari pola asuh yang diterima, sosialisasi dari lingkungan, dan faktor-faktor kultural lainnya, sehingga gender memiliki potensi mengalami perubahan. Hal ini tentu saja berbeda dengan jenis kelamin yang diciptakan Tuhan dan selamanya tidak berubah.


Setiap manusia yang lahir ke dunia memiliki 46 buah kromosom yang terdiri dari 23 pasang, yakni 22 pasang kromosom autosom dan 1 pasang kromosom kelamin (Rahmawati, 2011). Kromosom kelamin ini digolongkan menjadi dua jenis, yaitu kromosom X dan kromosom Y. Jumlah kromosom yang dimiliki perempuan pada umumnya adalah 46XX, sedangkan kromosom yang dimiliki kebanyakan laki-laki adalah 46XY. Tetapi, selain varian kromosom XX dan XY, ada juga seseorang yang memiliki varian kromosom YY serta lebih dari satu kromosom X dan Y (Kompas, 2016). Varian-varian ini bisa menjadi penyebab seseorang memiliki fisik yang berbeda dari teman-temannya yang memiliki jenis kelamin yang sama.

Dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS menjelaskan bahwa kemunculan kromosom Y baru terjadi saat usia janin menginjak delapan minggu (Kompas, 2016). Pada usia delapan minggu, polarisasi terjadi dengan cara kromosom Y menarik hormon-hormon maskulin. Proses ilmiah ini berada di luar jangkauan manusia sehingga kita tidak mampu memutuskan apakah janin tersebut akan memiliki hormon maskulin seperempat, setengah, atau ekstrem. Banyaknya gen maskulin inilah yang berkontribusi dalam pembentukan fisik seseorang seperti berotot, badan kekar, dan lain-lain. Maka dari itu, seorang laki-laki yang memiliki sifat lemah lembut, kemayu, dan sifat-sifat lain yang seringkali diasosiasikan dengan keperempuanan, bisa jadi ia memiliki gen maskulin yang tidak begitu kuat.

Lebih jelas lagi, perbedaan gender dan jenis kelamin terletak pada penggolongan perannya. Peran gender lebih menekankan pada peran sosial yang tergantung pada situasi dan waktu, serta bukan berasal dari kodrat Tuhan. Gender juga menyangkut pada tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang didasari kesepakatan masyarakat atau tradisi turun-temurun. Contohnya adalah peran laki-laki yang diasosiasikan dengan mencari nafkah, sedangkan peran perempuan adalah mengurus urusan rumah tangga. Hal ini berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis dan berasal dari kodrat Tuhan sehingga tidak bisa diubah. Contohnya adalah perempuan memiliki rahim yang tidak dimiliki laki-laki, laki-laki yang memiliki hormon testosteron yang tidak dimiliki perempuan, dan sebagainya.

Akan tetapi, gender tidak berbatas pada penggolongan maskulin saja atau feminin saja. Menurut Health Harvard Edu (2020), ada istilah gender-fluid sebagai julukan bagi seseorang yang merasa bahwa ia mempunyai lebih dari satu identitas gender dan dapat berganti-ganti di waktu yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi. Selebriti yang mengidentifikasi dirinya sebagai gender-fluid ialah  Ruby Rose.

Pengaruh gender terhadap preferensi gaya berpakaian seseorang

Setelah mengetahui bahwa kecenderungan hormon maskulin dan feminin tidak dapat dikendalikan manusia, penting juga untuk mengetahui bahwa cap tabu yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang berpakaian tidak sesuai dengan jenis kelaminnya dapat membatasi kebebasan berekspresi orang tersebut dan menurunkan rasa percaya diri mereka. Apalagi kaum laki-laki yang biasanya mendapat tekanan yang lebih berat terhadap stereotip berpakaian daripada perempuan (Savitri, Syarief, & Laksemi, 2022) . Penampakan perempuan yang mengenakan celana sudah menjadi hal biasa di masyarakat, tetapi begitu laki-laki mengenakan rok, caci maki dan stigma negatif langsung dilemparkan kepada orang tersebut. Seseorang yang memiliki hormon feminin yang lebih kuat cenderung memiliki preferensi berpakaian dengan warna yang beragam, seperti merah muda, merah, ungu, kuning, dan hijau. Preferensi ini berbeda dengan warna maskulin seperti abu-abu, hitam, dan biru saja. Seorang laki-laki yang memiliki ekspresi gen kromosom Y lebih sedikit ketimbang kromosom X sangat mungkin memilih warna-warna feminin. Sayangnya, ekspektasi masyarakat yang sudah berjalan berabad-abad membuat laki-laki feminin takut untuk berpakaian sesuai dengan keinginannya. Padahal, pakaian tidak pernah memiliki identitas gender. Adanya stereotip masyarakat mengenai gaya berpakaian hingga saat ini disebabkan oleh sistem sosial dan kultural masyarakat yang telah mengonstruksikan peran gender yang terdapat di jenis kelamin laki-laki dan perempuan, termasuk fesyen (Anindya, 2016).

Laki-laki yang merasa nyaman berpakaian dengan warna feminin disertai dengan perilaku dan sifat keperempuanan seringkali dicap masyarakat sebagai liyan 'yang lain'. Begitu pula dengan perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki. (Theresia & Sulityani, 2018) mengemukakan bahwa suatu hal yang liyan (yang asing/tidak lazim) akan mendapat ancaman dari pihak yang lebih kuat. Ancaman atau intimidasi inilah yang menyebabkan seorang liyan merasa tertindas dan takut untuk menunjukkan identitasnya yang sebenarnya. Misal, seorang perempuan yang sebenarnya lebih nyaman bepergian dengan kaos oblong berwarna gelap dan celana cargo terpaksa mengenakan blus berwarna pink karena orang tuanya beranggapan bahwa dengan mengubah penampilan anaknya menjadi lebih feminin, anaknya akan lebih cepat mendapatkan pasangan. Namun, hal ini dapat menyebabkan si anak merasa tidak bebas bertindak seperti biasanya karena harus menyesuaikan apa yang menjadi keinginan orang tuanya.

Harapan Masyarakat Terhadap Gaya Berpakaian dan Pengaruhnya Terhadap Stres Kerja

Kenyamanan berpakaian seseorang dapat memengaruhi kinerjanya di tempat kerja. Saat seseorang merasa nyaman dengan apa yang dikenakannya, ia akan lebih mudah fokus menyelesaikan pekerjaannya dan tingkat produktivitas menjadi naik. Di samping itu, variabel lain yang memengaruhi kinerja seseorang yaitu motivasi kerja, kepuasan kerja, kadar stres, keadaan pekerjaan, remunerasi, dan desain pekerjaan (Handoko, 2008). Pada kajian kali ini, bahasan akan difokuskan pada tingkat stres yang berkorelasi dengan ekspektasi masyarakat terhadap seragam atau pakaian seorang pekerja.

Stres adalah suasana ketegangan yang memiliki imbas pada perasaan, proses bernalar, dan kondisi seseorang (Handoko, 2008). Sedangkan menurut Gibson et al, tingkat stres kerja dimaknai dari beberapa sudut pandang, yaitu sebagai stimulus, respons, dan stimulus-respons (Yulianti, 2000). Pemaknaan tingkat stres sebagai stimulus menilai tingkat stres sebagai suatu daya yang memberikan represi terhadap individu agar individu tersebut memberikan reaksi atas tingkat stres. Pendekatan ini menilai tingkat stres sebagai efek dari hubungan antara dorongan lingkungan dengan tanggapan individu itu sendiri. Tingkat stres dalam corak negatif tidak jarang dijabarkan sebagai situasi tertekan yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara keinginan dengan realita. Dalam bahasan ini, ketidaksesuaian itu terjadi antara harapan masyarakat terhadap sifat dan perilaku seseorang selayaknya jenis kelamin mereka, yakni laki-laki dan perempuan. Di samping itu, Gibson et al mengatakan bahwa seseorang yang tidak punya teman yang cukup untuk berbagi cerita, merasa dikucilkan atau dimusuhi merupakan salah satu penyebab timbulnya stress (Yulianti, 2000).

Prestasi kerja dapat dipengaruhi oleh stress. Tingkat stres kerja yang bertambah akan menyebabkan prestasi kerja menurun (Suprihatiningrum & Bodroastuti, 2012). Jika tingkat stres melampaui batas normal, kemampuan karyawan dalam menghadapi lingkungan kerja dapat terganggu. Akibatnya, pelaksanaan pekerjaan mereka tidak berjalan maksimal dan produktivitas menjadi turun. Jika hal ini dibiarkan, proses mewujudkan tujuan perusahaan juga akan terkena imbasnya.

Upaya untuk Menciptakan Ruang Aman Bagi Liyan

Sekarang ini, sudah banyak retail atau perusahaan yang bergerak di bidang fesyen yang menciptakan mode yang bisa dikenakan tanpa memandang jenis kelamin atau lebih sering disebut dengan uniseks. Tentu saja ide seperti ini memberikan ruang aman bagi mereka yang memiliki preferensi berpakaian yang tidak memenuhi ekspektasi masyarakat. Sebagai pemerhati kebebasan berekspresi tanpa memandang gender, kita dapat mendukung ide perusahaan-perusahaan ini dengan mengenakan pakaian uniseks yang mereka luncurkan dan mengombinasikan dengan selera pribadi. Sosialisasi busana dengan konsep uniseks juga bisa diselenggarakan lewat media visual yang mampu memenuhi kebutuhan sampai masyarakat mulai terbiasa melihatnya. Akibatnya, seiring berjalannya waktu, eksistensi konsep busana ini diterima publik seperti halnya perpaduan antara kaos oblong dan celana jin yang saat ini lazim dipakai oleh kaum perempuan.

Cara lain untuk menciptakan ruang aman bagi liyan adalah dengan memuji atau memberi apresiasi kepada mereka yang berani tampil di muka publik tanpa memedulikan stereotip masyarakat agar rasa percaya dirinya terus ada. Dalam realisasinya, Jepang telah lebih dahulu menyelenggarakan sebuah acara peragaan busana yang mengangkat tema genderless. Acara peragaan ini dinamakan Tokyo Girls Collection. Model-model genderless digunakan untuk mengenakan busana yang dapat dikenakan oleh semua jenis kelamin, baik perempuan maupun laki-laki (Deanda, 2021). Jika peragaan seperti ini diadakan di Indonesia, orang-orang yang dicap liyan oleh masyarakat akan merasa dihargai karena diberikan akses untuk mengaktualisasi dan merepresentasikan dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Maslow (SUMARNI, 2019) bahwa aktualisasi diri bersifat mendasar, potensial setelah manusia terlahir, tetapi menghilang setelahnya, terpendam, atau terhambat karena kulturalisasi. Aktualisasi diri ini memiliki keterkaitan dengan kreativitas. Maka, setelah seseorang mendapatkan aktualisasi diri, kreativitasnya akan meningkat. Kreativitas yang tinggi inilah yang sangat dibutuhkan di dunia kerja.

Kesimpulan

Gender tidak bersifat kodrati karena gender dipengaruhi oleh berbagai faktor dan dapat berubah seiring perubahan yang terjadi dalam aspek sosial dan psikologis orang tersebut. Gender seseorang memengaruhi preferensi berpakaian orang tersebut. Orang yang gen maskulinnya lebih kuat cenderung berpakaian dengan warna maskulin dibandingkan dengan warna feminin, meskipun ia perempuan. Orang yang gen femininnya lebih kuat cenderung berpakaian dengan warna manis meskipun ia laki-laki. Namun, adanya stereotip masyarakat mengenai apa yang pantas dikenakan oleh perempuan dan laki-laki dapat mengekang keinginan orang tersebut dalam berpakaian sebagai sarana untuk mengekspresikan siapa diri mereka. Hal ini akan mendorong orang tersebut untuk berbusana sesuai dengan ekspektasi masyarakat umum karena mereka merasa diintimidasi secara tidak langsung. Kekurangcocokan pakaian yang dikenakan dengan preferensi berpakaian mereka dapat memengaruhi rasa percaya diri yang berujung pada menurunnya kualitas kinerja di tempat kerja. Jika rantai ini dibiarkan terus menerus, motivasi kerja orang tersebut akan menghilang dan tingkat stres yang ia alami berpotensi melampaui batas normal. Saat fenomena ini dirasakan oleh banyak karyawan, proses pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan perusahaan akan terhambat. Maka, perlu adanya upaya untuk menciptakan ruang aman bagi setiap orang, terlebih individu-individu yang dianggap masyarakat memiliki sifat dan perilaku yang melenceng dari jenis kelaminnya, agar dapat mengekspresikan identitasnya melalui gaya berpakaian tanpa merasa terintimidasi oleh harapan atau ekspektasi lingkungan sekitarnya. Dengan begitu, tekanan yang mereka terima dapat berkurang sehingga stres yang dirasakan juga tidak melampaui batas normal. Akhirnya, kualitas kinerja di tempat kerja tidak terganggu atau malah menjadi lebih optimal karena mereka merasa mendapat dukungan dan aktualisasi diri dari lingkungan tempat mereka bekerja.

Daftar Pustaka

Artikel

Health.harvard.edu. (2020, 3 Desember). Gender fluidity: What it means and why support matters. Diakses pada 14 September 2022 dari  https://www.health.harvard.edu/blog/gender-fluidity-what-it-means-and-why-support-matters-2020120321544

Kompas.com. (2016, 30 Januari). Laki-laki Kok "Kemayu"?. Diakses pada 11 September 2022 dari https://health.kompas.com/read/2016/01/30/130000023/Laki-laki.Kok.Kemayu.?page=all

Buku

Demartoto, Argyo. (2007). Menyibak Sensitivitas Gender dalam Keluarga Difabel. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.

Fakih, Mansour. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ghufron, Nur & Risnawita, Rini. (2011). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.

Handoko, T. Hani. (2008). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia (Edisi 2). Yogyakarta: BPFE.

Jary, David dan Julia Jary. (1991). Dictionary of Sociology. Illinois: Dos Jones Irwin.

Jurnal

Anindya, A. J. T. (2016). Gender fluid dan identitas androgini dalam media sosial. 12(2), 107-118.

Deanda, T. R. (2021). ANALISIS POST-STRUKTURALISME PADA GENDERLESS FASHION DI JEPANG SEBAGAI REPRESENTASI AKTUALISASI DIRI OLEH GENERASI MUDA DI JEPANG.

Lips, H. M. Sex and Gender: Mayfield Publishing Company.

Rahmawati, A. J. E. (2011). Hubungan antara usia ibu hamil dengan resiko terjadinya kelahiran sindroma down.

Savitri, E., Syarief, A., & Laksemi, S. K. J. J. S. d. R. R. J. I. M. D. (2022). KONSEP PAKAIAN GENDER-FLUID BERDASARKAN PANDANGAN MASYARAKAT URBAN. 4(2), 271-287.

SUMARNI, S. J. A.-T. J. B. d. K. I. (2019). KOGNISI DAN KREATIVITAS SEBAGAI AKTUALISASI HUMAN SELF DI ERA GENERASI Z. 8(2), 154-167.

Suprihatiningrum, H., & Bodroastuti, T. J. J. K. A. d. B. (2012). Faktor--Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Kerja (Studi Pada Karyawan Kantor Kementrian Agama Provinsi Jawa Tengah). 1(1).

Theresia, R. V., & Sulityani, H. D. J. I. O. (2018). Pemaknaan Khalayak Terhadap Maskulinitas Liyan pada Drama Televisi Korea. 6(4), 597-610.

Yulianti, P. (2000). PENGARUH SUMBER SUMBER STRES KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA TENAGA EDUKATIF TETAP FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS AIRLANGGA DI SURABAYA. Universitas Airlangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun