"Aku hanya ingin anakku sukses…"
"Aku melakukan ini semua demi kebaikannya…"
"Aku dulu juga dibesarkan dengan cara seperti ini, dan aku baik-baik saja…"
Kalimat-kalimat itu mungkin terdengar familiar. Bahkan, barangkali pernah terucap sendiri dari bibir kita. Sebagai orang tua, niat kita pasti baik. Kita ingin anak tumbuh hebat, disiplin, dan menjadi versi terbaik dari dirinya. Tapi sayangnya, tidak semua cara mendidik yang ‘niatnya baik’ berdampak baik pula bagi jiwa anak.
Kadang cinta itu begitu besar, sampai orang tua lupa bahwa anak pun punya hati yang harus dijaga.
Kita bangun pagi, menyiapkan sarapan, menyekolahkan anak ke tempat terbaik, membelikan buku, les tambahan, bahkan menahan lelah demi senyuman mereka. Semua itu adalah bentuk cinta. Tapi kadang, justru cinta yang tidak dikawal dengan kesadaran bisa berubah jadi luka yang dalam.
Kita terlalu ingin anak sukses, sampai lupa memeluk kegagalan mereka.
Kita terlalu ingin anak disiplin, sampai lupa mendengarkan alasan mereka.
Kita terlalu ingin anak jadi yang terbaik, sampai lupa bahwa anak juga manusia, bukan proyek ambisi pribadi.
Kadang tanpa sadar, kasih sayang yang dibungkus obsesi itu berubah jadi racun pengasuhan—yang kita kira membangun, tapi justru meruntuhkan perlahan-lahan.
Betapa sering terdengar cerita dari sahabat atau tetangga:
"Anakku jadi pendiam, katanya takut salah di mata saya."
"Dia murung saat dapat nilai rendah, katanya saya pasti kecewa."
"Setiap kali pulang sekolah, dia menahan tangis karena tak berani bicara tentang masalahnya."
Dan kita tersentak. Bukan karena kita tidak sayang, tapi karena kita belum sadar cara menyayang yang benar.
Toxic parenting bukan selalu tentang kekerasan fisik. Kadang ia hadir dalam bentuk sindiran, tuntutan berlebihan, atau komentar ringan yang menyayat jiwa. Kita pikir sedang membentuk karakter, tapi ternyata sedang menghancurkan keberanian anak untuk jadi dirinya sendiri.
Di sinilah saatnya kita berhenti sejenak, dan bertanya pada diri:
Sudahkah cinta ini menemani pertumbuhan anak?
Atau justru tanpa sadar menghambatnya?