Sedih...sedih hatiku ini, tanpa terasi air mataku mengalir membasahi pipiku. Ku pandangi terus seorang bocah kecil yang sedang tertidur pulas di sampingku. Sesekali kuperhatikan mimik wajahnya yang lucu, yaaah...wajah itu. Wajah kekasihku. Karena dia pulalah kami berdua ada di dalam bis ini. Yoga, itulah nama anakku. Dia anakku satu-satunya. Hampir tiga tahun umurnya. Dan hampir selama itu pulalah ayahnya tak pernah melihat wajahnya, setelah kelahirannya dulu...Tentu, tentu saja sudah bayak sekali perubahan yang terjadi pada kami berdua.
Pagi menjelang, sayup-sayup masih kudengar suara kokok ayam di kota sebesar ini. Kota metropolitan, kata orang-orang. Walaupun sebenarnya aku tak pernah mengerti apa arti kata itu. Yang ku dengar orang-orang sering menyebutnya ketika pulang ke kampung saat lebaran.
Sudah sampai! Ayo, ayo..ayo...turun. Kita sudah sampai di terminal Pulo Gadung. Sampai dimana ini, ucapku lirih. Ku bangunkan anakku. Kami pun lantas bersiap-siap keluar dari bis.
"Ya Tuhan, kenapa harus berdesakan seperti ini, yang sabar toh"...ujar salah satu penumpang di depanku. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang ibu-ibu menangis...."Toloooong, toloooong, mas...mas,,,piye iki, dompetku ndhi? Walah...dalah.....dompetku ora ono mas....huuuu...huuuuuu..."
Lha, ibu iki piye tho...emangnya tasmu mbok taruh dimana, Bu? Jawab suaminya.....huuuuuu...huuuuu, mbuh!!!! Pak, aku kecopetan iki.....
Aku terhenyak sesaat melihat kejadian itu. Rupanya si ibu kehilangan dompetnya saat berdesak-desakan ketika akan turun. Tak taulah, ketika aku terbangun oleh suara kernet, tiba-tiba sudah banyak penjual, pengamen dan lainnya yang naik ke bis yang kami tumpangi.
Aku lantas bergegas mencari tempat duduk dan beristirahat barang sejenak. Ku gendong anakku yang masih mengantuk dan disertai capai selama kurang lebih 16 jam kami duduk di dalam bis. Lelah yang kurasakan, namun aku tak mau patah semangat. Tekadku sudah bulat. Aku ke sini, ke ibu kota untuk menyusul suamiku yang sudah lama meninggalkan kami di kampung halaman. Aku sudah tak sanggup lagi tinggal di kampung, selalu jadi bahan olokan para tetangga.
"Jum, ngendhi tho bojomu? Opo sampeyan ora kangen? Opo anakmu ora nakoni bapak e?"
Awalnya aku jawab semua pertanyaan mereka dengan tabah, namun lama-kelamaan aku tak tahan lagi. Akhirnya aku putuskan untuk menyusul suamiku . Hanya berbekal alamat yang pernah ia kirimkan pada ku saat dia masih baru-baru tinggal di Jakarta. Entahlah, semoga saja dia masih tinggal di tempat yang sama.
"Bu e, laper...." Sedih hatiku mendengarnya, segera saja ku keluarkan arem-arem sisa kami semalam. Aku berharap makanan ini tidak basi.
Aku akhirnya memutuskan bertanya kepada petugas berseragam di depan keluarnya bis-bis antar kota dalam propinsi, berharap dia mengetahui alamat yang akan aku tuju. Namun, sayang sekali dia tak tahu. Sudah tiga orang yang aku tanyai tak ada jua yang tau alamat yang aku perlihatkan....duuuh, hari sudah mulai terik, fikirku...lelah.