Mohon tunggu...
Rahmat Kurnia  Lubis
Rahmat Kurnia Lubis Mohon Tunggu... Penjahit - Penggiat Filsafat

Santri Desa, Kaum Sarungan, Suka Membaca, Suka Menulis, Suka Berjalan, Suka Makan dan Semuanya Dilakukan Dengan Suka-Suka. Alumni UIN Sunan Kalijaga (Suka), Suka Filsafat dan Suka Indonesia Berbudaya.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sebuah Catatan dari Ende

19 September 2021   15:32 Diperbarui: 19 September 2021   15:40 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Bandara Eltari
Saya sudah sering bepergian dengan menaiki pesawat hampir di seluruh sudut-sudut Indonesia, khususnya Kota-Kota Besar, tetapi ada yang unik menurut saya dengan hamparan Padang yang cukup luas dan sepertinya tandus itu ketika diintip dari jendela pesawat hingga landing dan mendarat dengan sempurna di Bandara Eltari, Kupang. 

Dalam pikiran saya, kok sepertinya ini bukan di Indonesia, saya membayangkan saat-saat yang hampir sama persis ketika menelusuri setiap sudut di Bandar Udara Internasional Mohamed Boudiaf sebuah bandara yang terletak dekat Constantine, Aljazair pada kunjungan saya 2016 silam. 

Ya persamaan geografis yang sedikit gersang itu seolah mengingatkan saya negeri di Afrika Utara itu, sempat bertanya waktu itu di Kupang, sepertinya sepanjang Airport ini dedaunan berwarna kuning dan tidak sedikit yang berguguran ucap saya ke Pak Jamal yang asli orang NTT. Pernyataan saya kemudian dibenarkan bahkan menurut beliau wilayah tersebut hanya sekitar tiga bulan saja dedaunan berwarna hijau yaitu pada musim hujan. 

Ketika mendarat kami terpaksa harus menunggu penerbangan berikutnya ke Bandar Udara H. Hasan Aroeboesman, Pulau Flores, Kabupaten Ende. 

Sesekali saya memperhatikan berbagai macam aksesoris, wajah, dialektika dan para suster di Bandara Eltari, dalam hati saya berucap inilah Kekayaan Alam Indonesia, suatu anugerah yang tiada terhingga.

Diseminasi Haji
Tidak menyangka betapa antusiasmenya masyarakat muslim Ende berbicara tentang Pembatalan dan terkait Regulasi Masalah Haji dalam diskusi ala-ala talkshow tersebut. Seolah bayangan saya menyiratkan bahwa Soekarno dalam pengasingannya di Ende telah berhasil membentuk sebuah paradigma baru tentang Islam Rasional, jadi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari audiensi adalah kalimat filosofis, terstruktur, dan sistematis yang haus akan sebuah jawaban. 

Terbukti diusia-usia sepuh dalam menghadiri acara diseminasi seharian penuh itu mereka tetap masih semangat, dari pengamatan penulis rata-rata usia peserta adalah sekitaran 50 an tahun. 

Ketika durasi waktu yang diberikan panitia pun selesai mereka dengan wajah yang penuh semangat mendatangi kami narasumber dan panitia bertanya tentang banyak hal terkait fakta dan hoax masalah haji, regulasi, kebijakan dan bahkan ibu-ibu ketua majelis taklim setempat sempat bertanya tentang masalah Hukum Nasional yang terjadi atas fenomena Ibu Kota Jakarta. Saya hanya tersenyum sambil menjelaskan secara berlahan. 

Pengasingan Ir. Soekarno
Meninggalkan ruang diskusi kami beranjak ke sebuah Rumah Pengasingan, siapa yang tidak tahu sejarah ini? Ya, Di sebuah pulau jauh dari Ibu Kota Negara Ir. Soekarno (Bung Karno) pernah diasingkan, tepatnya di Pulau Flores, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. (14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938).

Pengasingan Ir. Soekarno diawali dengan pertemuan politik di rumah Muhammad Husni Thamrin di Jakarta, pada tanggal 1 Agustus 1933. Ia ditangkap dan kemudian dipenjarakan selama delapan bulan tanpa proses pengadilan.

Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, De Jonge, mengeluarkan surat keputusan pengasingan Ir. Soekarno (saat itu beliau berusia 32 tahun) karena kegiatan politiknya membahayakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Sahabat saya Ari Masyhuri, M.Q bertanya dalam napak tilas di pengasingan Soekarno ini, "Kira-kira kala itu Soekarno  dari Surabaya diangkut menuju Flores naik apa ya?" Ujar beliau, dikutip dari http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/ menyebutkan bahwa Soekarno diangkut dengan Kapal Barang KM van Riebeeck menempuh delapan hari perjalanan. 

Tak jauh dari lokasi rumah beliau diasingkan ada sebuah pohon sukun. Konon disinilah Soekarno banyak melakukan perenungan atau kontemplasi salah satu pokok perenungannya adalah tentang Pancasila.

Kini, taman ini dikenal dengan Taman Renungan Bung Karno atau sering disebut Taman Renungan Pancasila. Lokasinya persis di Kelurahan Rukun Lima.

Tempat ini selain mempunyai nilai historis yang menjadi Cagar Budaya Nasional ada juga sisi-sisi lain seperti kepercayaan penduduk lokal tentang aura dan hal-hal mistis yang diyakini sebahagian kebenarannya. 

Saudara Muslim, salah Satu Tenaga Ahli bapak Dipo Nusantara Pua Upa, anggota FPKB DPR RI menyebutkan salah satu keyakinan orang setempat adalah "jika membasuh/mencuci wajah di sumur Soekarno maka diyakini akan mempunyai potensi untuk melakukan poligami seperti halnya Soekarno", tentu hal ini boleh percaya atau tidak hanya sekedar mitos yang berkembang. 

Puncak Gunung Kelimutu

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Tentu kita akan rugi bila mengunjungi Ende tanpa ke Danau di Puncak Gunung Kelimutu, pesan itu memang layak dan sangat tepat. Bahkan orang asing jauh-jauh dari negara asalnya dengan bersusah payah hanya ingin melihat eksotisme Kelimutu.  

Salah satu keunikan tiga kawah yang ada di Kelimutu memiliki warna air yang berbeda-beda. Ketiga warna diantaranya adalah biru muda, merah, dan hijau toska. Danau ini  menyimpan fenomena alam yang menakjubkan, yaitu warna tersebut bisa berubah-ubah.

Selain itu, ada satu hal lagi yang sudah menjadi kepercayaan masyarakat setempat yang tak kalah mistisnya. Seperti disampaikan saudara Muslim bahwa Masyarakat percaya bahwa danau tersebut merupakan tempat bersemayamnya orang yang telah meninggal.

Danau Tiwu Nuwa Muri Koo Fai yang berwarna biru muda merupakan tempat berkumpulnya arwah pemuda pemudi, Tiwu Ata Polo yang berwarna hijau toska diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah para tukang tenung atau tukang sihir yang jahat. Sedangkan Tiwu Ata Mbupu atau Ata Mbupu, Kawah berwarna merah yaitu tempat disemayamkannya arwah orang-orang tua. 

Danau yang letaknya di Kecamatan Detsuko, Wolowaru, dan Ndona ini  1631 Meter dari permukaan laut, siapapun yang mengunjunginya akan merasakan sensasi wisata alam, budaya dan mistis yang tersembunyi seperti terpahat dalam batu jalan menuju gunung Kelimutu The Land of Mystical Beauty.

Terakhir kami bertanya maksud tulisan yang terpahat dengan bahasa yang sepertinya adalah bahasa daerah orang setempat di area kawasan menuju puncak Kelimutu Pati Ka Dua Bapu Ata Maia "itu berarti masyarakat akan melakukan semacam ritual sebagai sebuah kearifan lokal dimana mereka akan memberikan makan kepada arwah leluhur" tutup Muslim dalam perbincangan kami di puncak Gunung Kelimutu. 

Bogor, 18 Sept 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun