Mohon tunggu...
Qonyta Asmara
Qonyta Asmara Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Mama tiga putra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tergoda Pesona Ustadz 2

18 Juli 2016   08:12 Diperbarui: 18 Juli 2016   08:31 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.sorotpurworejo.com"][/caption]Pagi ini, aku siap-siap berangkat kerja. Walaupun tubuhku terasa lemas sekali, aku harus masuk kerja. Kasihan juga Diah menyelesaikan tugasku. Sesampai di tempat kerja, salah satu mall di bilangan selatan Jakarta. Diah memelukku dengan khawatir melihat wajahku masih pucat. Saat makan siang aku bercerita tentang permasalahanku.

"Kamu masih pucat dan lemah, kenapa dipaksakan masuk kerja Nita?" cecarnya saat aku dan Diah duduk di foodcourt.

"Aku tidak betah berbaring terus dirumah" jawabku.

"Diah, aku mau cerita sama kamu" lanjutku lagi sambil memegang erat tangan sahabatku itu.

"Ada apa Nita, sangat serius kah?" jawabnya khawatir.

Aku hanya mengangguk, akhirnya aku ceritakan semua. Juga tentang kehamilanku. Dia menggeleng tak percaya mengapa aku bisa bertekuk lutut dan pasrah dengan permintaan Firman. Dari awal Diah sudah tidak suka dengan Firman, apalagi saat aku bilang pemahaman agama Firman yang baik. Aku banyak diberi nasehat. Saat itu Diah hanya berkata:


"Nanti kamu buktikan benarkah dia sudah seperti yang dia nasehatkan padamu"

"Minta pertanggungjawabannya, dimana dia sekarang kenapa dia belum tahu hal ini, Nita?" saran Diah dengan geram.
**

Malam hari, setelah aku pulang kerja Firman tetap setia menjemputku. Aku rindu sekali telah lama aku tidak bertemu dengannya. Siang tadi dia baru pulang dari luar kota. Dirumahku aku jelaskan semua yang mengganjal hatiku.

"Bang, aku hamil" bergetar bibirku mengatakan semua. Ada rasa lega setelah semuanya kuungkapkan.

Dia, diam tak bicara dipandangnya aku. Kemudian memelukku.
"Aku akan nikahi kamu" lanjutnya mantap.

Hari yang kunanti tiba, pernikahanku yang mendadak. Bapakku dan juga saudara-saudaraku sebenarnya tidak setuju, dengan status Firman yang masih beristri dan lagi sudah memiliki tiga anak. Tetapi keadaanku saat inilah yang memaksa mereka mengizinkan aku menikah dengan Firman.

Satu ganjalan dihatiku, bagaimana dengan istrinya jika nanti mengetahui suaminya sudah menikah lagi. Firman meyakinkan aku, semua akan baik-baik saja, istrinya perempuan sholehah tentu akan bisa menerima dengan ikhlas. Dan lagi istrinya juga tahu kalau suaminya menikah lagi. Tidak ada satupun keluarga Firman yang hadir, saat pernikahan kami.

Setelah menjadi istrinya, aku rasakan lengkap bahagiaku. Aku sudah tidak bekerja lagi, sesuai dengan permintaannya padaku. Dia yang pencari nafkah dalam keluarga. Tetapi rupanya ini hanya berlangsung satu bulan. Sesungguhnya dia lelaki kasar baik ucapan maupun tangannya.

Saat Firman dirumah istri pertamanya, Diah datang kerumah untuk menjengukku. Diah kangen sudah dua bulan lamanya kami tidak bertemu. Diah prihatin dan sedih melihatku. Wajahku masih ada lebam dan juga ada luka yang hampir mengering dibibirku.

"Kamu tidak boleh pasrah seperti ini, laporkan ke polisi Nita, ini penganiayaan!" jelas Diah padaku.

Saat ini aku serba salah mau kulaporkan bagaimana dengan anak dalam kandunganku. Tidak dilaporkan aku juga tidak tahan dengan perlakuan kasarnya.
Terkadang aku tak habis pikir tangan yang digunakan untuk membelaiku, dan tangan itu juga untuk menghajarku. Aku hanya bisa berharap dia berubah kembali seperti yang aku kenal dulu.
**

Sore hari saat aku sedang duduk untuk beristirahat, terdengar telepon genggamku berbunyi. Nomor telepon yang sering dihubungi suamiku. Saat ini Firman berada di Surabaya dirumah istri pertamanya. Aku tahu istri pertama Bang Firman, dosen salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Hanya itu informasi yang aku dapatkan tentangnya.

Campur aduk pikiranku, menerima atau mengabaikan dering telepon.

"Assalamualaikum" jawabku saat menerima teleponnya.
"Saya, Sarie lanjutnya memperkenalkan diri, Nada suaranya tenang tak ada tanda kemarahan di intonasinya.

Lama kami berbincang, Mbak Sarie hanya ingin tanya kapan aku menikah dengan suaminya, dia butuh beberapa informasi dariku untuk melengkapi berkas-berkas perceraiannya. Dia tak pernah izinkan suaminya menikah lagi.

Aku merasa bersalah karena aku mereka akan berpisah setelah tiga belas tahun pernikahan. Mbak Sarie menjelaskan perceraiannya bukan karena aku, aku hanyalah satu dari banyak korban Firman. Selama delapan tahun hidup Mbak Sarie di Surabaya dan Firman di Jakarta.

Perselingkuhan demi perselingkuhan yang dilakukan Firman. Menjadi tidak jelas arah pernikahan mereka. Firman tidak mau anak-anaknya besar di Jakarta, karenanya dia meminta pindah anak-anak dan Mbak Sarie kembali ke kota asal mereka. Sedangkan Firman sendiripun lebih nyaman bekerja di jakarta. Seperti ungkap Mbak Sarie, Firman punya dunia sendiri yang hanya untuk dirinya sendiri.

"Tak ada yang harus aku pertahankan dari pernikahan kami" jelas Mbak Sarie
"Terlalu sering dia berselingkuh, telah banyak barisan perempuan selingkuhannya" lanjut Mbak Sarie.

"Semoga kamu kuat ya," jelas Mbak Sarie mengakhiri percakapan kami.

Akhirnya memasuki tiga bulan pernikahanku, tak ada manis rasanys berumah tangga dengan Firman. Dia lelaki temperamental yang cepat sekali mempergunakan tangannya. Anak-anakku pun tak menyukainya. Mereka hidup ketakutan dengan papa tirinya. Rumah tangga bagai neraka, dengan semua aturannya yang sungguh keterlaluan buatku. Untuk pergi ke warung dekat rumahpun harus dengan izinnya. Lebam dan memar di wajah dan tubuhku sudah menjadj biasa buatku.

Satu minggu belakangan ini Firman bertambah kasar padaku karena dia merasa tertekan dengan gugatan cerai Mbak Sarie dan dia kehilangan pekerjaannya. Akulah sasaran empuknya untuk melampiaskan seluruh amarah dan rasa tertekannya.

Pagi ini akhir dari kekuatanku bertahan, bermula dari telepon seorang teman yang membuat Bang Firman cemburu. Kembali aku rasakan sakitnya pukulan diwajah dan tubuhku. Dengan tubuh yang lemah aku pastikan langkah menuju kantor polisi terdekat.

"Maaf bang, cukup sudah kesabaran untuk bertahan hidup bersamamu. Mungkin dalam terali besi ini kamu bisa merenungkan semua salahmu. Aku akan urus anak dalam kandungan ini sendiri."tekadku dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun