Mohon tunggu...
Qomaruddin
Qomaruddin Mohon Tunggu... Copywriter yang tertarik pada isu pendidikan dan pemberdayaan masyarakat | Humas Al Irsyad Purwokerto | Redaktur Suara Al Irsyad

Menulis kata, merangkai aksi, dan menumbuhkan harapan untuk dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hutang Keluarga: Memilih Tidak Pergi Walau Tak Bisa Langsung Melunasi

19 Juli 2025   17:33 Diperbarui: 19 Juli 2025   17:33 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga semestinya bersatu (Sumber: freepik.com/asphotofamily)

Ketika Kabar Datang Tanpa Peringatan

Beberapa tahun lalu, hidup keluarga kami sempat terasa seperti benang kusut yang tak mudah diurai. Salah satu anggota keluarga kami---seseorang yang kami cintai dan percaya---tiba-tiba saja terungkap terlilit utang besar. Bukan utang rumah, bukan utang kendaraan. Ini utang yang muncul karena usaha yang gagal, keputusan yang salah, dan mungkin juga, karena kelelahan yang ia pendam sendirian terlalu lama.

Kami tahu bukan dari mulutnya. Tapi dari surat penagihan yang datang, lalu suara-suara asing di telepon rumah yang kami kira hanya salah sambung. Rasanya seperti ditampar kenyataan yang tidak kami minta.

Kami kecewa. Tapi lebih dari itu, kami bingung. Kami tidak tahu harus mulai dari mana, atau apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.

Saat Kami Memilih Tidak Pergi

Saya tidak ingat siapa yang pertama kali berkata, "Kita bantu saja." Tapi kalimat itu menjadi titik balik. Kami sadar, utangnya terlalu besar untuk dilunasi saat itu juga---even jika semua anggota keluarga mengorbankan tabungan sekalipun. Maka, kami memilih satu-satunya jalan yang memungkinkan: membantu melunasi dengan cara baru, memindahkan beban besar itu ke dalam utang yang lebih terstruktur, lebih panjang tenornya, dan bisa dicicil bersama-sama.

Kami duduk bersama, berdiskusi, menghitung ulang semua kemungkinan. Tidak semua langsung sepakat, tentu saja. Tapi perlahan-lahan, keputusan bulat terbentuk: kami tidak akan membiarkan dia menghadapi ini sendiri.

Kami berhemat. Beberapa rencana besar tertunda. Tapi kami tetap makan bersama, tetap saling sapa, dan tetap percaya: kalau satu jatuh, yang lain jangan membiarkan dia jatuh sendirian.

Saat Semua Itu Akhirnya Selesai

Sekarang, utang itu sudah lunas. Sudah lewat beberapa tahun sejak cicilan terakhir dibayar. Kami bahkan hampir lupa tanggal pastinya. Tapi yang kami ingat adalah perasaan itu---ketika akhirnya beban itu selesai, dan kami bisa menarik napas panjang tanpa rasa takut.

Yang dulu sempat kami anggap egois, kini jadi lebih terbuka dan bertanggung jawab. Ia sering mengingatkan kami semua untuk lebih berhati-hati mengelola keuangan, terutama dalam hal usaha. Pengalaman pahit yang dulu membuatnya tertutup, kini justru membuatnya lebih dewasa dan jujur pada diri sendiri---dan pada kami.

Dan kami yang dulu sempat marah, pelan-pelan belajar memaafkan. Bukan karena lupa, tapi karena memilih untuk tidak membiarkan luka itu terus terbuka.

Keluarga Tidak Harus Sempurna, Tapi Harus Saling Menjaga

Keluarga kami bukan keluarga sempurna. Tapi kami belajar satu hal penting: terkadang, menyelamatkan satu orang bukan berarti mengorbankan semuanya. Justru, itu bisa jadi jalan untuk membuat keluarga makin kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun