Dengan pemahaman masyarakat yang sangat minim tentang pentingnya pencatatan pernikahan, akibatnya mempengaruhi masyarakat tetap melaksanakan pernikahan sirri. Adanya anggapan bahwa perkawinan yang dicatat dan tidak dicatat sama saja.Â
Padahal telah dijelaskan dalam Undang-undang Perkawinan yaitu: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS)."
    Faktor sosial
Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif  kepada setiap orang (laki-laki) yang menikah lebih dari satu (berpoligami), maka untuk menghindari stigma negatif tersebut, seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.
    Sulitnya aturan berpoligami.
Untuk dilakukannya pernikahan yang kedua, ketiga dan seterusnya (poligami) ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu harus mendapat izin dan persetujuan dari istri sebelumnya. Hal ini diharapkan dapat memperkecil dilakukannya poligami bagi laki-laki yang telah menikah tanpa alasan tertentu. Dan karena sulit untuk mendapatkan ijin dari istri, maka akhirnya suami melakukan nikah secara diamdiam atau nikah sirri.
    Masih adanya masyarakat yang melakukan nikah sirri karena tidak ada yang mau mengambil tindakan yang tegas.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45 menyatakan: (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:Â
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah); b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah).Â
2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran Pegawai Pencatat Nikah atau aparat penegak hukum mestinya memberikan sanksi secara tegas terhadap pelaku nikah sirri yang tidak bertanggungjawab dan mengabaikan kewajibannya, hal ini untuk membuat jera pelaku, meskipun sanksi yang ada cukup ringan.
Pelaku nikah sirri yang tidak bertanggung jawab dan mengabaikan kewajibannya yang diproses secara hukum, akan memberikan gambaran atau contoh bahwa nikah sirri itu berdampak buruk baik terhadap suami, isteri maupun anak-anaknya. Sebaliknya bila tidak diambil tindakan hukum, maka masyarakat menganggap tidak masalah melakukan nikah sirri dan masyarakat akan terus dan banyak yang tetap melakukan nikah sirri.