Di balik hutan tropis Kalimantan yang lebat dan kaya akan keanekaragaman hayati, terdapat seekor orangutan betina bernama Pony yang menyimpan kisah pilu semasa hidupnya. Kisah ini bukan sekadar cerita tentang satwa, tetapi juga tentang sejauh mana manusia bisa kehilangan rasa kemanusiaannya. Pony lahir sekitar tahun 1996 dan merupakan salah satu anggota dari spesies orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang berstatus terancam punah. Pada usia enam tahun, masa yang seharusnya dipenuhi dengan bermain di kanopi hutan bersama induknya, Pony justru harus menerima kenyataan pahit. Ia masih kecil, belum mampu melindungi diri, tetapi sudah dipaksa menghadapi kebrutalan dunia manusia. Ia dipisahkan dari induknya, dibawa keluar dari habitat aslinya, dan kemudian dijadikan sebuah "mesin" oleh manusia.
Pony diperlakukan seolah bukan makhluk hidup yang memiliki rasa sakit dan perasaan. Padahal, orangutan juga mampu merasakan takut, sedih, dan kehilangan, sama seperti manusia yang memiliki hati nurani. Ia dirias layaknya manusia, dipakaikan perhiasan, bahkan dipaksa melakukan gerakan-gerakan tertentu sebagai bentuk pelayanan kepada pelanggan. Semua itu dilakukan bukan untuk kebahagiaan Pony, melainkan demi memuaskan nafsu dan keuntungan manusia. Pemilik rumah prostitusi menjadikannya mesin penghasil uang yang menguntungkan. Inilah salah satu bentuk eksploitasi paling kelam yang pernah menimpa satwa liar di Indonesia. Di balik tawa para pelanggan, tersembunyi penderitaan seekor makhluk yang seharusnya bebas hidup di alam.
Pada tanggal 13 Februari 2003, tim dari Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan aparat lokal menemukan Pony di sebuah rumah prostitusi di Desa Kareng Pangi, Kalimantan Tengah. Kondisi Pony ketika itu sangat menyedihkan: tubuhnya dipasung di ruangan minim cahaya, bulunya dicukur habis, kulitnya penuh bekas gigitan nyamuk, dan terdapat luka akibat infeksi. Trauma fisik dan mental jelas membekas dalam dirinya. Setiap luka di tubuhnya adalah bukti nyata kegagalan manusia menjaga martabat kehidupan.
Namun, proses penyelamatan Pony tidaklah mudah. Pemilik rumah prostitusi menolak menyerahkannya, bahkan sebagian warga sekitar justru membela sang pemilik. Ironisnya, manusia lebih rela melindungi keuntungan sesaat daripada membebaskan makhluk yang jelas-jelas menderita. Mereka siap menghadang siapa pun yang berusaha membebaskan Pony. Butuh hampir satu tahun perjuangan hingga akhirnya Pony berhasil diselamatkan dari jerat eksploitasi. Panjangnya waktu penyelamatan menunjukkan betapa rapuhnya rasa empati ketika dihadapkan pada kepentingan ekonomi.
Kisah Pony seharusnya membuka mata kita bahwa manusia tidak hidup sendiri di bumi. Orangutan, sebagai salah satu satwa kunci ekosistem hutan Kalimantan, memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan alam. Ketika satu individu saja diperlakukan tidak manusiawi, hal itu menjadi simbol rapuhnya hubungan manusia dengan lingkungannya. Perlakuan terhadap Pony adalah cermin, apakah manusia masih memiliki hati untuk menghargai penderitaan makhluk lain atau tidak.
Pony menjadi representasi betapa mudahnya manusia melupakan hakikat bahwa semua makhluk memiliki peran dalam lingkaran kehidupan. Eksploitasi satwa liar tidak hanya merusak individu yang dieksploitasi, tetapi juga merusak harmoni ekosistem secara keseluruhan. Jika hutan kehilangan orangutan, regenerasi pohon-pohon besar akan terganggu, dan dampaknya akan kembali menghantam manusia. Oleh sebab itu, manusia harus belajar bahwa menjaga satwa berarti menjaga dirinya sendiri. Menghormati Pony berarti juga mengakui bahwa setiap makhluk memiliki hak dasar untuk hidup bebas dari penderitaan.
Di sisi lain, kisah Pony juga mengajarkan bahwa masih ada manusia yang peduli. BOSF, BKSDA, dan aparat lokal menunjukkan keberanian untuk melawan arus ketidakadilan, meski harus menghadapi tekanan dari masyarakat sekitar. Para penyelamat Pony menggunakan hati nurani mereka sebagai senjata, membuktikan bahwa rasa kemanusiaan sejati masih ada. Tindakan ini menegaskan bahwa harmoni kehidupan tidak akan terwujud tanpa adanya empati dan keberanian moral untuk melawan eksploitasi.
Kisah Pony memperlihatkan dua wajah manusia yang saling bertentangan. Di satu sisi, manusia bisa menjadi perusak: merampas kebebasan, mengabaikan hak hidup, dan menjadikan makhluk lain sekadar alat pemuas nafsu. Di sisi lain, manusia juga bisa menjadi penyelamat: mengulurkan tangan, merawat yang terluka, dan mengembalikan kehidupan yang direnggut. Pertanyaannya, wajah mana yang lebih dominan kita tunjukkan ketika berhadapan dengan makhluk lain yang lemah?
Manusia adalah makhluk bermoral. Namun moralitas itu kerap tergerus oleh keserakahan. Masyarakat yang mendukung pemilik rumah prostitusi adalah contoh nyata bagaimana solidaritas bisa salah arah ketika kepentingan ekonomi dan adat istiadat keliru dijadikan alasan pembenaran. Sebaliknya, para penyelamat Pony membuktikan bahwa moralitas sejati masih ada. Mereka menjadi cermin kemanusiaan yang sesungguhnya: melindungi yang lemah dan menjaga keseimbangan kehidupan. Di tengah ketidakpedulian, tindakan kecil untuk menyelamatkan bisa menjadi sinar kemanusiaan yang menerangi kegelapan.
Hingga kini, Pony masih berada dalam masa rehabilitasi di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah. Proses ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade, menunjukkan bahwa luka eksploitasi tidak sembuh dalam waktu singkat. Luka fisik mungkin bisa dirawat, tetapi luka batin akibat kehilangan kebebasan di masa kecil akan selalu meninggalkan jejak. Perawatan panjang ini mengingatkan kita bahwa merusak jauh lebih mudah daripada memulihkan. Manusia memang penentu: apakah akan menjadi perusak atau penyembuh.
Kisah Pony orangutan merefleksikan bahwa manusia memiliki peran sebagai perusak, penyelamat, sekaligus penentu harmoni kehidupan. Eksploitasi yang dialaminya menjadi peringatan keras bahwa ketika manusia kehilangan rasa empati terhadap makhluk lain, maka ia juga kehilangan kemanusiaannya. Namun di sisi lain, keberhasilan menyelamatkan Pony membuktikan bahwa manusia masih memiliki harapan untuk menjadi penjaga kehidupan. Pony bukan sekadar korban, ia adalah guru yang mengingatkan manusia tentang arti kasih sayang dan tanggung jawab.
Pony adalah cermin bagi kita semua. Dari dirinya, kita belajar bahwa perikemanusiaan tidak boleh berhenti pada sesama manusia, tetapi juga harus menjangkau seluruh makhluk hidup yang berbagi bumi ini bersama kita. Jika manusia memilih jalan merusak, maka seluruh ekosistem ikut hancur. Namun jika manusia memilih jalan menjaga dan melestarikan, maka harmoni kehidupan akan tetap terpelihara. Pada akhirnya, pilihan itu ada di tangan kita. Kisah Pony menuntun kita untuk bertanya: apakah kita akan dikenal sebagai generasi yang menutup mata, atau sebagai generasi yang berani memulihkan kemanusiaan melalui tindakan nyata?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI