Ada momen-momen dalam hidup yang terasa biasa, tapi meninggalkan kesan luar biasa. Salah satunya adalah saat saya, sebagai Kompasianer, diundang menghadiri Launching Buku dan Talkshow KAI berjudul Masinis yang Melintasi Badai, yang digelar hari Jumat lalu di Menara Kompas. Sebuah pengalaman yang bukan hanya mempertemukan saya dengan sosok-sosok penting di balik perkeretaapian nasional, tapi juga membuka pandangan saya akan makna transportasi sebagai ruang kemanusiaan.
Membuka Lembaran: Tentang Buku dan Penulisnya
Buku ini ditulis oleh Wisnu Nugroho dan Zulfikar Akbar, dua penulis dengan pendekatan yang unik dan jujur dalam mengisahkan sosok Didiek Hartantyo, Direktur Utama PT KAI. Menariknya, proses penulisan dilakukan tanpa sepengetahuan Pak Didiek pada awalnya. Justru dari keterbatasan itu, para penulis menangkap momentum-momentum kecil saat Pak Didiek berbicara dalam pidato, pembekalan, atau bahkan diam. Pak Zulfikar menyebut bahwa menggali beliau yang pendiam bukan perkara mudah, tapi itu justru membuat proses menulisnya terasa lebih dalam dan personal.
Badai Bernama Pandemi
uku ini banyak mengulas masa-masa paling kelam dalam sejarah PT KAI: pandemi COVID-19. Tahun 2019, KAI sedang berada di atas angin dengan pendapatan 9,6 triliun. Tapi ketika pandemi menyerang, pendapatan ambruk jadi hanya 2 triliun. Seolah rel bisnis yang tadinya mulus mendadak penuh reruntuhan.
Namun keputusan besar justru datang di tengah krisis: tidak ada PHK.
Pak Didiek mengambil langkah yang tidak biasa di tengah badai ekonomi. "Protect our people," katanya. Sebuah prinsip yang kemudian jadi fondasi keputusan manajemen. Menurut beliau, "Menyelamatkan perusahaan tidak selalu harus dengan mengorbankan pekerja." Kalimat ini begitu kuat, bahkan terasa menggetarkan bagi siapa pun yang pernah bekerja di masa pandemi.
Dan ini bukan hanya teori. Masinis Muhammad Ainul Yaqin, yang turut hadir dalam acara peluncuran, menyampaikan langsung rasa syukurnya karena tetap bisa bekerja saat perusahaan-perusahaan lain terpaksa memangkas karyawan. Tapi, ia juga bercerita tentang kesedihan kala melihat kabin-kabin kosong akibat pembatasan penumpang. Sesuatu yang mungkin tak pernah dibayangkan sebelumnya.
KAI, Kereta, dan Kehidupan