Mohon tunggu...
Putri Adi Setya Pramesti
Putri Adi Setya Pramesti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang pemanen saripati literatur dan pembelajar bahasa kucing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengantin Berkebaya Hitam

29 Agustus 2023   13:35 Diperbarui: 29 Agustus 2023   13:38 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 ghttps://id.pinterest.com/pin/681239881146972262/ambar

Deru mesin jahit terdengar nyaring, suaranya yang keras memenuhi ruangan. Bersamaan terdengar bunyi gunting yang membelah kain, potongan demi potongan kain terhampar di atas meja membentuk pola pakaian. Kemudian disambung kembali potongan itu menjadi bagian yang utuh. Sebelum malam menjelang  mesin itu sudah berhenti terdengar. Begitu hening, tidak ada suara mesin jahit yang bekerja kembali. Berganti suara jangkrik yang menyelimuti keadaan di malam hari.

Selesai sudah pekerjaan Deppo. Baju pesanan pelanggannya sudah rampung dikerjakan. Sejenak ia membolak-balikkan baju itu untuk mengecek jika ada benang yang keluar atau kain yang salah dijahit.

Dalam hitungan enam bulan sejak kepindahannya ke kota sudah banyak pelanggan yang berdatangan. Walaupun penghasilan jahit-menjahit baju tidak seberapa, tetapi sudah cukup memenuhi kebutuhan sekaligus membayar sewa kontrakan. Padahal sebelum pindah ke kota namanya pun sudah masyhur di kampung halaman. Tapi apa daya keinginannya pindah ke kota mendorongnya untuk berbisnis di sini. Ia tak kuasa bila harus tinggal di rumah yang ditinggali berdua dengan ibunya, sedangkan sosok itu sudah pergi. Meninggalkan dunia dan menuju perjalanan di alam lain. Heningnya suasana kampung di tambah rumah yang sepi membuat kesedihan selalu menghantuinya.

Sejak remaja Deppo sering menghabiskan waktunya untuk menjahit, menggambar model pakaian, dan berulang kali menyempurnakan pakaian yang ia buat. Tak heran ketika dewasa ia jadi terampil membuat berbagai model pakaian. Tetapi ada satu model pakaian yang sangat ia sukai, yaitu baju pengantin. Banyak pasangan pengantin yang datang ke kediamannya meminta dibuatkan sepasang baju pengantin. Sudah bertahun-tahun ia menjalankan pekerjaan ini. Berkat ibunya juga ia bisa menjahit. Setiap jahitan dan baju yang ia selesaikan berhasil menghidupkan kembali kenangan tentang ibunya.

Setelah merapikan peralatan dan semua kainnya di ruang jahit, ia langsung ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya. Walaupun dirasa lelah tetapi setiap selesai menjahit muncul rasa bahagia. Apalagi ketika melihat pelanggannya senang melihat hasil pakaiannya yang dikerjakan oleh tangan Deppo. Itu juga jasa yang ditawarkan Deppo, membuat orang lain senang. Tak lama dia tertidur. Di dalam gelapnya ruangan, raganya begitu cantik mengenakan sebuah gaun tidur.


***

Suara ketukan terdengar dari arah ruang tamu. Tamu yang ditunggu-tunggu oleh Deppo datang untuk mengambil pesanannya.

"Dari tadi sudah aku tunggu Mbak Santi. Asalnya mau kuantar saja ke rumah. Tapi datang kemari ya," ujar Deppo sambil tersenyum simpul.

"Tidak usah repot-repot, kan sudah kubilang kemarin. Akan diambil sendiri kemari," balas Mbak Santi sambil menepuk pundak Deppo.

"Ya, yang terpenting pesanannya sudah selesai. Ini dicoba dulu, Mbak."

"Sudah tidak perlu, aku percaya dengan hasil jahitanmu. Sudah langganan juga kan? "

"Bisa saja mbak. Ngomong-ngomong baju ini untuk acara apa, Mbak?"

"Iya ini akan kupakai untuk menghadiri acara wisuda abangku"

"Oh.. kukira akan dipakai untuk acara pernikahan. Karena modelnya biasa dipesan untuk acara itu"

"Tentu tidaklah, mana mungkin secepat itu. Oh iya, bicara tentang acara pernikahan, kapan kau akan menikah? Usiamu sudah matang, banyak gadis yang jatuh hati padamu. Kamu tidak merasa kesepian memangnya?"

"Aku sudah biasa sendiri, Mbak. Sejak ibu dan bapak wafat, aku tumbuh besar dengan kakek. Sampai kakek wafat pun masih bisa hidup mandiri," balas Deppo sambil tertawa kecil.

"Bukan masalah itu, tapi kau kan harus beranak pinak. Jangan seperti si Jupri. Sampai tua dia tidak mau menikah, akhirnya mati kesepian." Deppo tidak membalas perkataan Mbak Santi. Ia terdiam dan hanya bisa menatap wajahnya, disusul dengan anggukan kecil.

"Ya sudah aku pulang dulu, nanti akan ada temanku datang ke sini. Mau buat pesanan katanya. Kau ada di rumah kan?"

"Iya tentu mbak."

Obrolan dengan Mbak Santi menguras tenaganya, baru kali ini dia diberi nasihat perihal menikah dan beranak pinak. Jarang dia memikirkan tentang rencana menikah. Memang banyak gadis yang terpikat dengan Deppo. Lantaran perawakannya yang bagus, kulitnya kuning langsat, dan hidung mancung. Namun, tak diliriknya sekalipun keberadaan semua gadis-gadis itu.

Siang harinya datanglah sepasang kekasih yang Mbak Santi sebut tadi pagi. Sudah dirasa firasat dalam hati, mereka akan memesan baju pengantin untuk sebuah pernikahan. Dipersilahkan mereka masuk, pengantin pria memperkenalkan nama dan maksud kedatangannya kemari.

"Perkenalkan saya Hery dan ini Dewi calon istri saya. Kami kemari mau memesan baju pengantin dari rekomendasi Mbak Santi."

"Tentu boleh. Kapan pernikahannya dimulai?"

"Kurang lebih dua bulan lagi. Memang singkat, itulah sebabnya kamu ke sini. Katanya pengerjaan Anda terbilang cepat."

"Oh tentu, soal itu bisa saya atur. Mari lihat-lihat dulu model seperti apa yang kalian inginkan."

Dipertunjukkan buku dengan berbagai koleksi model kebaya. Tak butuh waktu lama kedua pengantin itu memutuskan satu model pakaian berwarna putih. Menurut Dewi pernikahan adalah upacara yang suci dan sakral, maka lebih cocok mengenakan warna putih. Setujulah mereka bertiga dan menjanjikan waktu pengerjaan selama dua bulan.

Meteran yang ada di atas meja diraihnya, kemudian melingkarlah meteran itu ke tiap-tiap bagian tubuh si pasangan. Bergerak melilit lengan, pinggang, dada, hingga pergelangan kaki mereka. Setelah mendapatkan ukuran dan pola pakaian, Deppo menyuruh mereka untuk datang kembali pekan depan dan melakukan pengukuran ulang. Keduanya berpamitan lalu meninggalkan rumah Deppo.

Sebelum malam menjelang ia bergegas membuat baju pesanan tadi. Tangannya lihai membuat pola dan potongan di atas kain. Kain-kain yang berada di tangannya seolah menari di atas meja, bermacam-macam pola sudah tersusun apik dan siap untuk disatukan.

Sudah satu pekan sejak kedatangan pasangan pengantin itu. Sesudahnya, pesanan yang datang dari para pelanggannya ditolak mentah-mentah. Ada pula ibu-ibu yang datang ke rumahnya membawa kain batik hanya meminta untuk dibuatkan daster, tapi tetap ia tolak.

***

Seorang pria datang dengan mobil hitam diparkirkan di depan gang kontrakan. Terlihat pria itu berjalan mendekat ke arah pintu. Deppo yang melihat samar-samar kehadirannya pergi ke ruang tamu. Ternyata dia hanya sendiri. Tidak dilihat Dewi bersamanya. Diajaklah masuk ke dalam dan langsung melakukan pengukuran.

"Untuk pengukuran akan dilakukan setiap pekan, karena ukuran tubuh bisa berubah sewaktu-waktu. Jadi untuk seterusnya harus sering kemari."

"Tentu, sepertinya Dewi akan jarang ikut. Dia sibuk dengan kerjaannya. Tapi tidak perlu khawatir berat badannya tidak akan bertambah. Tubuhnya memang selalu ramping."

Deppo bermain lagi dengan meterannya. Membiarkan meteran itu melingkar ke tubuh Hery sambil sesekali mencatat tiap sentimeter di buku. Ketika meteran berada di pinggang Hery secara otomatis tangan Deppo pun ikut melingkar. Matanya memicing mencari di angka berapa meteran itu berhenti. Tiba-tiba tangannya digenggam oleh Hery, dengan usapan kecil sambil ia tersenyum kepada Deppo. Deppo memundurkan tubuhnya menjauh sedikit dari Hery. Wajahnya memerah, ulah Hery mampu membuatnya tersipu malu. Tak keluar sepatah kata dari keduanya.

Hery menyadari sikapnya membuat mereka berdua terjebak di situasi penuh keheningan. Deppo buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Hery yang masih mematung, kemudian berdiri dan bersiap-siap untuk bergegas pulang. Hanya salam dan ucapan terima kasih yang bisa mereka saling lontarkan.

Kedatangan dan kepergian Hery di hari itu membuatnya bahagia. Malam itu ia kenakan gaun tidur terbaiknya. Gaun yang lembut, dipenuhi aroma parfum yang memabukkan. Warna kulitnya menyatu dengan merahnya gaun itu. Di dalam mimpinya ia mengenakan baju pernikahan. Tubuhnya yang kurus mengenakan kebaya hitam. Tulang tubuhnya bisa terlihat walaupun sudah dibalut manik-manik kebaya. Ia kenakan rok kain bercorak batik yang dililit hingga menyentuh mata kakinya. Sedikit dilonggarkan untuk memudahkan dirinya ketika berjalan. Di depan cermin terlihat seorang laki-laki yang diselimuti rasa kesepian dan duka di dalam hatinya. Dipakainya hati-hati sepatu berwarna emas, sungguh pas ketika kakinya singgah. Dalam khayalnya ia akan menjadi pengantin di pesta pernikahan. Mulailah ia berjalan menuju tempat istimewa itu, berjalan dengan hati-hati dan penuh perhitungan.

***

Pekan terakhir merupakan hasil akhir pengerjaan baju pengantin. Hari itu Hery datang lebih lambat dari biasanya. Ketika sore menjelang, Hery baru menapakkan kakinya di kontrakan Deppo. Sudah lama Deppo menunggu kedatangannya.

Sambil menunggu Deppo yang memasangkan kancing untuk lengan baju pengantin. Hery duduk di kursi sudut ruangan sambil mengawasinya. Setiap gerakan tubuh Deppo membuatnya semakin penasaran. Terlontar sebuah pertanyaan dari mulut Hery.

"Kenapa belum menikah, Mas?"

"Belum terpikirkan untuk menikah, lagi pula aku masih ingin melajang."

"Padahal wajahmu tampan, pasti banyak gadis yang terpikat."

"Itu tidak pernah kuhiraukan, paling-paling jadi gosip para tetangga."

Obrolan antara keduanya berlangsung lama, mereka saling menceritakan kehidupan satu sama lain. Deppo menceritakan alasannya pindah ke kota. Ia tidak ingin merasakan kesepian berkepanjangan di rumah yang ditinggalkan oleh ibunya. Disusul Hery yang bercerita mengenai perjodohannya dengan Dewi. Dia memang belum memiliki keinginan untuk menikah. Namun, ia harus menuruti kemauan sang ayah.

"Pernikahan hanya terikat pada bisnis. Ayahku terlilit hutang pada keluarga Dewi. Dewi yang belum juga menikah mendapatkan rumor tidak mengenakkan. Mulai jadi perawan tua katanya. Usianya lebih tua lima tahun juga dariku, 28 tahun kalau tidak salah. Tapi tetap terlihat awet muda. Untuk menjaga nama baik dan status Dewi, kami dijodohkan. Aku merasa iri denganmu. Masih bisa bebas memilih nasib hidup dan melakukan apa yang diinginkan, tidak ada paksaan dan derita perjodohan."

"Jangan khawatir, seiring berjalannya waktu kalian akan saling mencintai dan menerima satu sama lain. Jika hal itu terjadi, dia akan rela melakukan apa saja hanya untukmu seorang. Kau juga bebas melakukan apa yang kau suka."

Hery hanya diam, tak membalas ucapan Deppo. Kemudian dia mendekat dan mempersingkat jarak di antara tubuh mereka. Hery berdiri sejenak dan menatap mata Deppo. Bulat hitam matanya dikelilingi cincin putih yang mampu menghipnotis dan menariknya ke alam bawah sadar. Hery menautkan tangannya, mendekap tubuh Deppo dan berbagi kehangatan satu sama lain.

Keduanya bermain mulut. Tangannya merayap-rayap menghanyutkan mereka dalam cinta yang memabukkan. Kecupannya berpindah ke tubuh indah dari sang penjahit, menggelitik si pemilik tubuh. Sesekali kecupan itu terasa seperti jahitan, terasa sakit ketika menyentuh permukaan kulit hingga menembus ke daging, namun tetap terasa menyenangkan.

Tidak terasa sore yang sedari tadi mengawasi kemudian bersembunyi. Kini malam yang berganti untuk berjaga. Cahaya bulan mengintip dan mengawasi gerak-gerik si penjahit dari balik tirai kamar. Kemudian pergi tersipu malu karena melihat api asmara mereka.

Sebelum hari semakin larut, Hery berpamitan pada Deppo. Keduanya berdiri di depan pintu, Deppo menyuruhnya datang besok pagi bersama Dewi untuk mengambil baju pengantin. Sekaligus mengecek ulang dari pakaian mereka. Hery kemudian pergi meninggalkannya yang masih berada di depan pintu. Tangannya melambai, sebagai tanda bahwa ia benar-benar pergi. Sambil melihatnya pergi menjauh, Deppo berjalan mundur menutup pintu rumah.

***

Seorang pengantin menatap bayangan wajahnya di hadapan kaca rias. Baju yang dikenakan pas mengikuti lekuk tubuhnya. Sebelum menyambut tamu sebuah polesan merah menyentuh bibirnya. Mempertegas garis bibirnya yang berwarna merah. Dirinya takjub melihat perubahan di seluruh tubuh itu. Tak berselang lama terdengar suara ketukan pintu. Dibukanya pintu dengan memunculkan kehadiran sepasang tamu. Keduanya bingung melihat Deppo yang mengenakan baju kebaya berwarna hitam. Tanpa sepatah katapun Deppo langsung memberikan baju pengantin milik mereka. Dilirik wajah perempuan itu, tidak ada yang berubah dari mimik wajahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun