Mohon tunggu...
Purwanti Asih Anna Levi
Purwanti Asih Anna Levi Mohon Tunggu... Sekretaris - Seorang perempuan yang suka menulis :)

Lulusan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) UNIKA Soegijapranata Semarang dan sedang belajar menulis yang baik :)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Batik Warna Alam sebagai Gerakan Keadilan Gender dan Lingkungan

17 November 2021   11:12 Diperbarui: 17 November 2021   12:33 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Batik Bersih dari Perspektif Ekofeminisme

Terdapat tiga dimensi yang saling berkaitan dalam industri batik warna alam berbasis Putting-Out System, yaitu: 1) sumber daya manusia pelaku batik, 2) produk batik yang dihasilkan, dan 3) lingkungan yang terdampak produksi batik.

Dalam tulisan ini teori ekofeminisme ini digunakan untuk menganalisis relasi antar manusia dan krisis relasi antar manusia dan alam dalam praktek produksi batik di industry batik berbasis Putting-Out System. Dari analisis tersebut akan diperoleh gambaran tentang pengalaman perempuan pembatik dan menjadikan pengalamannya sebagai sumber belajar dalam mengelola dan melestarikan alam. Ini juga berarti memberikan lebih adil dan setara ruang (dan akses) bagi perempuan bersama dengan laki-laki dalam pengelolaan dan pelestarian alam.

Sumber daya manusia pelaku batik tidak dapat dilepaskan dengan aspek gender yang melekat padanya. Batik adalah produk yang secara social-budaya melekat stereotype perempuan. Dalam industry batik berbasis Putting-Out System, istilah pekerja rumahan tidak hanya sekedar memberi arti bahwa pekerja tersebut mendapat pekerjaan, membawa pulang pekerjaan tersebut, mengerjakannya di rumah, dan mengembalikan hasil pekerjaan tersebut kepada majikannya. Istilah ini juga menciptakan wacana atas kenyataan bahwa sebagian besar pekerja tersebut adalah perempuan yang telah menikah dan memiliki anak. Rumah tidak hanya tempat bekerja tetapi menjadi symbol domestifikasi perempuan untuk memenuhi peran domestiknya sebagai ibu rumah tangga dan merawat anggota keluarga. Berbeda dengan laki-laki yang dianggap sebagai pencari nafkah utama, perempuan dianggap hanya sebagai pencari nafkah tambahan. Oleh karenanya wajar jika dihargai lebih rendah karena pekerjaan produktif perempuan hanya dikerjakan di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Nampak wacana yang dibangun dimuati oleh stereotype keperempuanan yang sarat dengan ideologi gender (Hunga, 2001).

Di industry batik berbasis Putting-Out System proses produksi terjadi di rumah dan sekitar rumah pembatik yang dianggap sebagai ruang domestic dalam keluarga. Masyarakat mengenal arena publik dan domestik. Kedua arena ini sebelumnya dipisah secara ketat dalam artian fisik/material dan konsep/nilai. Ruang publik adalah representasi ruang kerja (pabrik), produktif, menghasilkan uang, dan menjadi tempat para laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Dalam ruang ini adalah ruang kapitalis dan berlangsung produksi kapitalis. Sedangkan ruang domestik adalah tindak produktif, tidak menghasilkan uang, tempat perempuan atau ibu rumah tangga memberi pelayanan pada suami dan anak sebagai ekspresi kepatuhan pada nilai partriarki, dan berlangsung produksi patriarki.

Dalam konteks Putting-Out System, pada saat aktivitas produksi batik berlangsung di rumah pekerja atau dalam arena domestik maka terjadi kontradiktif---di arena ini berlangsung produksi batik (untuk industri) dan sekaligus menghasilkan limbah produksi. Hal ini berimplikasi pada terganggunya aspek kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan privasi keluarga pekerja rumahan, terutama pada perempuan dan anak-anak yang lebih rentan dan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Pada saat yang hampir bersamaan berlangsung produksi domestik berupa memasak makanan, mencuci, mengasuh anak, dan aktivitas reproduksi lainnya yang dilakukan oleh para perempuan dalam waktu yang panjang (Hunga, 2014).

Adapun teori produksi bersih digunakan untuk menganalisis praktek produksi batik yang dilakukan oleh sumber daya manusia pelaku batik dan untuk mengetahui apakah dalam praktek produksi batik tersebut telah diterapkan prinsip-prinsip produksi bersih. Teori produksi bersih ini praktek produksi batik akan menganalisis melalui alur kerja input pengetahuan, skills, bahan dan alat, proses produksi, dan output produk maupun non-produk. Variabel preventif, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi limbah dilihat melalui strategi dan tindakan produksi bersih untuk mencapai indicator kinerja produksi bersih yaitu: penggunaan zat warna alam, berkurangnya pemakaian air, berkurangnya limbah, berkurangnya pemakaian energi, berkurangnya pemakaian bahan baku, berkurangnya emisi CO2, pengelolaan bahan kimia, dan penerapan Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3) (SWITCH Asia, 2010). Indikator kinerja produksi bersih ini akan memberi manfaat secara ekonomi (berupa profit), masyarakat (people), dan lingkungan (planet).

KESIMPULAN

Prinsip produksi bersih secara khusus berkontribusi terhadap terselenggaranya proses produksi yang mempertimbangkan keberlanjutan, yang merupakan esensi dari keadilan lingkungan. Namun teori ini tidak membahas pokok bahasan proses produksi, dalam hal ini pekerja batik yang mengamalkan ilmu dan keterampilannya sesuai dengan konstruksi gender masyarakat. Oleh karena itu, pengintegrasian isu dan konstruksi gender dalam kerangka konseptual/teoritis menjadi penting, di mana kita mengintegrasikan teori ekofeminis.


REFERENSI

Hunga, Arianti Ina R. 2014. "Ancaman Kerusakan Ekologis Produksi Batik Rumahan: Narasa Perlindungan Ruang Domestik." Jurnal Perempuan 80 19(1):27--52.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun