Mohon tunggu...
Purwanti Asih Anna Levi
Purwanti Asih Anna Levi Mohon Tunggu... Sekretaris - Seorang perempuan yang suka menulis :)

Lulusan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) UNIKA Soegijapranata Semarang dan sedang belajar menulis yang baik :)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Batik Warna Alam sebagai Gerakan Keadilan Gender dan Lingkungan

17 November 2021   11:12 Diperbarui: 17 November 2021   12:33 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Secara historis, batik pada awalnya diproduksi menggunakan bahan-bahan alami dari berbagai tanaman (misalnya, kayu, akar, daun, dan batang) yang dapat ditemukan dari lingkungan sekitar mereka dan proses produksinya sangat melibatkan perempuan. Industrialisasi batik melibatkan pilihan untuk mengganti bahan alami dengan bahan sintetis dan, alih-alih menggunakan canthing sebagai alat untuk menggambar batik secara tradisional, mereka menggunakan cap dan printing. Penggunaan pewarna sintetis perlahan-lahan menggantikan peran pewarna alami dalam produksi batik (Sekawan Susanto 1973).

Produksi batik secara massal dan cepat dengan menggunakan warna dan teknik printing dengan bahan warna sintetis menimbulkan masalah lingkungan seperti produksi limbah, polusi udara, polusi air, lingkungan kerja yang tidak sehat dan berbahaya, serta ancaman terhadap keberlanjutan batik tulis. Produksi bersih adalah salah satu solusi untuk masalah ini.

Tulisan ini membahas praktik batik dengan pewarnaan alam berdasarkan teori produksi bersih dengan perspektif ekofeminis sebagai gerakan keadilan gender dan lindungan.

Produksi Bersih dari Perspektif Ekofeminisme

UNEP (2003) dalam Purwanto (Purwanto 2005) mendefinisikan produksi bersih sebagai sebuah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan.

Tujuan produksi bersih adalah untuk: a). mencapai efisiensi produksi/jasa melalui upaya penghematan penggunaan materi dan energi dan b). memperbaiki kualitas lingkungan melalui upaya minimisasi limbah.

Menurut Purwanto (Purwanto 2005) indikator keberhasilan penerapan produksi bersih di industri antara lain: 1). Berkurangnya pemakaian air, sehingga industri memiliki kelebihan pasokan air, 2). Peningkatan efisiensi energi, sehingga industri memiliki kelebihan daya dan masih dapat dimanfaatkan, 3). Adanya penanganan limbah industri yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku, dan 4). Adanya penurunan timbulan limbah cair maupun padat, sehingga kapasitas instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan incinerator berlebih.

Produksi bersih menjadi salah satu solusi persoalan ini. Dalam prinsip produksi bersih secara konkrit memberikan konstribusi pada penerapan produksi yang mempertimbangkan keberlanjutan yang menjadi esensi dari keadilan lingkungan. Namun teori ini tidak membahas tentang subyek dalam ini pembatik yang faktanya mempraktekkan pengetahuan dan keterampilannya sesuai konstruksi  gender rmasyarakat. Oleh karena mengintegraikan isu dan kontruksi gender dalam kerangka konseptual/teori menjadi sangat penting. Dalam ini penulis mengintegrasikan ekofeminisme.

Sikap kritis terhadap krisis ekologi yang berdampak negatif terhadap perempuan telah dimulai oleh Francoise d'Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la Mort (Feminim atau Kematian) yang diterbitkan pada tahun 1974. Ini adalah awal dari terminologi ekofeminisme, meskipun istilah ini secara resmi diperkenalkan pada 1980-an. Ekofeminisme menjadi populer selama protes muncul terhadap perusakan lingkungan dan bencana ekologis (Shiva dan Mies, 1993). Francoise d'Eaubonnebon (1974) mengungkapkan hubungan erat antara penindasan perempuan dan alam, yang dapat dipelajari melalui budaya, ekonomi, sosial, dan politik. King, Ynestra (1983) menekankan dialektika antara penindasan terhadap perempuan dan alam dilakukan oleh laki-laki. Penindasan ini berakar dari budaya patriarki, dan dalam sistem ini, perempuan dan alam menempati kedudukan (konstruksi) yang sama dengan obyek, bukan subyek. Karen J. Warren (1993) mengembangkan ekofeminisme dalam konseptual, metodologi, dan kerangka kerja praktik, yang mengakar dari perspektif perempuan terhadap krisis ekologi yang terfokus untuk mempelajari, mengkritik, dan mencari solusi dalam interkoneksi perempuan, alam, dan manusia untuk kesetaraan gender dan lingkungan keberlanjutan. Shiva dan Mies (1993) dalam buku mereka Ecofeminism berpendapat bahwa gerakan dan pemikiran ekofeminisme adalah kritik terhadap pendekatan pembangunan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekologis dan meminggirkan entitas tertentu (perempuan). Oleh karena itu, ekofeminisme dibawa untuk memecahkan masalah manusia dan alam berdasarkan pengalaman perempuan dan menjadikannya sebagai sumber belajar mengelola dan melestarikan alam. Ini juga berarti memberikan lebih adil dan setara ruang (dan akses) bagi perempuan bersama dengan laki-laki dalam pengelolaan dan pelestarian alam.

Ekofeminis juga mengungkapkan bahwa peran gender yang diberikan kepada perempuan memberi mereka lebih banyak 'kepekaan' dan 'kedekatan' terhadap alam. Di sebuah masyarakat yang menggunakan alam dan bumi sebagai sumber kehidupan, manusia diciptakan sebuah hubungan, yang tidak hanya didasarkan pada materi tetapi juga bumi dan masyarakat, bumi dan penghuninya adalah interkoneksi yang intim (Shiva, 2005). Dengan nama konstruksi, pendekatan yang digunakan fokus hanya pada pertumbuhan ekonomi; itu membubarkan hubungan intim antara manusia dan alam, mengubahnya menjadi hubungan material. Di tengah krisis ekologis dan antar manusia (gender), sangat mendesak untuk menciptakan pendidikan kritis untuk 'mengubah total' nilai/konsep yang membangun pola pikir, mendefinisikan kembali dan merevisi (memberikan interpretasi baru), mengeksplorasi nilai-nilai lokal yang positif, dan mengubahnya menjadi tindakan nyata yang memberi kesetaraan gender dalam rangka pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama untuk membuat 'sosial budaya' gerakan partisipatif berbasis perempuan dan kelompok terpinggirkan. pengalaman untuk mengelola dan melestarikan 'yang terlupakan' ini dan alam yang sengaja 'terpinggirkan'. Ekofeminisme adalah 'gerakan sosial' sebagai respon terhadap krisis ekologi, sekaligus sebagai kritik terhadap pendekatan konstruksi yang mengabaikan kelestarian ekologi dan meminggirkan entitas manusia tertentu, perempuan (Darmawati, 2002 dalam Hunga 2014).

Dalam tulisan ini teori ekofeminisme ini digunakan untuk menganalisis relasi antar manusia dan krisis relasi antar manusia dan alam dalam praktek produksi batik di industry batik berbasis Putting-Out System. Dari analisis tersebut akan diperoleh gambaran tentang pengalaman perempuan pembatik dan menjadikan pengalamannya sebagai sumber belajar dalam mengelola dan melestarikan alam. Ini juga berarti memberikan lebih adil dan setara ruang (dan akses) bagi perempuan bersama dengan laki-laki dalam pengelolaan dan pelestarian alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun