Melalui berita kompas.com, Levy mengatakan bahwa ia menyaksikan pertandingan antara Irene dan Dewa Kipas. Dengan kekalahan 3-0 dan tingkat akurasi dibawah 40 persen, Levy kemudian mengatakan bahwa orang yang bermain curang juga akan ketahuan.
Meski pertandingan antara Irene dan Dewa Kipas telah berakhir, namun Levy menilai persoalan itu belum usai. Ia menyayangkan, Dewa Kipas tidak mau mengakui kebenarannya bahkan masih dianggap pemberani oleh masyarakat Indonesia.
Disinilah masalah baru muncul. Sindiran Levy seperti tamparan keras bagi Dewa Kipas sekaligus masyarakat Indonesia. Mereka yang menyerang secara membabi buta pada Levy dengan alasan nasionalisme, tak kunjung meminta maaf.
Selain membuat catur lebih populer, Dewa Kipas sebenarnya menyadarkan kita tentang bahaya nasionalisme buta. Sikap kesatria untuk membela tanah air diartikan dangkal, hanya sebatas pembelaan tanpa bisa membedakan mana yang benar, mana yang salah. Pokoknya, kalau ada pihak asing yang menyerang Indonesia, meremehkan orang Indonesia, wajib hukumnya diserang bersama-sama.
Ini pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia. Sudah banyak kasus, bagaimana ulah netijen Indonesia, mengatasnamakan nasionalisme justru memperburuk citra Indonesia di kancah dunia. Sebelum kasus Dewa Kipas, kita tentu tak lupa dengan perseteruan Fiki Naki dan Dayana atau serangan netijen Indonesia usai seluruh pebulutangkis tanah air dipulangkan dari ajang All England.
Kasus-kasus di atas secara tidak langsung membuat stigma masyarakat dunia pada orang Indonesia berubah drastis. Masyarakat Indonesia yang dikenal ramah, penuh sopan santun dan tinggi empati, kini berubah menjadi masyarakat bengis yang menakutkan. Apakah kita rela menjadi seperti itu?
Ingat kata pepatah
Buat apa lawan Dewa Kipas
Kalau ujungnya menang dengan mudahnya
Buat apa nasionalisme diumbar bebas
Kalau ujungnya bikin malu saja
Salam waras netijen Indonesia!