Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Fabel: Kisah Undur-Undur dan Negeri yang Tergadai

7 Januari 2021   07:56 Diperbarui: 7 Januari 2021   08:19 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Amar world.blogspot

Ah, setiap hari entah mengapa selalu saja berjalan, terlewatkan, terlupakan tanpa sesuatu hal yang terlalu mengesankan. Banyak kisah klasik tumbuh dan berkembang, namun kini entah mengapa kian hilang terdengar diperbincangkan. 

Barangkali, begini rasanya menjadi bagian dari sebuah negeri yang telah tergadaikan. Ingin rasanya menggambarkannya dalam sebuah cerita fabel yang menyenangkan. Namun, cerita fabel tak bisa menjadi alasan utama agar masalah rumit yang diperjual belikan di negeri tergadaikan itu menjadi benar-benar menyenangkan.

Negeri tergadaikan itu, adalah negeri dimana sebuah masalah didatangkan dan solusi diperjualbelikan. Negeri tergadaikan itu, adalah negeri para burung tak lagi optimis untuk terbang diatas lautan menangkap ikan ketika tahu mereka tak bisa berenang, tempat para gajah merasa kecil padahal seharusnya ia jumawa dengan fisik kekarnya, tempat para semut bersembunyi dalam sarang enggan keluar untuk menyapa sesama, dan tempat para makhluk lain yang mulai jenuh hidup dalam keterbatasan.

Tentu saja tak ada asap bila tak ada api. Tak akan ada masalah bila tak ada penyebabnya. Sedikit ingin aku ceritakan mengenai masa lalu negeri tergadaikan itu. Ia pernah mengalami masa jaya, tepat dimana tonggak kuasa masih peduli dan sadar akan mahal dan berharganya tanah dan lautan yang dianugerahi Tuhan sebagai pemikat negeri itu. 

Tepat sebelum negeri itu dipimpin oleh seorang undur-undur dan teman-temannya. Bukan tanpa perubahan, tentu saja undur-undur dapat membuat banyak sekali jalan, yang katanya agar lebih mudah makhluk hutan beraktivitas melakukan berbagai kegiatan. Tapi, undur-undur lupa bahwa membuka jalan tak bisa sekedar ditempuh dengan abrakadbra langsung jadi. 

Terlalu berambisi, akhirnya semut yang rumahnya menjadi korban beralih mengungsi. Semut yang malang, rumahnya hilang ketenangannya tergadai. Keluarga dan teman semut bukan tidak melawan untuk dapat merelakan, tapi antek-antek undur-undur terlalu ganas. Ia memiliki algojo yang siap kapan saja untuk dapat menghilangkan nyawa keluarga semut. Karena hal itu, semut pergi, bersembunyi, enggan lagi menampakkan diri.

Jalan besar telah selesai dibangun, undur-undur kepalang bingung hal apa lagi yang hendak digadaikan? Perhatiannya beralih ke lautan. Disana ada ikan, kerang, dan berbagai macam binatang laut yang jumlah dan harganya bukan kepalang bila dijual. Tapi, ia sadar di lautan banyak sekali burung beterbangan menangkapi ikan.

Tentu saja undur-undur geram, berani-beraninya ada yang mengusik aset berharganya. Karena berpikir bahwa menjadi pemimpin negeri antah berantah itu memerlukan dukungan dari penghuni negeri, maka pikiran liciknya keluar. Ia mengesampingkan niat untuk menegur burung, lebih baik bila orang lain saja. Undur-undur terlalu takut untuk menggadaikan citra buruk di hadapan rakyatnya. Akhirnya, antek pertama undur-undur turun tangan.

"Hei kalian burung-burung, mengapa kalian bertebangan diatas lautan menangkapi ikan padahal di darat masih banyak sekali makanan?" tanya antek undur-undur.

"Oh halo pak antek, ikan di lautan rasanya lebih lezat pak. Apalagi, makanan di darat biar menjadi bagian hewan lain yang kelaparan pak," ujar para burung

"Tidak bisa begitu, mulai saat ini kali ini kalian jangan lagi menangkap dan memangsa ikan disini," pak antek bersikukuh.

"Kenapa pak?" Burung-burung bertanya.

"Ini perintah dari pak undur-undur sebagai tanda bukti sayang terhadap kalian para burung. Karena kalian ini tidak bisa berenang, menangkapi ikan bisa membuat kalian tenggelam. Cukup sadar diri saja, kalian ini hanya bisa terbang"

Mendengar kata-kata itu, tentu saja para burung terpatahkan semangatnya. Tanpa titah dari undur-undurpun, burung-burung tahu bahwa memang mereka hanya bisa terbang. Tapi, berenang diatas lautan burung-burung anggap sebagai sebuah hal yang menantang dan menggambarkan betapa berani dan optimis mereka menjalani kehidupan.

 Karena, tak semua binatang yang hidup di negeri itu memiliki keberanian untuk mengambil resiko atas sebuah perbuatan. Dengan dilarang begini, tentu saja akan semakin banyak makhluk lain di negeri itu yang memilih untuk bertahan di zona nyaman. Sekali lagi, alih-alih menyelamatkan ikan, undur-undur lupa bahwa ada jiwa burung-burung yang ia gadaikan demi ketamakan akan kekuasaan.

Setelah kejadian itu, benar saja burung-burung berhenti berenang diatas lautan, bahkan mereka telah kehilangan percaya diri untuk terbang. Mereka memilih untuk diam di sarang, sayap yang tak lagi dianggap berharga perlahan-lahan lumpuh dan benar-benar hilang guna. Ah, betapa malangnya.

Melihat jalan besar telah dibuat, lautan telah aman, undur-undur berjalan-jalan mencoba mengecek apa yang kurang dan perlu untuk dirubah. Ditengah jalan, ia bertemu sekawanan gajah. Sebelum melewati gajah-gajah tadi, undur-undur yang ukuran tubuhnya lebih kecil seribu kali dari tubuh si gajah ingin menyingkirkan para gajah untuk jangan berkeliaran di jalan tempat dimana ia biasa lewat dan bisa membuat aset jalan berharganya rusak. 

Namun, sekali lagi ia tak mau kewibawaan dan nama baiknya hilang apabila langsung memarahi para gajah. Akhirnya, ia meminta antek kedua untuk menyampaikan keinginannya.

"Wahai para gajah, sedang apa kalian berjalan berkelompok di jalan ini?" tanya antek kedua.

"Kami sedang menikmati jalan baru yang telah pak undur-undur buat wahai pak antek" jawab para gajah.

"Mulai besok kalian harus melewati jalan lain, jangan jalan baru ini,"

"Tapi mengapa?" Tanya para gajah.

"Kalian itu harus sadar, badan kalian terlalu besar dan bobot kalian terlalu berat untuk berjalan di jalan baru ini. Kalian bisa membuat jalan ini cepat rusak dan binatang lain tak lagi bisa berjalan menikmati jalan baru yang pak undur-undur buat, coba badan kalian kecil dan kalian tidak terlalu berat kalian bisa kapan saja lewat di jalan ini" Sarkas pak antek.

Mendengar hal tersebut, tentu saja para gajah tak pernah menyangka. Kalimat yang baru saja disampaikan kepada mereka begitu menyayat dan tak peduli sebesar dan seberat apa bentuk mereka, ada hati yang rapuh di dalamnya. Kawanan gajah akhirnya menepi, berbalik arah, dan menghilang dari pandangan. Mereka berpencar, menepi untuk masing-masing mengasingkan diri.

Sejak hari itu gajah tak lagi nampak dari pandangan undur-undur. Mereka benar-benar lenyap, para gajah enggan lagi untuk dapat terlihat. Mereka terjebak dalam rasa bersalah yang berlarut-larut. Para gajah merasa tubuh dan bobot mereka dapat membuat makhluk lain kesusahan karena mereka.

Sekali lagi, ada perasaan yang tergadai hanya karena undur-undur yang haus kuasa.

Hari, bulan, tahun tak terasa berlalu. Seperti biasa undur-undur dan para anteknya mengelilingi negerinya. Jalanan telah bagus, dan pada hari itu negeri itu begitu tenang dan sepi membuat undur-undur dapat berjalan dengan begitu tenang. Kepalang tenang, ketika sampai pada titik ujung tempat dimana ia berkeliling.

Ada satu hal yang baru ia sadari, selama ia berkeliling, ia tak sama sekali melihat ada binatang dan makhluk lain bagian dari rakyatnya yang berjalan-jalan. Negerinya benar-benar sepi, senyap seolah tak berpenghuni selain ia dan anteknya. Tentu saja, sekali lagi ia khawatir bagaimana bisa negerinya sepi. Pergantian kekuasaan akan segera dilakukan. Bila tak lagi dipilih, kesenangan yang selama ini ia rasakan ketika menjabat sebagai pemimpin negeri akan hilang. 

Akhirnya, ia pun meminta antek ketiga untuk mencari tahu alasan mengapa negerinya begitu sepi.

Antek ketiga mencoba berjalan kembali mengelilingi hutan, menyusuri jalan, mengintip ke dalam lautan. Dan, hasilnya kosong, tak ada binatang atau penghuni lain yang dapat ia temui. Ia pun melaporkan apa yang ia temui kepada undur-undur. Dan, undur-undur kembali memaksa untuk ia menyebarkan siaran di udara melalui pelantang siapa tahu masih ada penghuni negeri yang tersisa.

"Wahai penghuni negeri antah berantah, siapapun kalian yang masih ada di negeri ini, pak undur-undur mengundang kalian ke istana," antek ketiga menyiarkan siaran udara yang menggema ke seluruh negeri.

Di akhir gema, yang mendengar suara antek undur-undur tadi akhirnya semut mencoba untuk keluar dari sarangnya dan berjalan menuju istana. Ia ingin mengungkapkan isi hatinya sebelum turut menghilang dari negeri itu. Melihat semut datang, gerbang istana dibuka dan kejadian itu menjadi kali pertama undur-undur berbicara dengan rakyatnya dimana sebelumnya selalu diwakilkan oleh anteknya.

"Wahai pak semut, apakah kamu mengetahui alasan mengapa negeri ini begitu sepi?" tanya undur-undur.

"Ketahuilah pak undur-undur, aku adalah binatang terakhir yang berada di negeri ini." jawab semut.

"Kemana yang lain? Tidakkah mereka sadar bahwa sebentar lagi akan ada pemilihan pemimpin negeri. Kalau mereka pergi maka negeri ini tidak akan bisa bertahan tanpa pemimpin."

"Kami sadar, itulah mengapa kami semua pergi meninggalkan negeri ini pak"

"Mengapa?"

"Ketahuilah pak, negeri ini sudah bukan lagi negeri milik kami. Negeri ini sudah tergadaikan sejak lama sejak bapak memimpin. Bukan perihal kekayaan, tapi tentang nurani. Banyak dari kami yang kehilangan jati diri karena sikap bapak yang terlalu acuh atas kami. Dan ketahuilah, alasan lain mengapa bapak tak pernah tahu satu persatu rakyat bapak menghilang adalah karena bapak seorang undur-undur. Bapak selalu berjalan mundur, itulah mengapa kami menjadi mudah untuk pergi tanpa diketahui. Kalau yang bapak khawatirkan adalah negeri ini akan hilang tanpa pemimpin, maka biarlah bapak memimpin negeri ini sendiri tanpa kami. Bukankah sebelumnya memang begitu? Adanya kami pun bapak sering tidak tahu dan peduli. Bapak tidak tahu bukan kalau untuk pergi, burung tidak terbang. Sayapnya lumpuh, akhirnya ia dibawa oleh para kawanan lebah untuk benar-benar pergi. Bapak tidak tahu betapa susahnya meyakinkan gajah untuk berjalan berdampingan bersama kami walaupun badannya begitu besar dan kami sendiri para semut yang kehilangan rumah karena jalan-jalan yang bapak buat. Sudahlah pak, cukup negeri ini saja bapak gadaikan, kehidupan kami jangan" ujar semut dengan begitu tenang.

Setelah menyampaikan isi hatinya, semut akhirnya meninggalkan istana dan berjalan meninggalkan negeri itu. Undur-undur seperti mendapatkan tamparan tak terduga, ia tak menyangka ternyata karena sifat dan sikapnya, ia kehilangan hal lain yang begitu berharga. Ia lupa bahwa perkara hati tak bisa digadaikan dengan materi. Itulah tadi sebuah kisah undur-undur dan negeri yang ia gadaikan.
Semoga tulisan ini bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun