Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Surat Terbuka untuk Mas Menteri dan Teman-teman Mahasiswa: Mengenai Wacana Perkuliahan Daring yang akan Dipermanenkan

11 November 2020   07:47 Diperbarui: 11 November 2020   08:02 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku capek kuliah, mau nikah aja!"

Pernah enggak sih, kamu ngerasa, capek banget untuk kuliah, berpikiran,  "Ngapain sih kuliah gak guna!" "Aku kuliah di jurusan yang gak sesuai sama passion aku," dan hal-hal lain semacam itu. 

Kalau kaliah pernah berpikiran kaya gitu, tenang aja karena kamu tidak sendiri loh. Faktanya, banyak juga orang yang tidak selesai kuliahnya, atau tidak berkuliah tapi sukses. 

Ambil contohnya Steve Jobs. Dia setelah memutuskan berhenti kuliah, menciptakan Apple yang sekarang produknya bisa kita nikmati. Atau Mark Zuckerberg yang tidak melanjutkan kuliahnya dan kemudian dia membangun wadah untuk kita berinteraksi dengan semua orang di dunia yaitu dengan Fecebooknya. 

Atau contoh lainnya di Indonesia, seorang pengusaha sukses Bob Sadino yang dia sendiri kontra dengan dunia pendidikan, yaitu perkuliahan. Jadi kalau begitu, kita tidak usah kuliah dong?


Pemikiran enggan lanjut kuliah atau mau berhenti kuliah ini semakin santer menjadi obrolan  dan diambil sebagai pilihan di kalangan mahasiswa. Apalagi sejak perkuliahan dilakukan secara daring. 

Ditambah dengan sebuah pernyataan Mas Menteri Nadiem Makarim di YouTube Media Indonesia, yang mengatakan bahwa perkuliahan secara daring akan dilakukan secara permanen. 

Berbicara mengenai hal ini tentu saja, dengan Mas Nadiem yang menurutku tidak bertanya langsung ke kami para mahasiswa bukan merupakan satu hal yang bijak. 

Sebab, pada faktanya di lapangan, aku, dan teman-teman mahasiswa yang lain lebih banyak kontra dengan adanya pernyataan Mas Menteri. Kalau ditilik kembali ke alasan yang Mas Menteri paparkan sebenarnya memang baik, yaitu agar tidak menambah jumlah angka persebaran Covid-19, dan untuk menghindari kampus menjadi klaster baru persebaran Covid-19. 

Namun, tentu saja ada dampak yang jauh lebih perlu disorot ketika perkuliahan terus saja dilangsungkan secara daring, yaitu kesehatan mental mahasiswa.

Aku sebenarnya tidak berharap Mas Menteri membaca tulisan opini dariku ini, tapi ya aku  tetap menulis saja meskipun sedikit sekali kemungkinan dari tulisan ini sampai dan dibaca olehnya. Iya, ini hanya opini yang banyak harapku meski tak bersuara namun bisa didengar sepenuhnya. Ada beberapa alasan yang barangkali bisa sedikit memberatkan diberlakukannya perkuliahan daring yang digadang-gadang akan dipermanenkan tadi. Benar kata Mas Nadiem, kami para mahasiswa memang sudah sangat rindu dengan teman-teman, dengan dosen dan segala dinamika perkuliahan lainnya yang tidak kami dapatkan bila kuliah dirumahkan seterusnya. Ada hal-hal yang sebelumnya bermakna menjadi hilang nilainya saat pertemuan hanya lewat layar gawai saja. Hal-hal yang dirindukan tadi, tidak sedikit memiliki dampak kepada kami para mahasiswa.

Baiklah, kembali ke topik pembahasan tulisan ini, aku akan mulai membahas perihal kesehatan mental teman-temanku para mahasiswa yang tidak sedikit menjadi terganggu dengan adanya perkuliahan daring yang tidak berkesudahan ini. 

Di kelasku, sudah ada beberapa mahasiswa yang menghilang dan enggan berkuliah sebagai korban dari adanya penyelenggaraan kuliah yang dilakukan secara online.

Dengan adanya hal ini, aku menjadi terpikirkan bahwa perkuliahan online tidak hanya memakan korban mahasiswa teman kelasku saja, tapi mahasiswa di kelas atau kampus lainnya juga. 

Sebenarnya yang diberatkan memang perihal tugas-tugasnya. Dimana yang awalnya ketika perkuliahan masih dilakukan secara tatap muka, kami para mahasiswa masih bisa berbagi beban bersama dan tugas serta beban perkuliahan tadi menjadi lebih ringan atau sama sekali tidak terasa.

Aku sebenarnya masih mengingat pernyataan lain dari Mas Menteri di sebuah channel YouTube Deddy Corbuzier yang mengatakan bahwa masuk kelas tidak menjamin mahasiswa untuk belajar, dan kuliah itu tidak penting.

 Ah, rasanya Mas Menteri salah mengambil persepsi dan seolah-olah tidak baik bila menjadikan sebuah opini yang seperti itu sebagai sebuah landasan pembenaran pembuatan keputusan sepihak. 

Sebab, belum jelas angka mahasiswa yang tidak benar-benar kuliah saat di kela, hanya ikut-ikutan atau pasif ketika berada di kelas. Ada satu hal lagi yang sebenarnya luput, bahwa sebenarnya dengan adanya perkuliahan daring, setiap pertemuan menjadi 'kurang bermakna'.

Ini menurutku, sebab tidak banyak dari kami mahasiswa yang memang sudah lelah, justru semakin enggan mengikuti perkuliahan daring atau mengikuti perkuliahan dengan setengah hati. 

Bukan tanpa alasan, setiap pertemuan menjadi tidak sempurna dan bermakna karena 'skenario' perkuliahan daring kebanyakan terlalu kaku, diskusi yang terjadi pun tidak seluwes ketika pertemuan berada di kelas secara tatap muka. 

Dan kembali lagi, dengan banyaknya alasan diatas, mahasiswa-mahasiswa yang mentalnya mulai jenuh dengan perkuliahan dalam jaringan semakin membulatkan tekad untuk berhenti kuliah dan pandangan bahwa kuliah itu tidak penting semakin membesar. Tokoh-tokoh yang aku sebutkan diatas kemudian semakin dijadikan sebagai role model untuk membenarkan pandangan mereka.

Ada lagi alasan yang digunakan Mas Menteri sebagai rasionalisasi akan rencana diterapkannya perkuliahan dari secara permanen di kalangan mahasiswa adalah agar mahasiswa terjun langsung ke masyarakat dan berpikiran secara mandiri. 

Agar label "agen perubahan" yang disandang oleh mahasiswa benar-benar terealisasikan. Nah, sayangnya tidak semua mahasiswa di Indonesia sejenius yang ada di pikiran Mas Menteri. 

Eh, mohon maaf bukan bermaksud mendiskreditkan mahasiswa Indonesia, namun dari yang aku ketahui dan aku lihat sendiri di lingkungan pertemananku, sedikit sekali mahasiswa yang dengan adanya pandemi benar-benar ikut andil di masyarakat.

Selain aku adalah salah satu mahasiswa yang berharap perkuliahan dilakukan secara luring saja, tapi  tidak kemudian aku membenarkan pola pikir dari teman-temanku seperti contoh yang aku sebutkan diatas sebelumnya. 

Aku tahu, kalau kamu yang membaca tulisanku adalah mahasiswa, setelah membaca di awal kamu akan sepakat denganku. Tapi aku sendiri tidak sepenuhnya sepemikiran dengan kamu yang menyerah duluan sebelum 'perang' dengan ego diri sendiri saat pandemi seperti ini. 

Kamu yang dulunya semangat sekali berkuliah dan belajar, dan hanya karena perkuliahan dirumahkan, semangat belajar kamu yang ada sebelumnya tadi menjadi hilang sepenuhnya. Aku ingin memberikan pandangan lain kepada kamu mengenai hal ini.

Jadi teman-temanku, kalau kamu memiliki rencana yang matang seumur hidup, atau kamu sejenius Steve Jobs, Mark Zuckerberg, atau kamu adalah anak sultan yang hartanya tidak akan habis selama tujuh turunan, iya silahkan saja untuk tidak kuliah atau berhenti kuliah sekarang dan menikahlah saja. 

Masalahnya, belum tentu setiap orang siap dengan rencana hidup dengan resikonya itu, dan hanya segelintir orang benar-benar bisa dianggap jenius, atau kemungkinan lebih kecilnya lagi, kamu adalah anak sultan. 

Meninggalkan kuliah untuk menikah di umur yang masih belum matang menurutku merupakan sebuah bentuk solusi yang menimbulkan masalah ke belakangnya.

Sebab, bukan berarti setelah menikah kehidupan akan menjadi selalu menyenangkan, tapi justru akan menjadi lebih rumit bila kamu minim keterampilan dan pengetahuan. 

Barangkali mentalmu akan membaik sementara dan akan semakin memburuk ketika di hadapkan dengan berbagai permasalahan dalam pernikahan serta kehidupan.

Cukup pelik memang bila disangkut pautkan antara permasalah pendidikan di jenjang perguruan tinggi dengan urusan pemerintahan, tapi benar adanya begitu. 

Meskipun idealnya, menurut Mas Menteri, mahasiswa dengan adanya pandemi menjadi semakin berpikiran dewasa, tapi pemikiran di level mahasiswa tidak jarang ketika sudah melenceng sedikit justru menimbulkan dampak lain yang justru lebih banyak menimbulkan masalah setelahnya. 

Salah satunya yang sudah aku singgung di awal tadi, banyak dari kalangan teman-temanku, para mahasiswa Indonesia yang dilabeli sebagai agen perubahan ini, memutuskan untuk berhenti kuliah di tengah jalan. 

Kalau sudah begini, dampak selanjutnya bagaimana? Kalau kamu para mahasiswa yang membaca tulisanku ini, kamu lebih sepakat dengan pandangan siapa? Dan pandangan siapa yang ingin kamu tolak sepenuhnya?

Kita banyak melihat bahwa orang yang tidak lulus kuliah akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Mulai dari susah payah kerja sama orang tapi gajinya pas-pasan, banyak juga yang akhirnya mendapatkan gaji di bawah UMR dan akhirnya cuma bisa menyesal karena realita kehidupan tak seindah yang diimpikan di kampus. 

Sarjana saja masih kesulitan untuk mencari kerja, apa lagi untuk orang-orang yang tidak punya titel. Kampus adalah salah satu sarana untuk membentuk pola pikir kritis dan rasional. Pernah tidak sih, kita merasa kalau diri kita saat masa kuliah itu sangatlah berbeda dengan saat kita SMA? 

Apalagi SMP secara pola pikir. Nah, dengan adanya pandemi, hanya karena kira tidak ke kampus, bukan kemudian menjadi alasan untuk berhenti berpikir dewasa. 

Apalagi ditambah dengan adanya UU Cipta Kerja dan Resesi Ekonomi yang sekarang ada di Indonesia, seharusnya kita para mahasiswa mengambil pandangan lebih jauh kedepan daripada hanya berkutat dengan ego yang bertujuan mendapatkan kesenangan.

Kita, seharusnya mengambil contoh atau role model orang-orang yang sukses setelah lulus kuliah antara lain Elon Musk, yang menyelesaikan 2 gelar S1 sekaligus, yaitu di bidang Fisika dan juga Ekonomi. 

Sebelum akhirnya, dia benar-benar berkarir dengan hal yang berhubungan dengan Fisika dan membentuk bisnis. Atau contoh lainnya adalah para pendiri Google yang akhirnya menemukan Google berawal dari tugas akhir di kampus. 

Coba kamu bayangkan tidak ada Google, bagaimana kamu mencari referensi-referensi atau juga mencari hal-hal menarik lainnya. Secara garis besar, persamaan dari orang-orang sukses dari yang berkuliah maupun yang tidak selesai kuliah atau tidak kuliah adalah dari cara mereka berpikir kritis, rasional, dan seberapa besar usaha mereka dalam mengembangkan apa yang mereka kerjakan tanpa menyerah satu kalipun. 

Semua kembali lagi ke pilihan masing-masing, kalau kamu siap dengan segala resiko mencari kerja, atau memulai bisnis sendiri tanpa kuliah, ya silahkan saja dilakukan, dan kalau kamu merasa kamu perlu banget untuk kuliah dan mencapai cita-cita kamu, go ahead untuk menyelesaikan kuliah kamu.

Biarlah, memang keadaan seperti ini tidak bisa ditolak dan ini terjadi tidak hanya di Indonesia tentunya. Memang sulit untuk mengambil keputusan di masa sulit seperti sekarang. 

Memang, perlu adanya kolaborasi antara mahasiswa dan pemerintah untuk menemukan jalan terbaik dari setiap masalah yang ada. Jangan lantas para mahasiswa dijadikan kambing hitam oleh sebuah pengambilan keputusan besar pemerintah yang berdasar pada sebuah alasan pembenaran. 

Tulisan ini, adalah sebuah surat terbuka yang aku tujukan pada Mas Menteri Nadiem dan Teman-temanku para mahasiswa di luar sana, dengan harapan menjadi acuan bagi keduanya dalam pengambilan keputusan kedepannya. Aku berharap, keputusan yang diambil benar-benar sebuah keputusan yang berlandaskan pada kesadaran dan sudah matang terpikirkan.

Aku memiliki sebuah prinsip begini,

 "Terkadang, saat kita terlalu fokus untuk membenci, kita menjadi lupa untuk mencintai"

Semoga pandemi segera berakhir, perkuliahan yang dirumahkan segera kembali di-kampuskan. Dan, semoga kamu yang membaca tulisan ini bisa mengambil manfaat dari opini dan pandangan dari surat terbuka yang aku bagikan ini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun