Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orangtua, Ajari Anak Menulis Ada Waktu Terbaiknya

25 Oktober 2020   04:45 Diperbarui: 26 Oktober 2020   09:44 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak belajar menulis (Foto: Shutterstock)

"Dek, kamu mahasiswa PAUD kan ya?"

"Iya Mbak, ada apa?"

"Mau tanya dek, ini kan Raffa tahun depan mau masuk SD, nah itu dia belum bisa nulis. Pas diajarin ngeluh mulu, eh malah lari main game di Hp, kira-kira cara buat ngajarin anak cepat bisa nulis gimana ya dek? Teman-temannya sudah bisa nulis semua"

Aku tersenyum mendengar pertanyaan ini, seolah aku diajak bernostalgia dengan aku yang dulu. Aku, sama seperti Raffa, anak salah seorang teman yang lebih tua dariku, aku dan dia sama-sama belum bisa menulis padahal sudah mau masuk sekolah dasar. 

Entah, aku harus bersyukur atau tidak, tahun 2007 saat aku masuk sekolah dasar, belum ada peraturan kalau calon peserta didik harus bisa baca tulis hitung (calistung) berbeda dengan anak-anak calon siswa sekolah dasar, di mana untuk masuk ke sekolah dasar harus memenuhi syarat bisa baca tulis hitung atau memiliki ijazah Taman Kanak-Kanak. Sedangkan aku, sudah tak bersekolah TK, masuk SD masih buta huruf dan angka pula. Akhirnya, aku hanya memberikan respon tersenyum, sebab pertanyaan temanku seolah menohok batinku.

"Eh, mbak ini kok nanya minta solusi ke aku, aku juga gitu duluuu mbak"

Ingatan jangka panjangku me-recall tentang bagaimana aku yang tidak bisa membaca menulis dan menghitung. Dulu itu setiap pulang sekolah tertatih tergagap dan diajari oleh ibu di rumah. 

Sungguh terlambat, padahal temanku yang lain sudah jauh melampaui kemampuanku saat itu. Apalagi, aku bersekolah di SD yang nenek dan pamanku juga mengajar di sana. Mas-ku, sepupu-sepupuku dan yang lain juga bersekolah di sekolah dasar yang sama".

"Masa iya, cucu sama ponakannya guru, masuk SD gak bisa baca"

Tapi ya mau bagaimana lagi, memang seperti itu adanya. Masa kecilku, ketika anak lain berangkat sekolah TK bersama orangtuanya, aku asyik bermain-main saja. Sebenarnya, aku pernah bersekolah TK, tapi cuma satu hari saja. 

Di hari pertama aku masuk TK, aku hanya menghabiskan uang ibu untuk jajan saja dan ketika di kelas, aku menangis meraung-raung minta pulang. Terjadilah esoknya, aku mengutarakan ke ibu kalau aku gak mau sekolah TK, mau langsung SD saja. Ya, karena bapak ibukku memang tidak suka memaksa, keduanya mengabulkan keinginanku, aku keluar dari TK.

Teman-temanku di kelas perkuliahan, barangkali sudah kenyang dengan ceritaku ini, haha. Sebab, ya aku yang tidak bersekolah TK ini sekarang malah jadi mahasiswa jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini. 

Sungguh, ingin kembali ke masa lalu rasanya, mau merasakan dulu menjadi siswa PAUD sebelum menjadi mahasiswa PAUD.

Well, sekian saja kilas baliknya, sekarang aku akan mencoba menghubungkan kilas balik barusan dengan realita serta apa yang aku ketahui atau coba sikapi dengan keadaan sekarang. 

Aku ketika semester 3 pernah menempuh di mata kuliah "Diagnostik Permasalahan Anak", ada sebuah kalimat legendaris dari dosenku yang masih tertanam di ingatan hingga sekarang, isinya kurang lebih seperti ini:


"Mendiagnosa masalah yang terjadi pada anak itu jauh lebih sulit daripada kasusnya anak-anak yang patah hati di zaman sekarang. Kalau mereka yang patah hati, kita bisa menembak dan terkadang mengobatinya cukup dengan saran. Tapi, kalau pada anak, kita harus menebak-nebak sebab sedikit anak-anak yang mau mengungkapkan. Belum lagi setelahnya, kita harus mencari akar permasalahan, mencari penyelesaian, mencocokkan dengan keadaan, kalau belum cocok cari penyelesaian lain lagi, tak berujung, kompleks! Jadi jangan bilang masalah orang dewasa itu sulit, ada yang lebih sulit yaitu masalah yang terjadi pada anak usia dini. Kalian aja belum nikah, duh coba saja nanti sudah jadi ayah sama jadi ibu, kalian baru akan merasakan, masalah yang kita anggap itu sederhana pada anak bisa jadi akan menjadi sebaliknya"

Menohok sekaligus membuatku penasaran. Dan ternyata benar, dibuktikan oleh pertanyaan temanku itu. Permasalahan yang dialami oleh anak begitu sederhana yaitu, ia tidak suka belajar menulis. Apalagi ditambah dengan sebuah fakta di kepala orangtua bahwa anak lain yang sepantaran dengan anaknya sudah lancar menulis.

Semakin beratlah pikiran dan ego orangtua untuk getol mengajari anak menulis sampai bisa tapi tidak sejalan dengan kemauan tadi karena anak sudah cenderung memikirkan bahwa belajar menulis itu membosankan. 

Memang benar, sebut saja, anak akan masuk sekolah dasar saat berusia sekitar enam atau tujuh tahun. Dan, di waktu usia segini biasanya orangtua semakin ngebut untuk mengajari anak siang dan malam. Sebab, ya benar saja, selain calistung menjadi syarat masuk sekolah dasar, tapi juga didukung oleh adanya beban sosial. Pernah mendengar bukan hal seperti ini,

"Eh Mama Raffa, Raffa kok belum bisa nulis?"

"Pasti Raffa main-main doang ya kalau di rumah, gak belajar?"

Atau kalimat-kalimat lain yang akan membuat hati dan pikiran orangtua panas dingin. Pertanyaan Mama Raffa yang menanyaiku di awal, coba aku jawab berdasarkan pendapat salah seorang psikolog, bukan berdasar pada pemahamanku. Sebab, tentu saja aku masih mahasiswa yang ilmunya masih dangkal. Ternyata, orangtua perlu peka dan sadar perihal mengajari anak menulis, juga ada waktu terbaiknya.

Aku kutip pendapat seorang psikolog, Pinkan Margaretha, M.Psi. bahwasanya sebetulnya ketika hendak mengajari anak menulis, itu berawal jauh ketika anak masih berusia sangat dini, ketika anak berusia satu tahun, bahkan masih berumur di bawah satu tahun. 

Hal ini adalah ditandai dengan kebiasaan anak yang sudah memulai memegang benda lalu berkali-kali misalnya memindahkan beda, melemparkan benda, dan kegiatan lainnya. Di mana, hal ini sebetulnya adalah keadaan di mana anak sedang melatih jari-jarinya. Jari-jari ini kemudian mulai dilatih kekuatannya ketika anak berusia satu tahun.

Fase di mana anak mulai bisa memegang benda yang lebih kecil, atau ketika waktu dua tahun hingga terus akhirnya anak bisa memegang spidol yang besar, atau pensil warna yang besar.

Pada awalnya, posisi memegangnya masih dengan menggenggam, lalu menggerak-gerakkan, lanjut mencorat-coret dinding. Nah, hal itu semua sebenarnya adalah bentuk latihan-latihan untuk mematangkan motorik halus anak.

Tak cukup di sana, sampai kemudian berkembang lagi ke fase di mana anak bisa memegang pensil dengan ketiga jari. Artinya, motorik halus anak ini sudah kuat, ketika motorik halusnya sudah kuat, jadi sudah masuk waktunya anak melatih menggambar, mewarnai, membuat lingkaran, membuat kotak, lalu gambar lain dengan tingkat kesulitan di atasnya.

Sebetulnya semua hal yang aku coba sebutkan di atas itu, adalah bentuk latihan-latihan awal sebelum anak kemudian menulis. Sebab, kegiatan menulis pada anak lebih membutuhkan kontrol jari-jari, motorik halus yang lebih rumit dan kompleks daripada membuat gambar.

Itu sebabnya mengapa ada mewarnai ketika anak berusia dua tahun, dua setengah tahun dan makin lama biasanya anak-anak dari yang awal menggambar anak selalu berada di luar garis, berselang waktu anak akan semakin bisa mewarnai di dalam garis.

Itu juga sebenarnya adalah bentuk latihan-latihan mengontrol motorik halus dan koordinasi visual, mata dan tangan atau motorik halus anak. Ketika sudah matang motorik halus dan koordinasi dengan mata, maka anak siap untuk mulai diajari perihal menulis.

Ini yang perlu dicermati, karena hari-hari ini banyak anak yang tidak lagi bermain dengan jari-jarinya tapi lebih banyak dengan gawai. Otomatis, motorik halusnya tidak matang, ketika tidak matang akibatnya ketika dipaksa menulis karena mau masuk sekolah dasar, sering terdengar keluhan anak bilang,

"Capek! Gak mau nulis"

Sebetulnya hal ini terjadi karena stimulasi kurang cukup untuk menguatkan motorik halus jari-jari tangannya. Jadi, permainan-permainan selain gadget yang banyak membuat anak menggunakan jari itu adalah hal yang baik.

Bentuk kegiatan yang seharusnya di stimulasi oleh orangtua bersama dengan anak sebut saja kegiatan seperti menggunting, meronce, melipat kertas, dan kegiatan lainnya. 

Itu semua sebetulnya adalah sebuah stimulasi untuk mematangkan motorik halus, sehingga ketika motorik halus anak sudah cukup matang, maka itu adalah waktu terbaik untuk anak dan orangtua mulai mengajarinya menulis. Jadi, salah apabila anak dituntut dan dikebut untuk bisa menulis tanpa pembiasaan dan stimulasi motorik yang matang dari orangtua.

Alih-alih mencari waktu terbaik, orangtua harus memahami terlebih dahulu cara terbaik mengajari anak menulis. Sebab, menulis yang menurut orangtua itu sederhana, pada anak usia dini hal sederhana itu menjadi berbeda.

Semoga tulisan ini bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun