Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

I'm Dyspraxic, and I'm Fantastic!

16 Oktober 2020   19:05 Diperbarui: 16 Oktober 2020   20:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuberanikan saja bertanya padanya, apakah ia mau apabila membagikan kisahnya padaku, dan sebagaimana Fita yang ku kenal luar biasa kepribadiannya, ia berkata, tentu tak apa untuk berbagi katanya. Dan, ia berkata pula, kalau perlu aku untuk menuliskan kisahnya sebagai pembelajaran dan motivasi untuk teman-teman dispraksia lainnya bisa berdamai dengan keadaannya serta orang yang belum mengenal apa itu dispraksia, dapat memahaminya. Well, ini dia kisahnya, yang sedang kamu baca saat ini.

Fita, pertama kali menyadari ada yang aneh dengan dirinya adalah ketika ia berusia antara 4-5 tahunan. Ia merasa, ia seperti mengalami delay saat ingin melakukan sesuatu dengan tindakan yang tubuhnya reaksikan. Ia awalnya heran, mengapa di saat teman-temannya mudah sekali menulis, ia menggerakkan pensil membentuk garis lurus saja terasa sangat melelahkan. Ia bertanya-tanya, disaat teman-teman lainnya dapat belajar mengendarai sepeda roda tiga dalam waktu satu bulan, ia bahkan memakan waktu 2-3 tahun. Ia heran, 'What happen to me, why I'm different?'

Biasanya, anak usia dini pada umur segini belum berani untuk mengungkapkan apa yang aneh dalam dirinya terhadap orangtuanya. Justru, biasanya orangtua lah yang pertama kali mengetahui apabila ada yang aneh dari anaknya. Tapi, pada kasus Fita sebaliknya. Ia yang pertama kali bercerita kepada Mamanya, sebab ia memiliki kepercayaan terhadap Mamanya. 

Untuk hal ini, dalam ilmu Psikologi kita dapat mengetahuinya dengan istilah attachment ata kelekatan. Hal ini adalah kondisi psikologis dimana terdapatnya hubungan yang hangat dan positif antara anak dan orangtua, dimana anak merasa nyaman dan aman apabila melakukan hal dengan orangtua yang ia merasa lekat. 

Fita menceritakan apa yang ia alami, dan didukung orangtuanya yang menganggap hal itu sebagai suatu hal yang serius, dimana Fita sesegera mungkin dibawa oleh Mamanya ke Professional dimana setelah ia didiagnosa, ia adalah dryspraxist atau mengidap dispraksia.

Analoginya, kita bisa membayangkan seperti dua orang anak sedang bermain basket. Yang satu normal, dan yang satu adalah dyspraxist. Pada anak yang normal, ia dapat memperkirakan saat bola dilempar, dalam otaknya akan mengitung 1, 2, 3, 4, 5, dan pada hitungan ke-6 ia mampu menangkap bola yang dilempar datang kepadanya. Sebaliknya apabila bola tadi kembali dilempar kepada anak dyspraxist, maka dalam otaknya akan menghitung 1, 2, 3, 60, kembali ke A, B, C, D, E, 4, berputar-putar membentuk lingkaran yang tidak selesai. Yang tanpa ia sadari, bola basket tadi sudah menghantam dahinya. 

Hal ini disebabkan oleh, adanya gangguan syaraf yang bekerja di dalam otak. Yap, dispraksia adalah salah satu gangguan yang terjadi pada gangguan syaraf otak atau neurology sama seperti ADHD, ODD, Anxiety, dan lain sebagainya.

Tanpa kuminta, pertanyaan yang muncul diawal dan belum sempat kuutarakan pada Fita, ia jawab dengan sendirinya. Sekali lagi, seolah ia bisa membaca pikiranku, walaupun aku dan ia hanya berjumpa via suara tanpa bertatap muka. Ia mengetahui penasaranku akan bagaimana ia bisa berdamai dengan apa yang ia sadari saat itu dan hidup bahagia saat ini. ada sebuah kalimat yang membuatku terharu dan bersyukur dapat dipertemukan dengannya, yaitu

"Kalau suatu saat aku diberi kesempatan untuk menjadi orang normal, kesempatan itu tidak akan aku terima Puj. Karena aku bangga,  sebagai manusia pengidap dispraksia."

Ia bercerita panjang lebar mengenai ia sama seperti anak dispraksia pada umumnya sebelum sampai pada tahap seperti sekarang. Ia juga merasakan, betapa susahnya ia dulu belajar mengoordinasikan gerak tubuhnya, lambat saat mata pelajaran di sekolah, susah dalam berbicara dan mengungkapkan kata, namun tak ada suatu hal yang mustahil apabila ada yang namanya usaha.

Ia berterima kasih kepada Mama serta keluarganya yang memberikan dukungan moral terhadapnya, dimana dengan rela menemaninya belajar menulis, mengoordinasikan gerak, mengikutkan ia kelas musik agar ia mampu melatih motorik halus melalui bermain alat musik serta kemampuan linguistiknya melalui olah suara dan bernyanyi. Itu semua, tak dilakukan dalam waktu yang instan. Butuh kesabaran serta kesadaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun