"daripada sakit hati, lebih sakit gigi ini biar tak mengapa" kutipan lagu alay dari orang yang belum merasakan derita sakit gigi.
Setiap orang pasti pernah merasakan sakit gigi. Tapi tidak semua tahu bagaimana rasanya menjalani hidup belasan tahun dengan nyeri yang tak pernah benar-benar hilang. Aku tahu, karena aku menjalaninya sendiri — enam belas tahun lamanya.
Bukan sakit gigi biasa. Ini bukan tentang gigi berlubang atau gusi bengkak. Ini tentang dua gigi geraham bungsu di rahang bawah, kanan dan kiri, yang tumbuh miring dan menekan gigi di depannya. Masalah kecil yang pelan-pelan berubah jadi sumber penderitaan panjang.
Awal Mula: Nyeri yang Kupikir Akan Sembuh Sendiri
Sekitar tahun pertama di SMA, aku mulai merasa ada rasa ngilu samar di rahang bawah. Awalnya kuanggap sepele. Aku pikir itu hanya efek kurang tidur, stres, atau gigi sensitif. Tapi lama-kelamaan, rasa nyeri itu mulai punya pola. Datangnya di malam hari, seperti denyut halus dari dalam tulang rahang. Kadang terasa di sisi kanan, lalu bergeser ke kiri.
Rasa sakitnya tidak selalu kuat, tapi terus-menerus. Seperti tetesan air yang lambat tapi pasti melubangi batu. Aku tetap makan, tetap sekolah dan beraktivitas seperti biasa, tapi selalu dengan rasa tidak nyaman di mulut.
Setiap kali sakit muncul, aku menempelkan balsem di pipi, atau kumur air garam. Kadang berhasil, kadang tidak. Dalam pikiran awamku waktu itu, “Ah, nanti juga sembuh sendiri.” Tapi waktu berjalan, dan rasa sakit itu justru semakin pintar bersembunyi — tidak terlalu menyiksa, tapi selalu ada.
Tubuhku seperti beradaptasi dengan nyeri. Aku terbiasa hidup dengannya, bahkan sampai bisa lupa rasanya hidup tanpa sakit gigi.
Tahun-Tahun Penuh Toleransi dan Penyesuaian
Tahun-tahun berikutnya aku benar-benar terbiasa dengan rasa sakit itu. Bahkan bisa dibilang aku menormalisasi penderitaan. Saat gigi terasa ngilu, aku hanya mengubah posisi tidur. Saat kepala terasa berat, aku pikir itu karena kurang minum. Padahal sumbernya tetap sama: dua gigi bungsu di rahang bawah yang tumbuh ke arah salah.
Kadang rasa nyerinya menjalar sampai ke telinga dan kepala bagian belakang. Kalau sedang kambuh parah, aku bisa bangun tengah malam karena rasa denyutnya seolah berasal dari dalam tulang tengkorak. Aku minum paracetamol atau ibuprofen, dan rasa sakit mereda sementara. Tapi begitu obat habis, ia datang lagi seperti tamu yang menolak pergi.