Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku Mengalami Sakit Gigi Berkepanjangan Hampir 16 Tahun

16 Oktober 2025   09:00 Diperbarui: 16 Oktober 2025   19:12 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sakit gigi - kreasi AI

"daripada sakit hati, lebih sakit gigi ini biar tak mengapa" kutipan lagu alay dari orang yang belum merasakan derita sakit gigi.

Setiap orang pasti pernah merasakan sakit gigi. Tapi tidak semua tahu bagaimana rasanya menjalani hidup belasan tahun dengan nyeri yang tak pernah benar-benar hilang. Aku tahu, karena aku menjalaninya sendiri — enam belas tahun lamanya.

Bukan sakit gigi biasa. Ini bukan tentang gigi berlubang atau gusi bengkak. Ini tentang dua gigi geraham bungsu di rahang bawah, kanan dan kiri, yang tumbuh miring dan menekan gigi di depannya. Masalah kecil yang pelan-pelan berubah jadi sumber penderitaan panjang.

Awal Mula: Nyeri yang Kupikir Akan Sembuh Sendiri

Sekitar tahun pertama di SMA, aku mulai merasa ada rasa ngilu samar di rahang bawah. Awalnya kuanggap sepele. Aku pikir itu hanya efek kurang tidur, stres, atau gigi sensitif. Tapi lama-kelamaan, rasa nyeri itu mulai punya pola. Datangnya di malam hari, seperti denyut halus dari dalam tulang rahang. Kadang terasa di sisi kanan, lalu bergeser ke kiri.

Rasa sakitnya tidak selalu kuat, tapi terus-menerus. Seperti tetesan air yang lambat tapi pasti melubangi batu. Aku tetap makan, tetap sekolah dan beraktivitas seperti biasa, tapi selalu dengan rasa tidak nyaman di mulut.

Setiap kali sakit muncul, aku menempelkan balsem di pipi, atau kumur air garam. Kadang berhasil, kadang tidak. Dalam pikiran awamku waktu itu, “Ah, nanti juga sembuh sendiri.” Tapi waktu berjalan, dan rasa sakit itu justru semakin pintar bersembunyi — tidak terlalu menyiksa, tapi selalu ada.

Tubuhku seperti beradaptasi dengan nyeri. Aku terbiasa hidup dengannya, bahkan sampai bisa lupa rasanya hidup tanpa sakit gigi.

Tahun-Tahun Penuh Toleransi dan Penyesuaian

Tahun-tahun berikutnya aku benar-benar terbiasa dengan rasa sakit itu. Bahkan bisa dibilang aku menormalisasi penderitaan. Saat gigi terasa ngilu, aku hanya mengubah posisi tidur. Saat kepala terasa berat, aku pikir itu karena kurang minum. Padahal sumbernya tetap sama: dua gigi bungsu di rahang bawah yang tumbuh ke arah salah.

Kadang rasa nyerinya menjalar sampai ke telinga dan kepala bagian belakang. Kalau sedang kambuh parah, aku bisa bangun tengah malam karena rasa denyutnya seolah berasal dari dalam tulang tengkorak. Aku minum paracetamol atau ibuprofen, dan rasa sakit mereda sementara. Tapi begitu obat habis, ia datang lagi seperti tamu yang menolak pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun