Di banyak titik sejarah, rakyat selalu memiliki cara untuk menyalurkan kemarahan terhadap kekuasaan yang dianggap menindas. Dari unjuk rasa, mogok massal, hingga perlawanan sipil, semua adalah bentuk ekspresi keresahan kolektif. Namun, ada kalanya emosi yang meluap justru mengaburkan arah perjuangan. Salah satu bentuk kesalahan fatal yang kerap muncul adalah pembakaran fasilitas umum.
Tindakan ini sering dianggap sebagai luapan spontan dari rasa marah, tetapi sesungguhnya ia adalah bentuk kebodohan dan kemunduran dalam perjuangan rakyat. Mengapa? Karena fasilitas umum adalah milik rakyat itu sendiri, bukan milik partai politik, bukan milik DPR, dan bukan pula milik penguasa yang dzalim. Merusaknya sama saja dengan melukai diri sendiri.
Fasilitas Umum: Aset Bersama, Bukan Musuh
Fasilitas umum---seperti halte, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, taman, dan gedung pelayanan---dibangun dari uang rakyat. Pajak yang dipungut setiap bulan dan tahun, baik dari pekerja, pedagang, maupun buruh, pada akhirnya dipakai untuk mendanai pembangunan itu. Maka, ketika fasilitas ini dibakar, yang hancur bukanlah kekuasaan politik, melainkan hasil jerih payah rakyat sendiri.
Sebagai contoh, ketika sebuah halte bus dibakar, siapa yang dirugikan? Bukan anggota DPR, bukan pejabat partai, melainkan para pekerja harian yang menggunakan transportasi umum untuk mencari nafkah. Ketika sebuah sekolah dibakar, siapa yang kehilangan? Bukan politisi yang duduk nyaman di kursi parlemen, melainkan anak-anak rakyat kecil yang kehilangan ruang belajar.
Dengan demikian, membakar fasilitas umum bukanlah perlawanan. Itu adalah bentuk bunuh diri kolektif. Ia menambah penderitaan rakyat, memperburuk citra gerakan, dan memberi alasan bagi penguasa untuk menindas dengan dalih "menjaga ketertiban".
Arah Perlawanan yang Keliru
Marah pada DPR atau partai politik yang dzalim adalah wajar. Sistem politik yang korup dan berpihak pada segelintir elite memang layak dilawan. Tetapi arah kemarahan harus tepat sasaran.
Sayangnya, ketika emosi massa meluap tanpa kendali, arah perjuangan menjadi kabur. Alih-alih menekan sistem, yang dihancurkan justru sarana publik. Ini ibarat menembak bayangan sendiri, sementara musuh sebenarnya duduk tenang di kursi empuk.
Politisi korup tidak peduli apakah halte terbakar atau sekolah rusak, karena mereka tetap punya akses ke mobil pribadi, sekolah elit, dan rumah sakit mahal. Yang hancur hanyalah ruang hidup rakyat biasa.
Belajar dari Sejarah Perlawanan
Dalam sejarah dunia, banyak gerakan rakyat berhasil karena strategi, bukan karena amukan buta.
Gerakan Hak Sipil di Amerika Serikat
Martin Luther King Jr. memimpin rakyat kulit hitam dengan strategi non-kekerasan. Ia paham bahwa kekerasan hanya akan memperburuk stereotip dan memberi legitimasi bagi aparat untuk bertindak represif. Dengan disiplin dan moral tinggi, gerakan itu justru mendapat simpati luas dan akhirnya mendorong perubahan hukum.Reformasi 1998 di Indonesia
Rakyat Indonesia berhasil menjatuhkan rezim Orde Baru bukan dengan membakar sekolah atau rumah sakit, melainkan dengan aksi massa yang terorganisir, konsolidasi mahasiswa, mogok kerja buruh, dan tekanan moral yang terus-menerus.Gerakan Buruh Internasional
Sejarah panjang perjuangan buruh di Eropa menunjukkan bahwa kekuatan mereka ada pada solidaritas dan aksi kolektif, seperti mogok kerja massal, bukan pada perusakan fasilitas publik.
Sejarah mengajarkan bahwa perubahan besar lahir dari kecerdasan strategi, kesabaran, dan konsistensi. Perlawanan yang diarahkan dengan tepat bisa menjebol tembok kekuasaan, sementara perlawanan yang salah sasaran hanya menambah luka rakyat.
Jalan Cerdas Melawan Penindasan
Jika memang yang dilawan adalah DPR atau partai politik yang dzalim, maka ada cara-cara yang lebih efektif dan bermartabat untuk melawan, tanpa harus merusak fasilitas umum:
Konsolidasi Massa
Perjuangan yang terorganisir selalu lebih kuat daripada amukan sporadis. Membangun serikat, aliansi, komunitas, dan forum rakyat adalah langkah penting untuk menyatukan suara dan memperbesar daya tekan.Serangan Politik dan Hukum
Tekanan bisa diarahkan pada jalur hukum, gugatan konstitusional, dan kampanye politik yang cerdas. Rakyat bisa menekan partai untuk mereformasi diri atau bahkan melahirkan alternatif politik baru.Mogok dan Boikot
Mogok kerja massal, boikot produk atau layanan yang terkait dengan elite korup, adalah bentuk perlawanan yang lebih efektif. Ekonomi adalah urat nadi politik; ketika roda ekonomi berhenti, penguasa tertekan.Penguasaan Narasi Publik
Di era digital, siapa yang menguasai narasi, dialah yang menguasai opini. Daripada membakar halte, lebih baik membakar semangat rakyat lewat tulisan, poster, musik, video, dan gerakan media sosial.Pendidikan Politik Rakyat
Melawan kezaliman tidak bisa hanya dengan emosi; rakyat harus sadar dan terdidik. Diskusi, pelatihan, dan literasi politik akan melahirkan generasi yang lebih sulit dibodohi oleh janji kosong partai.
Kesimpulan: Jangan Jadi Musuh Diri Sendiri
Pembakaran fasilitas umum bukanlah perlawanan, melainkan bentuk kebodohan dan kemunduran. Ia hanya menambah penderitaan rakyat, melemahkan gerakan, dan menguntungkan pihak berkuasa.
Yang harus dilawan adalah akar masalah: sistem politik yang korup, partai-partai yang mengkhianati rakyat, dan anggota DPR yang dzalim. Perlawanan harus diarahkan ke sana, dengan strategi cerdas, aksi kolektif, dan narasi yang kuat.
Kemarahan rakyat memang sah. Tetapi kemarahan yang cerdas akan melahirkan perubahan, sementara kemarahan yang membabi buta hanya melahirkan puing-puing. Jangan sampai rakyat menjadi musuh bagi dirinya sendiri.
Perjuangan sejati bukan tentang menghancurkan fasilitas publik, melainkan tentang membangun kekuatan rakyat untuk menumbangkan kekuasaan yang menindas. Dengan cara itulah keadilan bisa benar-benar tercapai, dan rakyat tidak lagi menjadi korban dari kemarahan mereka sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI