Langit senja di balik jendela kaca Wijaya Tower seakan ikut memerah, cerminan dari amarah yang membara di ruang rapat paling atas. Di sana, di balik meja mahoni panjang yang dipoles mengilap, duduk dua pria paruh baya yang tak butuh waktu lama untuk saling memahami arti tatapan mereka. Mereka bukan lagi sekadar pesaing bisnis, melainkan dua jenderal yang terperangkap dalam perang tanpa ampun. Tuan Hartono, dengan postur tegapnya yang tak lekang dimakan usia, dan Tuan Wijaya, yang selalu menyeringai licik di balik kemeja sutra mahal.
"Wijaya, kupikir kesabaran kita sudah habis," ujar Hartono, suaranya tenang tapi tajam, menusuk seperti jarum es. Jemari tangannya, yang dipenuhi urat dan sesekali mengusap cincin batu akik giok di jari telunjuk, mencengkeram erat sandaran kursi. Ia tahu, di balik wajah poker Wijaya, ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Perang tekstil dan properti yang mereka mulai sepuluh tahun lalu kini telah merembet ke segala lini, menjadi permainan kotor yang tak pandang bulu.
Wijaya tergelak, tawa yang kering dan hambar. Ia menyilangkan kaki, lalu menyandarkan punggungnya, seolah-olah percakapan ini tak lebih dari hiburan sore hari. "Kalau begitu, mari kita lihat, Hartono. Siapa yang lebih pandai bermain di kegelapan? Aku atau kamu?" Jemarinya yang ramping memainkan pulpen emas, memutar-mutarnya dengan presisi. Bekas luka kecil di sudut alisnya berkedut, tanda bahwa di dalam dirinya, peperangan batin sedang berkecamuk.
Di antara mereka, di atas meja mahoni yang mengilap, tergeletak folder-folder dokumen yang berisi laporan-laporan keuangan, proposal proyek, dan data-data rahasia. Semua itu adalah amunisi, bom waktu yang bisa meledak kapan saja, menghancurkan salah satu dari mereka. Pertemuan ini seharusnya menjadi ajang mediasi, namun kedua belah pihak sudah tahu ini hanya formalitas. Mereka datang bukan untuk berdamai, melainkan untuk mengukur kekuatan satu sama lain sebelum serangan berikutnya diluncurkan.
Ponsel Hartono bergetar, menampilkan nama asistennya. Ia mengangkat telepon itu, mendengarkan sejenak, lalu meletakkannya kembali di atas meja. Tatapannya kembali ke Wijaya, kali ini dengan kilatan yang lebih dingin dari sebelumnya.
"Sepertinya kamu tidak datang sendirian, Wijaya. Aku juga," kata Hartono, suaranya mengandung nada kemenangan.
Pintu terbuka, dan seorang pria muda berambut acak-acakan masuk, membawa sebuah map tebal. Ia tak menatap siapa-siapa, hanya berjalan lurus ke arah Hartono, lalu menyerahkan map itu.
"Ini dokumen yang Anda minta, Pak. Bukti korupsi Wijaya dalam proyek pembangunan Wisma Abadi," katanya, suaranya bergetar.
Hening. Suara pulpen Wijaya yang semula berputar kini berhenti. Wajahnya, yang biasanya tampak angkuh, kini mengeras. Ia menatap pria muda itu dengan tatapan tajam, seolah ingin melumatnya.
Hartono tersenyum puas. Ia membuka map itu, memperlihatkan tumpukan dokumen kepada Wijaya. "Ini bukti kuat, Wijaya. Bukti bahwa kau menggelembungkan dana pembangunan, memanipulasi laporan, dan mencuri uang negara. Dengan ini, aku bisa menyeretmu ke penjara dan menghancurkan seluruh imperiummu."