Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menanti Tata Niaga Beras yang Win-Win: Solusi untuk Kesejahteraan Petani dan Keterjangkauan Konsumen

29 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 28 Agustus 2025   11:14 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pasar beras kampung-kreasi AI

 

Beras bukan sekadar komoditas; ia adalah pondasi pangan dan budaya masyarakat Indonesia. Sebagai negara agraris dengan populasi yang sangat bergantung pada nasi, tata niaga beras yang adil dan berkelanjutan adalah kunci utama untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial. Namun, selama ini, sistem yang ada justru sering menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan, merugikan petani dan juga memberatkan konsumen. Oleh karena itu, mewujudkan tata niaga beras yang saling menguntungkan atau "win-win" adalah sebuah keharusan, bukan lagi sekadar wacana.

Saat ini, kita berada di titik krusial di mana harga beras di tingkat petani sering jatuh di bawah biaya produksi, sementara harga di pasar melambung tinggi. Situasi ini menciptakan ironi yang mendalam: mereka yang bekerja keras menanam padi sering kali tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya, sementara masyarakat yang membutuhkan beras harus membayar mahal. Terdapat rantai panjang permasalahan yang harus diurai, mulai dari struktur pasar yang tidak efisien, praktik spekulasi, hingga kurangnya peran pemerintah yang optimal.

Mengurai Kompleksitas Permasalahan dalam Tata Niaga Beras

Untuk memahami mengapa tata niaga beras saat ini tidak adil, kita perlu melihat akar masalahnya. Pertama, masalah ketimpangan harga adalah yang paling mencolok. Petani sering terpaksa menjual gabah mereka kepada tengkulak atau pedagang perantara dengan harga yang sangat rendah, terutama saat musim panen raya. Pada saat yang sama, tengkulak dan pedagang besar ini memiliki modal dan akses gudang yang kuat, memungkinkan mereka menimbun beras dan melepaskannya ke pasar saat harga naik. Proses ini menciptakan disparitas harga yang ekstrem: harga gabah di sawah bisa anjlok, sedangkan harga beras di pasar kota tetap tinggi. Rantai distribusi yang panjang ini penuh dengan margin keuntungan yang tidak merata, di mana sebagian besar keuntungan dinikmati oleh perantara, bukan oleh petani.

Kedua, fluktuasi harga dan ketidakpastian pasar memperburuk kondisi. Harga beras sering kali mengalami volatilitas tajam yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan cuaca ekstrem, serangan hama, atau isu-isu global. Spekulan sering memanfaatkan situasi ini untuk menaikkan harga secara artifisial, yang akhirnya merugikan konsumen. Sementara itu, petani tidak memiliki perlindungan harga yang memadai, sehingga mereka tidak bisa merencanakan keuangan dan produksi dengan baik. Ketidakpastian ini membuat banyak petani enggan untuk berinvestasi dalam teknologi atau bibit unggul, karena risiko kerugian terlalu besar.

Ketiga, masalah infrastruktur dan distribusi yang tidak efisien menjadi hambatan besar. Banyak daerah pertanian di Indonesia masih menghadapi kesulitan akses jalan, kurangnya gudang penyimpanan yang memadai, dan fasilitas pascapanen yang minim. Akibatnya, gabah dan beras sering rusak atau membusuk sebelum sampai ke pasar, mengurangi kualitas dan pasokan. Efisiensi distribusi yang buruk juga mengakibatkan harga beras berbeda-beda di setiap daerah, menciptakan kesenjangan ketersediaan dan harga yang tidak merata.

Membangun Solusi untuk Tata Niaga yang Adil dan Berkelanjutan

Menyadari kompleksitas masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan terpadu untuk membangun tata niaga beras yang adil dan berkelanjutan. Solusi ini harus melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah, petani, pedagang, hingga konsumen.

1. Penguatan Peran Koperasi Petani sebagai Pilar UtamaKoperasi petani harus diberdayakan sebagai kekuatan kolektif. Dengan bergabung dalam koperasi, petani dapat menjual hasil panen mereka secara bersama-sama, sehingga memiliki daya tawar yang lebih kuat di hadapan pedagang besar dan pemerintah. Koperasi juga dapat berfungsi sebagai pusat layanan yang menyediakan bibit, pupuk, dan pinjaman dengan bunga rendah. Lebih dari itu, koperasi dapat mengelola fasilitas penyimpanan dan pengolahan gabah, seperti rice mill modern, untuk meningkatkan nilai tambah produk mereka. Dengan demikian, keuntungan tidak lagi hanya dinikmati oleh perantara, tetapi juga kembali kepada petani.

2. Mekanisme Harga yang Transparan dan StabilPemerintah memiliki peran vital dalam menciptakan stabilitas harga. Mekanisme penetapan harga harus transparan dan melibatkan perwakilan petani, pedagang, dan konsumen. Kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) harus realistis dan berpihak pada petani, dengan mempertimbangkan biaya produksi dan keuntungan yang layak. Selain itu, penguatan cadangan beras pemerintah (buffer stock) melalui Perum Bulog sangat penting untuk menstabilkan harga saat terjadi fluktuasi. Bulog harus membeli gabah langsung dari petani saat musim panen untuk mencegah harga anjlok, dan melepaskannya ke pasar saat terjadi kelangkaan untuk menjaga harga tetap terjangkau bagi konsumen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun