Perempuan itu mengangkat tangannya, menunjuk Arga. "Kau... yang melihatku pertama. Kau yang harus ikut."
Arga mencoba mundur, tapi tubuhnya seolah dikunci oleh tatapan mata perempuan itu. Pandangan mata hitam legam yang penuh dendam. Ia mendengar suara di kepalanya, bukan dari mulut perempuan itu: Masuklah... dasar sendang menyimpan kebenaran. Jangan tolak panggilan leluhur.
Bayu mengguncang bahu Arga, mencoba menyadarkannya. "Jangan lihat matanya!" teriaknya.
Dengan sisa tenaga, Arga memejamkan mata. Begitu ia lakukan, suara itu menghilang. Saat membuka mata kembali, sosok perempuan itu lenyap. Permukaan air kembali jernih, seolah tak pernah ada apa-apa.
Mereka bertiga lari tunggang langgang meninggalkan lokasi.
Keesokan harinya, mereka kembali bersama seorang juru kunci sendang, Mbah Wiro. Lelaki tua itu mendengarkan cerita mereka dengan wajah serius.
"Kalian bodoh," katanya dingin. "Sendang Senjoyo bukan tempat main-main. Itu petilasan. Ada penjaganya. Kalau kalian dengar nyanyian, artinya dia sudah mengakui keberadaan kalian."
"Dia... dia siapa, Mbah?" tanya Arga, suaranya bergetar.
Mbah Wiro menatap jauh ke arah sendang. "Orang sini menyebutnya Nyai Rara Kuning. Konon dia penunggu sekaligus pengawal air. Dulu, ia adalah selir seorang bangsawan yang bunuh diri di sendang ini. Sejak itu, arwahnya menolak pergi."
"Lalu kenapa dia ingin menyeret saya?" Arga makin pucat.
Mbah Wiro menarik napas berat. "Karena kau sudah melihat wujud aslinya. Itu artinya... jiwamu sudah diberi tanda. Kalau kau kembali ke sini, dia tak akan melepaskanmu lagi."
Arga tercekat. Bayu dan Sinta saling pandang dengan wajah pucat pasi.
Mbah Wiro berdiri, menancapkan tongkat kayu ke tanah. "Kalian harus segera pulang. Jangan pernah menoleh ke belakang waktu keluar dari sini. Ingat, jangan menoleh."