Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Musisi Menuntut Royalti, Apa Kabar Petani yang Memberi Energi Hidup Kita?

5 Agustus 2025   14:00 Diperbarui: 5 Agustus 2025   21:40 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani tua yang banyak jasa - Kreasi AI

Dalam dunia seni dan kreativitas, hak atas royalti menjadi isu yang sering memanas. Musisi, penulis, dan para pencipta karya kerap berjuang agar karya mereka dihargai secara layak dan mendapatkan bagian dari hasil yang mereka ciptakan. Mereka berargumen bahwa karya tersebut adalah buah dari kerja keras, ketekunan, dan kreativitas tinggi yang layak dihormati, bukan hanya secara moral tetapi juga secara finansial. Dalam banyak kasus, tuntutan ini berhasil membentuk sistem perlindungan hak cipta dan mekanisme royalti.

Namun, mari kita berefleksi dengan analogi ekstrem---bukan untuk menyederhanakan, melainkan untuk memancing pertanyaan yang lebih mendalam: jika musisi bisa menuntut royalti dari setiap orang yang menikmati karyanya, apakah petani juga berhak menuntut semua orang atas energi dari makanan yang mereka tanam?

Bayangkan seorang musisi yang keras kepala menuntut royalti dari setiap pendengar musiknya. Ia berpendapat bahwa lagu-lagunya membawa manfaat emosional, hiburan, bahkan menjadi soundtrack hidup banyak orang. Maka, setiap kali lagunya diputar---di radio, di kafe, di platform digital---ia merasa berhak mendapatkan bagian. Sebagai perbandingan, bagaimana jika seorang petani juga menuntut "royalti energi" dari setiap orang yang mengonsumsi nasi, sayur, atau buah yang berasal dari ladangnya? Bukankah makanan itu memberi energi vital, menyambung hidup, bahkan menjadi bagian dari tubuh manusia?

Pertanyaan ini terdengar satir, bahkan absurd. Tapi di balik absurditasnya, ia mengandung lapisan pemikiran filosofis dan sosial yang menarik untuk digali: apa sebenarnya dasar moral dan sosial dari royalti itu sendiri? Apakah semua bentuk karya dan usaha layak mendapat perlakuan serupa?

Apakah Argumentasi Itu Valid?

Pada dasarnya, baik musisi maupun petani sama-sama menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Sama-sama melibatkan kerja keras, keterampilan, bahkan ketekunan yang kadang tidak terlihat. Jika dilihat dari sudut pandang kontribusi, keduanya layak dihargai. Namun, di sinilah letak perbedaannya---dan alasan mengapa tuntutan royalti di dunia pertanian menjadi problematik dan tidak praktis.

Karya musik, tulisan, lukisan, dan bentuk karya cipta lainnya adalah ekspresi kreatif yang bersifat personal dan unik. Mereka tidak bisa muncul secara alami tanpa kehadiran si pencipta. Musik bukan hasil proses alam, melainkan buah dari imajinasi manusia yang tak bisa digantikan. Karena sifatnya itu, karya seni bisa dijadikan komoditas intelektual yang dilindungi hukum. Selain itu, karya seni bersifat non-rivalrous---seseorang bisa menikmati lagu yang sama berulang kali tanpa mengurangi nilai atau kehadirannya untuk orang lain.

Sedangkan makanan adalah hasil kolaborasi antara alam dan manusia, yang dihasilkan melalui siklus yang bisa direplikasi. Meski petani bekerja keras, makanan tidak bisa diperlakukan seperti karya eksklusif. Selain itu, makanan bersifat rivalrous---sekali dimakan, ia habis. Tak bisa dibagikan berulang tanpa batas. Dalam kerangka sosial, makanan adalah kebutuhan dasar manusia. Memberikan royalti pada petani setiap kali makanan dikonsumsi akan memperumit sistem distribusi, dan bisa berdampak pada hak dasar manusia atas pangan.

Prinsip Ekonomi dan Realitas Sosial

Jika setiap konsumsi makanan dikenai royalti kepada petani, maka biaya hidup akan meningkat secara drastis. Harga bahan pangan akan melambung, menciptakan beban ekonomi yang tak tertanggungkan bagi masyarakat miskin. Model ini akan merusak prinsip keadilan sosial, di mana kebutuhan dasar seharusnya dapat diakses oleh semua orang, bukan hanya yang mampu membayar lebih.

Sebaliknya, justru ironi yang terjadi di dunia nyata adalah bahwa petani sering kali tidak menikmati nilai ekonomi dari hasil panennya sendiri. Sementara para pencipta bisa mendapatkan royalti bertahun-tahun dari satu lagu atau buku, petani menjual hasil panennya hanya sekali---dengan harga yang kadang dipermainkan tengkulak, pasar, dan kebijakan yang tidak memihak.

Jadi, jika ingin memperjuangkan keadilan bagi petani, bukan dalam bentuk royalti dari tiap suap nasi yang dimakan orang. Tapi dalam bentuk sistem harga yang adil, akses pasar langsung, dan perlindungan sosial yang memastikan kesejahteraan petani secara berkelanjutan.

Apa yang Bisa Kita Petik dari Perbandingan Ini?

Pertanyaan tentang royalti tidak hanya soal penghargaan atas karya, tapi juga menyangkut struktur ekonomi, karakter produk, dan prinsip moral yang mendasari penggunaannya. Dalam hal karya cipta, royalti adalah instrumen yang berfungsi untuk menjaga semangat inovasi dan melindungi hak intelektual. Namun dalam hal pangan, air, dan kebutuhan dasar lainnya, konsep royalti menjadi tidak relevan---karena mengakses makanan bukanlah bentuk konsumsi mewah, tapi syarat untuk bertahan hidup.

Dengan kata lain, penghargaan atas karya harus disesuaikan dengan konteks. Tidak semua hasil usaha manusia bisa dan seharusnya diberikan royalti. Tapi semua hasil usaha manusia memang layak untuk dihargai secara layak, adil, dan manusiawi.

Kesimpulan

Jika musisi memperjuangkan royalti atas karya mereka, itu sah dan memang seharusnya ada sistem yang melindungi hak mereka. Tapi kita juga perlu bertanya: apakah hanya karya seni yang pantas dihargai secara terus-menerus? Bagaimana dengan petani, buruh, dan pekerja dasar lainnya yang hasil kerjanya kita nikmati setiap hari?

Mungkin mereka tidak bisa menuntut royalti dalam bentuk yang sama. Tapi kita bisa memperjuangkan sistem yang menghargai kontribusi mereka dengan cara yang adil---baik melalui regulasi, akses pasar, maupun kebijakan negara.

Akhir kata, mari kita renungkan:

Apakah benar setiap karya dan hasil usaha harus mendapatkan royalti? Atau justru kita perlu merancang sistem yang lebih adil, agar semua hasil usaha manusia---baik kreatif maupun agraris---mendapatkan penghargaan yang layak dalam kerangka yang sesuai?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun