Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kunanti Pelukmu dalam Surat Ini

9 Mei 2021   11:20 Diperbarui: 9 Mei 2021   11:31 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku dan kamu. Dokumentasi pribadi.

Apa kabar, Sayang? 

Ini kali pertama dalam 10 tahun pernikahan, kita tidak berlebaran bersama. Aku tentu saja merindukan malam-malam sibuk, membuat rendang dan ketupat, menyiapkan segala untuk merayakan Idulfitri. Dan tentu saja, salam dan pelukan, yang selalu terasa lebih istimewa, lebih takzim, sesaat setelah kita menunaikan salat id. 

Jarak memang bukan hal baru bagi kita. Ingatkah dirimu, dulu, saat kita berencana melanjutkan pendidikan bersama... Kamu tes untuk S2 di Fisika ITB. Aku tes untuk D4 STAN. Kau lulus. Aku tidak. Jadilah kita berpisah, antara Bandung dan Sumbawa selama 1 tahun lebih. Dan di antara waktu itu pernah kita hanya bertemu setelah dua bulan lamanya. Hingga akhirnya aku lulus di kesempatan berikutnya, dan kita hanya bertemu tiap akhir pekan. Bintaro dan Bandung ditempuh tidak secepat yang kita inginkan.

Setelah itu, aku tidak ingin lagi berpisah denganmu. Pun dengan anak-anak, yang meski selalu ribut, itu yang kurindukan.

Memang, di titik ini, aku menyadari, sebegitu kuat manusia berencana, Tuhan jualah yang menentukan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan benar-benar terjadi.

Bapak sekarang sudah membaik. Masa kritisnya sudah terlewati. Tinggal infeksi sekundernya yang perlu dirawat dan menunggu waktu pemulihan. Kemungkinan besar, Selasa/Rabu, Bapak sudah bisa pulang. Meski kami di sini juga harus menyiapkan oksigen bila terjadi keadaan yang diperlukan.

Sementara itu, aku baik-baik di sini, Sayang. Meski aku sangat merindukan pelukanmu...

Hanya saja, aku sempat kelelahan dua hari ini. Pasalnya, aku sempat tidak tidur. Selalu ada yang ganjil dalam malam-malam tanpa percakapan di antara kita berdua. Sehingga pikiranku tak bisa diendapkan. Mungkin juga pengaruh kopi. Mungkin juga pengaruh "pengenalan" karena baru pertama diajak menginap di rumah kakak setelah diajak berbuka dengan pindang udang dan lais belida. Baru pukul 6 pagi keesokan harinya, aku tertidur selama kurang lebih 1 jam, dan harus ke bolak-balik ke rumah sakit untuk menjenguk Bapak, meski masih hanya dari layar monitor. Bercakap sebentar dengan dokter untuk bertanya segala indikator.

Aku merindukan segala... merindukan percakapan kita yang merambah rimba tema. Semisal Bipang Ambawang yang kini dibicarakan di mana-mana. Aku membaca naskah pidato itu dari perspektif umbi-umbian yang juga kerap mengetik konsep keynote speech dan semacamnya. 

Aku membayangkan nasib pelaksana yang mengetik itu. Aku berani bertaruh, bisa jadi dia juga tidak tahu Bipang Ambawang. Dia hanya mencari rima dari nama-nama jenis makanan, tapi dia harus memilih satu yang berasal dari pulau Kalimantan untuk representasi setelah makanan-makanan Jawa dan Sumatra disebutkan. 

Bandeng Semarang, Siomay Bandung, Pempek Palembang, Bipang Ambawang.... Enak dibaca. Karena itu, dari sisi lain, penjelasan Fadjroel Rachman ada benarnya. Si penulis naskah bisa jadi menganggap Bipang adalah Jipang. Seberapa banyak sih yang tahu, sebelum riuh, Bipang Ambawang adalah babi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun