Kau hamil. Tujuh bulan. Itu kenyataan.
Itu senyum pertama yang kau berikan untukkan. Hari itu juga hari pertama kau membiarkan aku bertemu berdua denganmu. Namun sekaligus menjadi yang terakhir.
Aku pandangi fotomu. Perutmu menggelendung. Aku sempat berharap seseorang hanya sedang meniupmu sampai kembung. Perutmu. Pipimu. Tubuhmu.
“Kau masih mencintainya, Pring?” Aku bertanya pada diriku sendiri di depan cermin.
“Apakah perasaan yang tumbuh dapat hilang?” Pring di dalam cermin itu menjawab.
Sebuah bayangan hadir karena ada cahaya. Aku sebuah benda dengan jarak tertentu dari titik api, sebuah bayangan akan hadir dalam jarak yang lain. Kelengkungan lensa selalu dua kali titik api itu. Perbandingan antara jarak bayangan dengan jarak aku akan menghasilkan nilai pembesaran diri. Di hadapanmu, apakah aku tampak besar—seberapa dekat, seberapa jauh?
Orang pulang karena rindu. Aku pulang karena bidadari yang ada di perutmu.
Kutempuh perjalanan jauh dengan ongkos pesawat yang setara gajiku sebulan, rela, hanya untuk bertemu sekali lagi denganmu. Aku tak dapat terbang karena tak memiliki sayap, tetapi bilapun aku memiliki sayap itu tak dapat menjamin aku dapat terbang.
Ada banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Ada banyak perasaan yang penasaran kenapa kita tiba-tiba berpisah, kenapa sebuah pertemuan yang diihwalkan sejak lampau tidak menjadi jaminan untuk penyatuan.
Kita sama-sama tinggal di Talang Kelapa. Hanya saja satu kecamatan yang sama harus dipisahkan kota. Jalan memutar membuat jarak kita jauh. Aku sesungguhnya masih menyimpan nomor ponselmu. Aku tidak pernah menghapusmu dan kadang-kadang berharap kau akan kembali mengirimkan pesan singkat, meski cuma pertanyaan, “Pring sedang apa?” Pertanyaan itu pula yang sering kujawab dengan, “Sedang memikirkanmu.” Tetapi setelah pertemuan itu kau tak mengirimiku pesan, aku pun segan mengirimimu pesan. Pesan tidak pernah ada lagi di antara komunikator dan komunikan.
Aku langsung datang ke rumahmu. Kuketuk pintu. Kuketuk lagi. Kau yang membukakan. Tapi kau menutupnya lagi. “Kamu kenapa kemari?” Suaramu di balik pintu.