Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fakta tentang Greenland, Pulau Terbesar yang Ingin Dibeli Donald Trump

23 Agustus 2019   01:09 Diperbarui: 23 Agustus 2019   04:58 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
penduduk Kulusuk, sebuah wilayah di Greenland (sumber foto: AFP melalui gulfnews.com)

Seberapa kaya sih Donald Trump dan Amerika Serikat  sampai ingin membeli Greenland, pulau terbesar di dunia yang terletak di kutub utara itu?

Lima hari belakangan ini, topik tentang Greenland, sebuah koloni Denmark menjadi perbincangan panas di Amerika Serikat. Semua berawal dari sebuah artikel yang dimuat Wall Street Journal (16/8).

Dalam artikelnya, WSJ mengutip pernyataan orang dalam Gedung Putih yang tidak disebutkan namanya bahwa Trump menunjukkan minat untuk membeli Greenland. Setelah muncul di meja makan dan diskusi di lorong, ide itu mencapai titik, di mana Trump telah meminta penasihat Gedung Putih untuk memeriksanya kelayakannya, demikian kata sumber Gedung Putih yang dikutip WSJ.

Setelah artikel itu ditayangkan, tidak ada konfirmasi resmi dari pihak Gedung Putih baik untuk menyangkal maupun membenarkan. Namun, pada 19 Agustus tiba-tiba presiden AS Donald Trump mengatakan pada wartawan bahwa ideuntuk membeli Greenland itu menarik.

"Secara strategis, ini menarik. Dan, kami akan tertarik. Kami akan berbicara dengan mereka (pihak Denmark) sedikit."

Melengkapi pernyataannya, Trump kemudian memberi sindiran visual di akun twitternya. Dalam postingannya tersebut, Trump mengunggah gambar gedung bertingkat bertuliskan Trump Tower dengan latar belakang tanah pedesaan Greenland. Di bagian caption-nya, Trump menuliskan, "Saya berjanji tidak akan melakukan ini ke Greenland!"

 

Tentu saja ide Donald Trump untuk membeli Greenland tersebut menyebar dengan cepat. Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen berkata, "Greenland tidak untuk dijual."

 Kebetulan Frederiksen berada di Greenland pada saat ia mendengar ide Trump tersebut, lantas menyebutnya "diskusi yang tidak masuk akal."

"Syukurlah, waktu di mana Anda membeli dan menjual negara dan populasi lain sudah berakhir," kata Frederiksen. "Mari kita tinggalkan di sana. Lelucon, tentu saja kita akan senang memiliki hubungan strategis yang lebih dekat dengan Amerika Serikat."

Tanggapan Perdana Menteri Denmark tersebut kemudian memancing penundaan kunjungan Donald Trump ke Denmark yang semestinya dijadwalkan pada awal September.

"Berdasarkan komentar Perdana Menteri Mette Frederiksen, bahwa dia tidak akan tertarik untuk membahas pembelian Greenland, saya akan menunda pertemuan kami yang dijadwalkan dalam dua minggu untuk waktu lain," kata Trump di akun twitternya.

Banyak pengamat yang mengatakan lontaran ide untuk membeli Greenland hanya akal-akalan Trump saja untuk menolak berkunjung ke Denmark. Tapi, di luar spekulasi ringan tersebut, para pengamat juga menilai ada tujuan tertentu yang lebih khusus dan jauh lebih besar daripada sekedar alasan menunda kunjungan.

Fakta tentang Greenland

Meskipun namanya Greenland, yang secara harfiah artinya Tanah Hijau, pulau di ujung utara bumi ini bukan pulau yang benar-benar hijau. 80% dari seluruh wilayah tertutup es yang di beberapa tempat ketebalannya mencapai 3 kilometer. Kondisi ini menjadikan Greenland sebagai lempeng es abadi selain Antartika.

Greenland secara fisiogeografis merupakan bagian dari kawasan Amerika Utara.  Pada 1814, Denmark berhasil memenangkan perebutan hak penguasaan atas wilayah ini dari Norwegia. Greenland kemudian ditetapkan sebagai wilayah integral negara Denmark melalui keputusan Konstitusi Denmark pada 1953.

Pada tahun 1979, Denmark memberikan hak pemerintahan mandiri kepada Greenland. Tahun 2008, masyarakat Greenland mendukung Undang-Undang Otonomi yang mendorong pemerintah Denmark mendelegasikan kekuasaan ke pemerintah daerah Greenland. Dengan demikian, Greenland menjadi negara otonom dari Kerajaan Denmark.

Berdasarkan struktur baru yang berlaku pada 21 Juni 2009, Greenland memegang kekuasaan atas polisi, sistem peradilan, hukum perusahaan, akuntansi, dan audit; aktivitas sumber daya mineral; penerbangan, hukum kapasitas hukum, hukum keluarga, dan hukum warisan; pemeriksaan imigran dan perbatasan; lingkungan kerja; dan pengawasan dan regulasi keuangan, sedangkan pemerintah Denmark mengatur hubungan luar negeri dan pertahanan Greenland.

Karena itu, bagi orang luar yang hendak berkunjung ke Greenland, mereka memerlukan dua visa: satu visa dari Denmark dan satu visa dari pemerintah Greenland. Bahkan bagi penduduk Denmark sekalipun, mereka memerlukan visa apabila ingin berkunjung ke Greenland.

Menurut sensus 2013, jumlah penduduk Greenland sebanyak 56.480 jiwa dengan mayoritas penduduknya adalah suku Inuit. Sepertiga penduduk Greenland tinggal di Nuuk, ibukota sekaligus kota terbesar. Tidak ada jalur transportasi darat yang menghubungkan kota atau pemukiman. Semua transportasi dijalankan melalui jalur udara (pesawat atau helikopter) dan jalur laut.

Peran Geo-Strategis Greenland bagi kepentingan Amerika dan Cina

Mengingat luas Greenland tiga kali luas negara bagian Texas, ide yang dilontarkan Trump -- meskipun oleh banyak rakyat AS dianggap lelucon -- bukan kebetulan semata. Ada pertanyaan besar di balik ide konyol tersebut: Apa yang dimiliki Greenland sehingga bisa membuat Amerika Serikat ngotot ingin mengakuisisinya?

Banyak pengamat menebak arah dari ide konyol  Trump ini bukan karena luas wilayah Greenland. Melainkan peran geo- strategis daratan bersalju ini dalam percaturan global, terutama antar negara-negara raksasa.

Greenland mungkin hanya memiliki 56.000 penduduk dan sekitar 80% wilayahnya tertutup es. Tetapi Amerika Serikat melihatnya sebagai tempat untuk menggagalkan kepentingan Cina dan Rusia. Beberapa tahun yang lalu, Greenland mengumumkan rencana untuk membangun bandara baru dan memperluas dua bandara lainnya. Pemerintah China langsung tanggap dengan menawarkan bantuan pembiayaan infrastruktur.

Langkah cepat Cina ini jelas memicu kekhawatiran Amerika Serikat. Tak urung Menteri Pertahanan James Mattis secara pribadi turun tangan untuk menggagalkan proyeksi pinjaman modal dari Cina tersebut.

Menurut kajian Polar Research and Policy Initiative (PRPI), sebuah grup penelitian swasta yang berbasis di Inggris, tawaran Cina itu patut dicurigai.

"Ketika seorang kontraktor milik negara Cina terpilih untuk proyek bandara, itu memicu kecemasan baik di Denmark maupun di Amerika Serikat, yang mengarah ke Denmark yang ikut membiayai sebagian dan ikut memiliki proyek-proyek itu," kata Dwayne Ryan Menezes , direktur pelaksana PRPI.

Menezes juga mengingatkan bahwa Greenland memiliki posisi yang sangat strategis bagi Cina. Saat es laut Kutub Utara mencair, posisi Greenland menjadi terletak di sepanjang atau dekat dengan dua rute pelayaran yang muncul, yakni Bagian Barat Laut dan Bagian Timur Laut. Menurut Menezes, rute yang kedua dapat memotong jarak hampir seperempat dari jarak yang harus ditempuh oleh kapal barang dari Shanghai ke Rotterdam.

Dalam pertemuan Dewan Arktik (sebuah badan antar pemerintah AS yang mengurusi segala sesuatu yang terjadi di Kutub Utara) pada Mei 2019, Sekretaris Negara AS Mike Pompeo memperingatkan kehadiran Cina dan kebutuhan untuk mengontrol jalur pelayaran.

"Apakah kita ingin Samudra Arktik berubah menjadi Laut Cina Selatan yang baru, penuh dengan militerisasi dan klaim teritorial yang bersaing?" Kata Pompeo.

Dalam pidato yang sama, Pompeo juga mengatakan, "Rusia sudah meninggalkan jejak salju dalam bentuk sepatu bot tentara" di wilayah tersebut.

Di luar peran geo-strategisnya, Arktik diyakini kaya akan gas dan minyak, dan Greenland memiliki cadangan mineral yang besar.

"Karena Cina berupaya untuk mengatasi penurunan cadangan mineral yang langka bagi mereka, Greenland sendiri sudah cukup untuk memenuhi setidaknya seperempat dari permintaan global di masa depan," kata Menezes.

Ide Trump untuk membeli Greenland dari Denmark sebenarnya bukan hal yang baru. Pada 1946, presiden AS Harry Truman mencoba untuk mengeksplorasi kemungkinan membeli Greenland. Truman memberi penawaran pada Denmark sebesar US$100 juta untuk melepas Greenland yang tentu saja ditolak.

Sebelum hendak membeli Greenland, pemerintah AS sebelumnya sukses membeli Virgin Island dari Denmark dengan harga US$25 juta. Pembelian Virgin Island ini merupakan pembelian teritori terakhir yang dilakukan Amerika Serikat untuk memperbanyak jumlah wilayah koloninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun