Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sebagai Orangtua, Saya Mendukung "Ulah" KPI dengan Catatan

14 Agustus 2019   09:42 Diperbarui: 14 Agustus 2019   17:28 5806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (dokumentasi Himam Miladi)

"Mbak, pinjam hape-nya sebentar."

"Sebentar, Pak," kata putri saya. Dari jauh saya lihat dia mengutak-atik smartphone-nya. Saya tahu dia menyembunyikan beberapa percakapan Whatsapp dengan temannya, atau menghapus history penjelajahan internetnya.

Tapi saya tak kurang akal. Di smartphone-nya, saya menanam akun Google milik saya sebagai akun utama. Dengan begitu, apapun yang dibuka putri saya melalui browser bisa saya ketahui. Seperti ini cara saya mengawasi penggunaan smartphone oleh anak-anak.

Setelah saya utak-atik sebentar, saya lihat di smartphone-nya itu putri saya mengakses situs-situs layanan streaming video. Saya buka history akun YouTube, kebanyakan yang dia tonton video K-Pop dari grup band macam WannaOne, Big Bang dan semacamnya.

Terlihat pula di browser dia pernah mengakses aplikasi Naver, web portal dari Korea yang bisa berfungsi sebagai mesin pencari. Tak ketinggalan ada Webtoon, layanan komik online. Sedangkan di aplikasi Spotify, banyak history musik-musik Korea juga. Saya lalu bertanya,

"Streaming apa saja, Mbak?"

"Cuma lagu aja kok, Pak. Tadi hapenya dipinjam sama teman buat dengerin lagu," elaknya.

Saya memang terbiasa mengecek smartphone yang digunakan putri saya itu sewaktu-waktu. Sebagai orangtua di era digital, terus terang saya lebih mengkhawatirkan dampak konten digital daripada tayangan televisi.

Hari gini anak-anak mana yang masih suka nonton televisi? Bahkan untuk anak seumuran 6-8 tahun, saluran RTV yang banyak menayangkan film-film khusus anak juga tidak diminati. Keponakan saya yang masih sekolah TK saja lebih suka memelototi layar smartphone orangtuanya daripada nongkrong di depan layar kotak ajaib, meski saat itu ada aksi Paw Patrol.

Karena itu, saya mendukung wacana dari Kominfo serta Komisi Penyiaran Indonesia yang akan mengawasi konten digital. Bagi saya, konten digital lebih memiliki dampak dan pengaruh pada anak-anak daripada tayangan televisi.

infografis statistik YouTube (dokumentasi Himam Miladi)
infografis statistik YouTube (dokumentasi Himam Miladi)

Dari mana anak-anak mengenal lagu Despacito yang liriknya kalau diterjemahkan bernuansa erotis? Dari mana anak-anak mengenal slogan "Ahsiyaap" yang dipopulerkan Atta Halilintar? Dari mana anak-anak mendengar lagu "On My Way" atau "Lily"? Bukan dari perangkat kotak ajaib yang berdiam diri di meja ruang keluarga. Melainkan dari perangkat mobile yang bisa mereka pegang di mana saja dan kapan saja.

Televisi itu sekarang sudah jadi barang tua. Di rumah, cuma Ibu saya saja yang masih setia menontonnya. Sementara anak-anak, kalau tidak bermain gim online, mereka lebih sering menghabiskan waktunya menonton YouTube, atau layanan streaming video lainnya.

YouTube sendiri, sejak diluncurkan pada 2005 telah lama menjadi bagian integral dari lanskap internet. Akibatnya, kaum milenial dan remaja melihatnya sebagai bagian dari pengalaman sosial sehari-hari mereka. Mereka menonton video, berbagi video, dan terlibat dengan konten dengan cara yang tidak pernah bisa mereka lakukan ketika menonton televisi.

Di YouTube, anak-anak bisa mendapatkan direktori video yang luas yang dapat mereka pilih sesuka hati. Mereka bisa menemukan acara khusus yang tidak akan pernah ditayangkan di saluran televisi standar. 

Mereka juga menemukan sesuatu yang baru untuk ditonton setiap hari dalam seminggu. Setiap pengguna, dari anak-anak hingga orang dewasa dengan bebasnya memiliki akses ke database konten yang diterbitkan dan dibuat pengguna lain yang tidak pernah berakhir.

Ketika KPI "berulah" dengan wacana ingin mengawasi konten digital macam YouTube, Netflix hingga Facebook, banyak yang mengkritik dan menyindir. Lha wong mengawasi televisi saja masih kedodoran kok malah menambah PR dengan menyensor konten digital.

Tapi menurut saya, wacana KPI yang didukung Kominfo itu patut dihargai. Sebagai orangtua jaman digital, dampak televisi lebih mudah dieliminir daripada konten digital.

Tak suka dengan tayangan televisi? Kita bisa mengganti saluran atau mematikannya sekalian. Sekarang pertimbangkan bagaimana bila kita tak suka atau tidak berkenan dengan konten digital yang bisa dengan mudahnya diakses anak-anak. 

Bisakah kita mengganti salurannya? Kecuali kita benar-benar membatasi akses anak-anak ke perangkat digital, yang mana hal ini juga hampir mustahil bisa dilakukan.

Meski begitu, wacana pengawasan konten digital oleh KPI ini harus disertai catatan khusus. Jangan sampai pengawasan ini menghalangi hak kebebasan berpendapat dan hak kebebasan kreativitas anak bangsa. 

Mau tidak mau, suka atau tidak suka, berbagai macam platform digital seperti YouTube atau media sosial lainnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses kreativitas setiap pengguna internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun