Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bingkisan Lebaran untuk Adik-adik An-Nisa

23 Mei 2019   02:26 Diperbarui: 23 Mei 2019   02:58 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: blogteraktual.com)

Aku benar-benar tak habis pikir dengan kelakuaan Lina. Makanan baru disajikan, baru masuk dua suap ke mulut dia sudah mengajak pergi.

"Keburu amat sih Lin, kita kan baru makan, belum habis semua nih," kataku sambil memandang sayang hamparan makanan yang baru saja dihidangkan. Namun Lina tetap menggeret tanganku keluar dari restoran.

"Udah biarin, nanti kita bisa beli lagi. Udah adzan Isya, katanya mau Tarawih di Masjid Raya kan?" jawab Lina dengan langkah tergesa menuju kasir.

Aku geleng-geleng kepala sambil menghela napas panjang. Pusing melihat kelakuan Lina yang telah berulang kali seperti ini.

"Yah.. terserahlah!

Pulang ke rumah, aku termenung memikirkan sikap Lina yang kuanggap sangat boros. Beli makanan mahal cuma diincipin sesuap. Beli baju mahal cuma dipakai sekali. Seperti ketika hari ini Lina memintaku menemaninya ke Mall.

"ini mau dibeli semua Lin?"

Aku mengernyit memandang 10 potong baju yang harganya rata-rata di atas dua ratus ribu di keranjang belanja. Pantesan walaupun kelihatan sederhana, tapi baju-baju yang dipake Lina memang kelihatan bersih dan kayak baru semua, ternyata memang baru beneran.

"ya iyalah mau dibeli! Masak mau aku ambil, itu mencuri namanya, dosa!"

"Tapi kan baru minggu kemarin kamu beli 7 baju baru....Ini juga, apalagi hampir semuanya kayak kekecilan. Coba dulu gih! jangan-jangan nggak muat"

Lina berhenti mencomot dan memandangku dengan tatapan yang tak nyaman. Aku jadi salah tingkah.

"Maksud kamu badanku gembrot jadi nggak muat pake baju itu, gitu?"

"Nah lo! Sekarang giliran kamu yang sensi," kataku tertawa. Lina memang paling sensitif kalau ada yang menyinggung masalah badan.  

 "Tuh kan! Malah ketawa!"

"Lho, habisnya kamu aneh banget. Bajunya yang kecil kok malah ngerasa badan kamu yang gede!" kataku masih tetap tertawa. 

Lina tak menghiraukan tawaku. Kini, dirinya malah tampak asyik melihat-lihat koleksi jilbab. 

 "Ra, kalo ini bagus gak?" tanya Lina.

Aku melihat Lina sedang memegang jilbab krem lalu membentangkannya dihadapanku.

"Bagus sih, emang kamu mau...."

Belum sempat aku bertanya, Lina sudah menyahut.

"Kalau menurutmu bagus, ya udah. Minta tolong sekalian bawakan 10 biji ya, yang sewarna," kata Lina begitu saja sambil ngeloyor menuju meja kasir. Aku hanya bisa bengong memandang kepergiannya.

Ya, itulah Lina, temanku yang paling tajir. Jangan tanya berapa uang saku bulanannya. Sekali waktu dia pernah mengajakku beli pulsa untuk paket internet, dan tahu nggak berapa pulsa yang dia beli? Sama dengan uang makanku selama satu bulan.

Tapi, yang aku suka dari Lina adalah dia tidak pilih-pilih teman. Asal cocok, dia bisa bergaul dengan siapa saja, tidak memandang status ekonomi, apalagi SARA.

***

Dering telpon membangunkanku di siang hari yang terik. Cuaca panas di bulan puasa gini memang bikin orang malas beraktivitas. Di kamar kost, aku hanya luntang-luntung tidak karuan. Mau membaca saja juga malas. Akhirnya banyak waktu terbuang untuk tidur-tiduran di kamar.

Dari Lina. Kuangkat telpon dan suara Lina yang khas langsung terdengar.

"Rara, kamu lagi ngapain?"

"Nggak ngapa-ngapin, mager aja di kamar kost."

"Ikut aku ya?"

"Emang mau kemana Lin? Ogah ah kalo kamu ngajak ke Mall lagi" tanyaku penasaran dan masih trauma dengan peristiwa belanja Lina kemarin.

"Nggak, nggak ke Mall kok. Udah deh, entar kamu tahu sendiri. Ya udah, aku langsung jemput kamu ya?"

Dengan malas-malasan, aku ke kamar mandi untuk wudhu dan berganti pakaian. 15 menit kemudian, aku sudah berada di dalam mobil Lina yang sejuk.

"Mau kemana sih Lin siang-siang gini?" tanyaku memancing.

"Ke panti asuhan, Ra".

Aku jadi bingung dengan jawaban Lina. Tapi aku hanya diam saja memendam rasa ingin tahuku.

Tak lama kemudian, kami sudah tiba di sebuah rumah luas yang terletak di pinggiran kota. Di dekat pagar, tertancap papan besar bertuliskan "Panti Asuhan Khusus Putri An Nisa".

"Ra, tolong bantu bawakan sisa bingkisan ini ya," kata Lina sewaktu membuka bagasi mobil. Kedua tangannya sudah penuh menjinjing beberapa tas. Aku mengangguk dan membawa sisa tas bingkisan yang ada.

Di ruang tamu, setelah mengucap salam aku dan Lina disambut oleh seorang ibu setengah baya. Setelah berkenalan denganku dan berbasa-basi sejenak, ibu Aisyah, pengurus panti asuhan itu minta ijin untuk memanggil anak-anak asuhnya.

"Sebentar ya Mbak, saya panggil anak-anak kesini."

Tak lama kemudian, serombongan remaja putri memasuki ruangan. Mungkin ada sekitar 15 orang. Usia mereka hampir sebaya. Kulihat yang paling kecil mungkin sudah berumur 9 tahun, dan yang besar sekitar 12 tahun.

Satu persatu anak-anak itu bersalaman dengan kami. Beberapa diantaranya terlihat sudak akrab dengan Lina.

Setelah duduk berhimpitan di kursi-kursi yang ada, mereka terdiam dan memandang ke arah kami. Aku jadi sedikit kikuk dan gugup mendapat perhatian seperti itu.

"Adik-adik, kenalin, ini Kak Rara, teman kak Lina. Dia pandai muroja'ah loh. Tilawahnya baguus sekali. Kadang kak Lina sampai menangis kalau mendengar kak Rara sedang mengaji. Kalau adik-adik mau belajar, nanti bisa langsung ngobrol dengan kak Rara ya."

Aku melongo. Tak kira-kira Lina memperkenalkanku dengan menyanjungku seperti itu. Wajahku terasa memerah. Tanganku langsung menyenggol lengan Lina, memberi tanda supaya berhenti menyanjungku di depan anak-anak remaja ini.

Tanpa menghiraukan teguranku, Lina kemudian mengambil tas-tas bingkisan.

"Ini kakak berdua ada sedikit bingkisan buat lebaran adik-adik disini. Semoga bermanfaat ya. Maaf, cuma ini yang bisa kakak berikan buat adik-adik," kata Lina sambil menyerahkan tas bingkisan ke masing-masing anak.

Suasana ruang tamu langsung sedikit riuh dan terasa sekali terpancar kegembiraan di wajah mereka. Satu dua anak mulai membuka tas bingkisannya. Kulihat ada satu busana muslim, lengkap dengan jilbabnya. Yang membuatku heran, busana muslim dan jilbab itu sama persis model dan warnanya dengan yang dibeli Lina beberapa hari yang lalu. Dan yang aku tahu pula, harganya  mahal.

Setelah membagikan habis bingkisan yang dibawa, Lina dan aku duduk, mengawasi para remaja putri panti asuhan larut dalam kegembiraan mereka. Aku lantas berbisik dan bertanya, "Eh Lin, yang kamu jadikan bingkisan itu bukannya baju-baju dan jilbab yang baru kamu beli kemarin itu ya?"

"Emang iya, kenapa Ra?" Lina balik bertanya.

"Nggak. Cuma harganya kan mahal Lin," tanyaku masih penasaran.

"Memangnya kenapa kalau mahal Ra? Bukankah kita diajarkan, kalau memberi sedekah itu, berilah apa yang kita cintai. Nah, aku senang tuh dengan model busana dan jilbab itu. Makanya, kalau mau ngasih sumbangan baju, aku selalu beli yang lebih mahal dan lebih layak pakai daripada yang biasa aku beli buatku sendiri."

Aku terdiam. Dalam hati, aku cuma bisa berkata, "Masyaallah, semoga berkah dengan apa yang sudah kamu lakukan hari ini Lin."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun