Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Prihatin Budaya Literasi Rendah, Tapi yang Dicontohkan Malah Budaya Nge-Vlog

13 Februari 2019   23:09 Diperbarui: 14 Februari 2019   13:40 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi (unsplash.com/@truss)

Cuma dengan mengunggah video sudah bisa mendapatkan penghasilan tetap sampai puluhan juta rupiah setiap bulan. Siapa yang tidak tertarik dan tergoda?

Tanpa perlu menyebut nama, penghasilan yang bisa didapatkan deretan Vlogger dan YouTuber sukses bisa membuat siapapun menelan ludah, ngiler dan tak tahan untuk bermimpi bisa mengikuti jejak mereka. Sementara banyak orang harus membanting tulang bekerja siang malam, para Vlogger dan YouTuber itu bisa mendulang jutaan rupiah setiap bulannya dari hasil mengunggah video.

Karena itu, tak heran apabila banyak anak-anak muda yang bermimpi dan terobsesi untuk bisa menjadi Vlogger dan YouTuber. Sebagian mungkin menjadikannya profesi sampingan. Tapi tak sedikit pula yang menekuninya sebagai profesi penuh.

Kondisi ini harus dimaklumi, mengingat generasi muda sekarang ini adalah generasi penonton. Supaya lebih meyakinkan bagaimana gambaran tentang "Generasi Penonton" ini, mari kita cermati data dari Hootsuite/WeAreSocial dan Google berikut ini:

Hingga Januari 2018, dari total populasi penduduk di Indonesia, ada 132 juta pengguna internet aktif. Dari jumlah pengguna internet aktif, 130 juta memiliki akun/aktif di media sosial, dengan 120 juta diantaranya menggunakan perangkat mobile untuk aktivitas media sosial.

Sementara itu, platform media sosial yang paling banyak digunakan adalah YouTube (43%), sedangkan aplikasi perpesanan yang paling banyak digunakan adalah Whatsapp (40%). YouTube memang dimasukkan kategori media sosial yang mana antar penggunanya bisa berbagi video. Jadi salah besar jika ada yang menganggap YouTube itu layanan streaming video seperti halnya Amazon Video.

diolah dari Digital In 2018 In Southeast Asia (Hootsuite/wearesocial)
diolah dari Digital In 2018 In Southeast Asia (Hootsuite/wearesocial)
Kita lihat juga seberapa sering pengguna internet menonton video online di semua perangkat digital yang mereka miliki.

diolah dari Digital In 2018 In Southeast Asia (Hootsuite/wearesocial)
diolah dari Digital In 2018 In Southeast Asia (Hootsuite/wearesocial)
Adakah kita termasuk diantara 20% yang tidak pernah menonton video online? Kecuali mereka yang tinggal di pelosok, puncak gunung, pulau terpencil, pokoknya daerah yang sinyal internetnya susah dan lemot, serta mereka yang usianya sudah tua, saya yakin kita pernah menonton video online.

Dari data-data diatas, patut kiranya jika pengguna internet di Indonesia dianggap konsumtif dalam hal menggunakan internet, termasuk diantaranya konsumtif dalam menonton video online. Karena itu pula, tak perlu heran jika konten-konten digital berupa video membanjiri perangkat digital yang kita miliki.

Sementara itu, mengutip data dari internal Google, ada 63 juta pengguna aktif internet setiap bulan yang menghasilkan 15 milyar video di YouTube Indonesia dan dilihat setiap bulannya. Sedangkan pertumbuhan jumlah video yang dilihat meningkat sebanyak 4x dari tahun lalu (2017) dan Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan no 1 dalam hal mengunggah konten video karena semakin banyak YouTuber Indonesia yang membuat konten.

Menilik data dari Google tersebut, kita bisa membayangkan bagaimana setiap orang Indonesia yang menggunakan internet seolah berlomba-lomba untuk membuat konten video. Dan perlombaan ini bukan karena sedang mengikuti tren.

Semenjak diakuisisi oleh Google pada 2008, YouTube dilengkapi dengan fitur monetasi penayang iklan (Adsense). Inilah yang menjadi faktor utama dari kian meningkatnya unggahan konten video di YouTube. Iming-iming imbalan penghasilan yang bisa didapatkan dari iklan YouTube. Semakin banyak yang melihat videonya, semakin banyak pula pundi-pundi rupiah yang bisa mereka dapat.

Fitur monetasi dari Google inilah yang memicu perubahan besar dari budaya membaca dan menulis. Dulu, banyak orang (termasuk saya) berlomba-lomba menulis dan membuat blog supaya bisa dimonetasi dan memberi penghasilan tambahan. Tapi sejak hadirnya YouTube yang bisa dimonetasi juga, banyak blogger yang mulai meninggalkan blognya. 

Apalagi setelah ada fitur penangkal iklan (Ad Block) yang bisa dipasang di beberapa peramban (browser). Iklan dari Google yang dipasang di blog menjadi tidak terlihat. Otomatis, penghasilan dari Adsense semakin berkurang.

Banyak blogger yang kemudian beralih menjadi Vlogger. Selain iming-iming Adsense, menjadi Vlogger juga dianggap lebih mudah. Tak perlu pusing memikirkan ide tulisan, tak perlu ribet meriset kata-kata kunci dan memikirkan SEO. Hanya dengan berbekal smartphone dan merekam aktivitas sehari-hari atau apapun yang sekiranya bisa menarik untuk ditonton, lalu mengunggahnya di YouTube, mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan.

Fenomena Vlogging ini bisa menjadi paradoks tersendiri bagi kita di Indonesia. Selama ini, kita (penggiat dan penghobi menulis) selalu mengeluh tentang fakta betapa rendahnya budaya literasi masyarakat Indonesia. Kita merasa prihatin dengan kondisi generasi muda yang enggan membaca.

Memang, pemerintah sudah mulai peduli dengan fakta rendahnya minat membaca pada generasi muda. Kampanye budaya literasi (membaca) kian digencarkan. Murid-murid sekolah diwajibkan membaca buku sebelum jam pelajaran dimulai. Tapi, seiring dengan hal ini, budaya Vlogging juga tak ketinggalan dicontohkan.

Vlogging, dianggap sebagai salah satu bentuk dari literasi digital. Menurut Paul Gilster dalam bukunya Digital Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti digital. 

Bawden (2001) menawarkan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980-an, ketika komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak saja di lingkungan bisnis, tetapi juga di masyarakat.

Namun, literasi informasi baru menyebar luas pada dekade 1990-an manakala informasi semakin mudah disusun, diakses, disebarluaskan melalui teknologi informasi berjejaring. Dengan demikian, mengacu pada pendapat Bawden, literasi digital lebih banyak dikaitkan dengan keterampilan teknis mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi melalui perangkat digital.

Memang, tak ada yang bisa mengklaim bahwa kata-kata yang tertulis itu satu-satunya medium pengalaman literasi. Foto dan video juga bisa berfungsi sebagai bahan literasi, terutama di era digital.

Sampai disini, saya tak hendak meng-kambing hitamkan aktivitas Vlogging (dan YouTube sebagai platformnya) sebagai salah satu faktor menurunnya minat baca dan rendahnya budaya literasi di kalangan anak-anak muda. Yang menjadi paradoks dari fenomena Vlogging dengan rendahnya budaya literasi adalah konten dari Vlogger dan YouTuber yang sebagian besar tidak mengandung informasi (apalagi edukasi) apapun kecuali hal-hal remeh seputar gaya hidup dan aktivitas harian pribadi.

Menjadi ironis ketika media mainstream malah turut membesarkan konten-konten vlog yang "unfaedah" ini. Karena itu, dalam hal rendahnya budaya literasi di kalangan anak-anak muda, mereka tidak bisa begitu saja disalahkan. Mereka memang sudah menjadi generasi penonton, tapi ini adalah bagian dari "takdir" seiring hadirnya perkembangan teknologi yang tak bisa dihindari.

Bagaimana supaya generasi penonton ini juga memiliki budaya literasi (digital) yang tinggi, maka ubahlah budaya vlogging itu. Bukan dengan mengurangi atau menghambat, tapi ubahlah konten-konten video yang ditayangkan dan dibagikan. Karena generasi muda sekarang lebih suka menonton, maka ciptakanlah konten-konten video yang informatif dan edukatif. Blow up lah konten kreator, Vlogger dan YouTuber yang playlist kanalnya bermanfaat dan mendidik.

Google dan YouTube memang tidak bisa memfilter apalagi menghalangi konten-konten video yang diunggah penggunanya. Selama konten itu tidak menyalahi term of service dari platform. Dengan iklan sebagai sumber pendapatan utama, Google dan YouTube malah mendorong siapapun juga untuk bisa membuat konten, dan siapapun juga untuk bisa melihatnya di platform mereka. Semakin viral konten yang diunggah, semakin banyak yang melihat videonya, Google dan YouTube juga semakin banyak memberi apresiasi.

Tapi sepengalaman saya saat mengikuti pelatihan sebagai fasilitator, Google selalu menekankan pada pengguna untuk mengunggah konten-konten yang bermanfaat bagi penonton. Konten-konten yang mengedukasi, memberi informasi dan menghibur secara positif.

Tak ada yang salah dengan aktivitas nge-vlog. Tak ada yang salah pula dengan impian untuk menjadi YouTuber sukses dan mendapat penghasilan besar dari konten video yang dibagikan. Namun setidaknya, jadilah Vlogger dan YouTuber yang bermanfaat dan menginspirasi penontonnya.

Catatan:

Ada kesalahan pencantuman infografis saat artikel ini ditayangkan, sekarang sudah disunting. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun