Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memang Benar Kata Prabowo, 55 Persen Rakyat Indonesia Buta Huruf Fungsional

26 November 2018   06:06 Diperbarui: 27 November 2018   08:10 2345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kompas.com/rakhmat nur hakim

Calon presiden Prabowo Subianto mengklaim bahwa 55% rakyat Indonesia buta huruf fungsional. 

"Di World Bank, 55 persen Indonesia functionally illiterate (kemampuan terbatas dalam membaca). Saya sedih," kata Prabowo di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (21/11/2018).

Pernyataan Prabowo tersebut kontan menjadi bahan pembicaraan. Banyak yang meragukan kevalidan data yang disajikan Prabowo. Bahkan sebagian menuduh Prabowo kembali menebar hoaks.

Apalagi didukung oleh pemberitaan media-media nasional yang mengutip pidato Prabowo tersebut dengan bias yang partisan. Media nasional membuat berita pernyataan Prabowo itu dengan judul "buta huruf", tanpa ada tambahan kata "fungsional" di belakangnya.

Memang benar kata Prabowo, bahwa separuh lebih dari rakyat Indonesia buta huruf fungsional. Mereka tidak bisa membedakan arti "buta huruf" dan "buta huruf fungsional".

Ini adalah dua frasa yang berbeda, meski memiliki arti yang berdekatan.

Perbedaan antara orang-orang yang melek huruf (terpelajar) dan buta huruf (literacy and iliteracy) secara eksplisit adalah: buta huruf tidak pernah bersekolah dan tidak dapat membaca atau menulis bahkan kata-kata tunggal sementara orang yang melek huruf (terpelajar) dapat melakukannya (Reis and Castro-Caldas, 1997).

Berbeda dengan literasi dan buta huruf, perbedaan antara buta huruf fungsional, melek huruf dan buta huruf tidak cukup jelas. Fungsionalitas, yang merupakan esensi dari perbedaan antara istilah-istilah ini, tidak pernah didefinisikan secara operasional.

Karena itu, dibutuhkan standar dan definisi yang bisa diterapkan untuk membedakan antara terpelajar dan non-terpelajar (buta huruf) dan juga untuk membedakan berbagai tingkat di antaranya. Hasil dari permintaan itu direalisasikan pada Konferensi Umum UNESCO pada tahun 1978:

 "Seseorang dikatakan melek huruf (literate) apabila bisa membaca dan menulis pernyataan singkat tentang kehidupan sehari-harinya.

Seseorang dikatakan buta huruf (iliterate) apabila tidak bisa memahami baik membaca dan menulis pernyataan singkat sederhana dalam kehidupan sehari-hari.

Seseorang dikatakan melek fungsional (functionally literate) apabila dapat terlibat dalam semua kegiatan di mana keaksaraan diperlukan untuk berfungsi efektif dari kelompok dan komunitasnya dan juga untuk memungkinkan dia untuk terus menggunakan membaca, menulis, dan menghitung untuk dirinya sendiri dan pengembangan komunitas.

Seseorang dikatakan buta huruf fungsional (functionally iliterate) apabila tidak dapat terlibat dalam semua kegiatan di mana keaksaraan diperlukan untuk berfungsi efektif dari kelompok dan komunitasnya dan juga untuk memungkinkan dia untuk terus menggunakan membaca, menulis, dan perhitungan untuk dirinya sendiri dan pengembangan masyarakat (UNESCO, 1978, p.183)."

Jadi, ada perbedaan mendasar antara buta huruf dan buta huruf fungsional, yang terletak pada fungsionalitas pemahaman seseorang terhadap apa yang dia baca dan dia tuliskan.

Terkait pidato dan klaim Prabowo tersebut, hampir semua media salah tangkap dengan apa yang dimaksudkan Prabowo sebagai buta huruf fungsional. Media detik misalnya, mereka merubah judul berita dari semula "buta huruf" saja kemudian ditambahkan menjadi "buta huruf fungsional". Dengan alasan agar sesuai dengan kutipan asli tanpa diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.

Media katadata malah tambah salah. Dalam artikelnya dituliskan, sumber berita yang disampaikan Prabowo benar mengutip dari Bank Dunia, namun angka tersebut bias karena tidak sesuai konteksnya.

Konteks yang dimaksud Katadata adalah data BPS tentang persentase penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang buta huruf 4,5%, yang berarti 95,5% penduduk usia tersebut melek huruf. Dari sini terlihat bahwa Katadata tidak bisa membedakan buta huruf pada data BPS dengan buta huruf fungsional pada data Bank Dunia yang dikutip oleh Prabowo.

Hanya media Tirto.id yang terlihat netral dan benar. Mereka menerbitkan artikel yang menelusuri sumber data dari Prabowo.

Dalam pidatonya di acara Indonesia Economic Forum tersebut, Prabowo menampilkan slide yang berisi sumber data dari apa yang diklaimnya tersebut.

slide presentasi Prabowo (sumber: Tirto.id dari Dhani Wirianata)
slide presentasi Prabowo (sumber: Tirto.id dari Dhani Wirianata)
Pada slide presentasi yang ditampilkan, ada catatan kaki tentang sumber data, yakni Indonesia Economic Quarterly, June 2018 dari World Bank. Dari penelusuran, didapatkan file asli dari laman World Bank berjudul Indonesia Economic Quarterly 2018: Learning More, Growing Faster. (PDF)

Di halaman 28 dari dokumen berbahasa Inggris ini didapatkan tabel indikator yang dikutip oleh Prabowo. Disana tertulis 

According to international tests, more than 55 percent of Indonesians who finish their education are functionally illiterate, a much larger share than registered in Vietnam (14 percent) and the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) countries (20 percent). Indonesians who are functionally illiterate tend to end up in low-productivity sectors.

Menurut tes internasional, lebih dari 55 persen orang Indonesia yang menyelesaikan pendidikan mereka mengalami buta huruf fungsional. Jauh lebih besar daripada yang terdaftar di Vietnam (14 persen) dan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) (20 persen).Orang Indonesia yang buta huruf secara fungsional cenderung berujung pada sektor rendahnya produktivitas.

Di bagian bawah tabel ada catatan tambahan yang menyatakan sumber data tabel itu berdasarkan data dari PISA (The Programme for International Student Assessment) 2015 (OECD, 2016). Dengan keterangan tambahan yang menyebutkan siswa dengan tingkat prestasi di bawah 2 dalam skala prestasi PISA dianggap buta huruf secara fungsional.

screenshot laporan World Bank (dokumentasi pribadi)
screenshot laporan World Bank (dokumentasi pribadi)
Sementara dalam catatan kaki merujuk pada frasa Functionally Iliterate Bank Dunia menjelaskan arti dari Functionally Iliterate, yakni: Tidak dilengkapi dengan keterampilan yang diperlukan untuk masuk dengan sukses ke pasar tenaga kerja. Siswa yang menerima skor PISA tingkat 1 dipertimbangkan secara fungsional buta huruf karena mereka dapat, misalnya, membaca teks tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan itu.

Selain informasi dari laporan Bank Indonesia tersebut, informasi serupa juga bisa didapatkan dari status di akun twitter Bank Dunia Indonesia pada 5 Juni 2018 yang berbunyi,

"Di bidang pendidikan, Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam kuantitas. Tapi masih banyak kekurangan dalam mutu. Sekitar 55% penduduk Indonesia kemampuan membacanya masih terbatas - bisa membaca tapi mungkin sulit mengerti apa yg dibaca" ~Frederico #IEQBankDunia".

Jadi, apa yang disampaikan Prabowo Subianto dalam pidatonya di acara Indonesia Economic Forum tersebut benar adanya. Didukung dengan data-data yang valid dari sumber yang kredibel. Bahwa 55% rakyat Indonesia buta huruf fungsional, ini adalah fakta yang tak terelakkan. Buktinya, membedakan buta huruf dengan buta huruf fungsional saja tidak bisa. 

Pidato Prabowo malah dibelokkan menjadi sesuatu yang keluar dari konteks aslinya. Tak heran dengan kondisi seperti ini masyarakat kita mudah sekali termakan oleh berita-berita hoaks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun