Menakar Arah Demokrasi: Sistem Politik, Lembaga Negara, dan Tantangan Kewarganegaraan di Indonesia
Oleh: [Agung Prayuda]
Pendahuluan
Indonesia, sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia, telah melalui berbagai fase transisi politik sejak era reformasi 1998. Sistem politik pemerintahan, lembaga-lembaga negara yang menopang struktur kenegaraan, serta konsep kewarganegaraan yang inklusif merupakan tiga pilar utama dalam pembangunan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, ketiga pilar tersebut masih menghadapi berbagai tantangan fundamental yang menghambat konsolidasi demokrasi dan keadilan sosial.
Sistem Politik Pemerintahan: Antara Demokrasi dan Oligarki
Secara konstitusional, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial dengan prinsip demokrasi perwakilan. Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat. Di atas kertas, sistem ini memberikan legitimasi kuat kepada pemimpin eksekutif dan memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan yang stabil. Namun, dalam praktiknya, sistem ini tidak sepenuhnya steril dari penetrasi kekuasaan oligarki.
Partai politik yang seharusnya menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah justru kerap kali menjadi instrumen elite untuk mempertahankan kekuasaan. Rekrutmen politik yang tertutup, minimnya kaderisasi yang berbasis meritokrasi, serta mahalnya biaya politik membuat politik transaksional marak terjadi. Akibatnya, orientasi kebijakan sering kali tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak, melainkan pada kelompok-kelompok berkepentingan sempit.
Contoh nyata dapat dilihat dalam berbagai revisi undang-undang yang dilakukan secara tergesa-gesa, tanpa partisipasi publik yang bermakna. UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK menjadi bukti bahwa proses legislasi kerap lebih mencerminkan kepentingan kekuasaan dibandingkan aspirasi masyarakat luas. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan mundurnya kualitas demokrasi menuju bentuk demokrasi prosedural belaka.
Lembaga Negara: Antara Sinergi dan Disfungsi
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki struktur kelembagaan yang dirancang untuk saling mengawasi dan menyeimbangkan (checks and balances). Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kewenangan yang jelas di dalam konstitusi. Selain itu, terdapat pula lembaga negara independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komnas HAM, dan Ombudsman, yang berfungsi sebagai pengawas dan pelindung hak-hak warga negara.
Namun, dalam praktiknya, relasi antar lembaga negara tidak selalu harmonis dan fungsional. Dominasi lembaga eksekutif atas legislatif terlihat dari kuatnya pengaruh presiden dan koalisinya dalam pengambilan keputusan di parlemen. Legislatif kerap kehilangan fungsi kontrolnya terhadap eksekutif karena mayoritas anggotanya berasal dari partai penguasa. Di sisi lain, lembaga yudikatif, khususnya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, juga tidak luput dari kritik terkait independensi dan integritas.
Kasus suap yang menjerat hakim MK pada 2023 memperkuat keraguan publik terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir keadilan. Hal ini menunjukkan pentingnya pembenahan mendasar dalam sistem rekrutmen, pengawasan internal, serta transparansi lembaga peradilan. Tanpa kepercayaan publik terhadap lembaga yudikatif, supremasi hukum hanya akan menjadi slogan kosong.
Kewarganegaraan: Tantangan Inklusivitas dan Partisipasi
Kewarganegaraan bukan sekadar status hukum, melainkan juga identitas politik yang membawa hak dan tanggung jawab. Dalam sistem demokrasi, warga negara bukan hanya objek kebijakan, tetapi subjek aktif dalam proses politik. Namun, partisipasi warga dalam politik Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah tantangan.
Pertama, ada kesenjangan partisipasi politik antara kelompok elite dan masyarakat akar rumput. Pendidikan politik yang minim, rendahnya literasi digital, serta akses informasi yang timpang membuat sebagian besar warga cenderung apatis atau mudah dimobilisasi untuk kepentingan sesaat.
Kedua, masih ada diskriminasi terhadap kelompok minoritas dalam memperoleh hak-hak kewarganegaraan secara penuh. Isu intoleransi terhadap kelompok agama minoritas, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, serta marginalisasi terhadap kelompok adat masih sering terjadi. Padahal, prinsip kewarganegaraan dalam negara demokratis adalah kesetaraan hak tanpa diskriminasi.
Ketiga, belum optimalnya perlindungan negara terhadap warga negara di luar negeri. Kasus-kasus pekerja migran Indonesia yang mengalami eksploitasi, kekerasan, atau bahkan hukuman mati di negara lain menandakan lemahnya diplomasi perlindungan dan koordinasi antar lembaga negara.
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
Untuk memperkuat sistem politik pemerintahan yang demokratis, Indonesia perlu melakukan reformasi struktural pada partai politik dan sistem pemilu. Transparansi dalam pendanaan politik, pembatasan biaya kampanye, serta dorongan terhadap kaderisasi berbasis kapasitas dan integritas harus menjadi prioritas. Partai politik tidak boleh semata menjadi kendaraan elite, melainkan harus berfungsi sebagai pilar pendidikan politik rakyat.
Kedua, revitalisasi lembaga negara sangat penting untuk memulihkan kepercayaan publik. Mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap lembaga yudikatif harus diperkuat. Rekrutmen hakim dan pejabat publik harus dilakukan secara transparan dan berbasis merit. Lembaga pengawasan independen seperti KPK harus dijaga independensinya dan tidak diintervensi oleh kekuatan politik.
Ketiga, negara harus menjamin hak-hak kewarganegaraan yang setara bagi seluruh penduduk, tanpa diskriminasi. Pendidikan kewarganegaraan harus diperkuat untuk menumbuhkan kesadaran hak dan tanggung jawab warga negara. Negara juga perlu menjamin partisipasi politik yang lebih inklusif, termasuk bagi kelompok rentan dan minoritas.
Penutup
Demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah proses yang harus terus-menerus diperjuangkan. Sistem politik pemerintahan, lembaga negara, dan konsep kewarganegaraan yang sehat akan menjadi fondasi kuat bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan zaman. Namun, jika tidak ada pembenahan serius, kita berisiko menyaksikan demokrasi berubah menjadi sekadar formalitas, di mana kekuasaan tidak lagi berpihak pada rakyat, dan kewarganegaraan hanya menjadi status tanpa makna. Oleh karena itu, keterlibatan aktif seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, hingga warga negara individu, menjadi kunci utama menuju Indonesia yang adil, demokratis, dan beradab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI