Mohon tunggu...
Prayogi R Saputra
Prayogi R Saputra Mohon Tunggu... Dosen - I am Nothing

I am nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Cak Nun, Maiyah, Go-Jek, dan Disrupsi Gerakan Sosial Keagamaan

14 Desember 2018   06:24 Diperbarui: 17 Desember 2018   09:16 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cak Nun pada acara renungan malam tahun baru di Lapangan Rumah Sakit dr Ramelan Surabaya, Minggu (31/12/2017) (KOMPAS.com/ ACHMAD FAIZAL)

Bagian 1: Gerakan Sosial Keagamaan dalam Dekade Disrupsi

Disrupsi, menurut kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti: hal tercerabut dari akar. Dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi dimaknai secara lebih luas sebagai "sedang terjadi perubahan secara mendasar". 

Disrupsi atau sedang berlangsungnya perubahan yang sangat mendasar itu umumnya dikaitkan dengan perubahan model bisnis yang didukung oleh perkembangan sangat cepat teknologi informasi dan internet. Perubahan model bisnis ini serta merta telah mengacaukan lanskap bisnis yang selama ini mapan.

Tak kurang, hal itu menyebabkan banyak bisnis besar yang berjaya selama puluhan tahun mendadak rontok. Ada beberapa model bisnis baru yang bisa diambil sebagai contoh bisnis yang mengacaukan kemapanan model bisnis konvensional. Misalnya: toko online Amazon, "perusahaan transportasi" Uber, Travel Agent "Traveloka", dsb.

Amazon dan Uber dinilai sebagai perintis awal model bisnis baru yang berbasis online. Model bisnis keduanya kemudian dikembangkan oleh para pelaku bisnis muda di seluruh dunia dan dengan segera merontokkan bisnis-bisnis serupa yang telah mapan selama puluhan tahun.

Ambil contoh misalnya di Indonesia. Marketplace (pasar online) yang membanjiri Indonesia sejak Tokobagus (belakangan berubah menjadi OLX), Bukalapak, Tokopedia, mataharimall.com, Lazada, blibli, Sophee, dsb telah merontokkan Matahari dept. store dan Ramayana dept. store. Kedua ritel pakaian itu harus menutup beberapa gerainya karena tak sanggup lagi meladeni persaingan ketat dengan marketplace.

Dalam bisnis transportasi, Blue Bird, perusahaan taksi raksasa yang selama ini menjadi barometer taksi di Indonesia harus susah payah bersaing dengan Go-Car (salah satu layanan Go-Jek) dan Grab-Car. 

Setelah melalui ketegangan yang mengarah ke konflik terbuka antar pengemudi, akhirnya, Blue Bird harus bertekuk lutut di hadapan mereka berdua dengan masuk ke jaringan aplikasi mereka. Di bisnis travel agent, persoalannya juga serupa. Banyak travel agent yang terpaksa menutup usahanya karena kehadiran Traveloka.

Pertanyaan yang bisa diajukan kemudian adalah apakah kekacauan dalam dunia bisnis itu hanya berhenti dalam dunia bisnis saja ataukah bisa meluas ke bidang-bidang kehidupan lain? Apa sajakah yang berubah dari revolusi dunia bisnis seperti di atas? Apakah terbatas hanya pada metode atau cara bisnisnya, ataukah sekaligus mengubah pula cara berpikir dan perilaku bahkan mengubah karakter penggunanya?

Di "zaman now", melalui internet, generasi milenial telah mendapatkan kemerdekaan, kedaulatan dan kesetaraan. Hal yang sulit dibayangkan akan diperoleh di masa pra-intenet. 

Melalui internet, setiap orang memiliki kebebasan berkomunikasi secara langsung dengan siapa pun, tanpa batas. Dengan internet, dunia menjadi flat. Bahkan, generasi "zaman now" bisa mengakses langsung presiden mereka melalui Twitter. Mereka bisa mengkritik, mendukung bahkan menghabisi kebijakan presiden di media sosial. Mereka berdaulat dalam berpikir dan bersikap dan tidak berada dalam tekanan siapa pun.

Setiap orang juga bisa memiliki "media"-nya sendiri, baik itu media tulis (blog pengganti koran dan majalah) maupun video (channel YouTube, pengganti TV). Komunikasi berbasis internet telah menghancurkan hambatan-hambatan struktural dan sosial dari komunikasi serta melepaskan orang dari kontrol "kekuasaan". Baik itu kekuasaan politik maupun kekuasaan modal. 

Sebagai contoh, pada zaman pra internet, untuk menonton siaran langsung Liga Inggris, orang harus tunduk pada channel TV untuk menonton pertandingan tim yang ditayangkan oleh sebuah channel TV. Akan tetapi sekarang, orang bebas memilih pertandingan tim mana yang ingin ditonton melalui streaming.

Hal ini bisa terjadi akibat dari ekspansi internet yang sangat cepat, sehingga generasi saat ini bisa mengakses sumber-sumber informasi dan ilmu secara langsung serta melakukan pemaknaan secara merdeka tanpa perlu ada "perantara". 

Kemudahan akses ini membangun nalar kritis generasi ini menjadi --semestinya--lebih baik. Segala kemudahan tersebut telah mengubah dengan mendasar cara berpikir, sikap dan perilaku generasi "zaman now". Sehingga, diperlukan pendekatan baru untuk merespons perubahan karakter itu.

Demikian halnya dengan gerakan sosial keagamaan. Gerakan-gerakan sosial keagamaan yang telah mapan saat ini memerlukan pendekatan baru agar tetap eksis dan kehadirannya di zaman ini memiliki urgensi. 

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi keagamaan dengan jumlah pengikut terbanyak di Indonesia pun berusaha meraih titik ekuilibrium baru sebagai respons atas perubahan zaman. Upaya-upaya menemukan ekuilibrium baru ini bisa dilihat misalnya dari inisiatif NU memperkenalkan konsep Islam Nusantara dan Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan.

Gagasan Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan merupakan salah satu upaya kedua organisasi sosial keagamaan tersebut untuk membangun narasi dan tetap berada di pusaran utama arus zaman. Lebih jauh, sebagai contoh, Muhammadiyah merekonstruksi kembali peran sosialnya dengan mengembangkan Muhammadiyah Disaster Manajemen Center (MDMC). 

MDMC sebagai lembaga yang bertumpu pada "solidaritas" dimaksudkan untuk membuat Muhammadiyah "hadir" di tengah-tengah masyarakat. Utamanya masyarakat yang sedang diterpa musibah. "Ingin terlibat dalam menangani persoalan sosial" merupakan salah satu karakter generasi zaman ini. 

Maiyah: Dari Pemikiran Hingga Implementasi

Maiyah sejatinya kurang tepat benar disebut sebagai organisasi sosial kegamaan maupun gerakan sosial keagamaan. Karena secara formal, Maiyah tidak mendeskripsikan diri sebagai organisasi sosial keagamaan. 

Akan tetapi, jika disebut sebagai gerakan sosial keagamaan, Maiyah juga tidak atau belum memiliki program-program terencana untuk melakukan perubahan di masyarakat. 

Sebab, menurut pengertiannya, prasyarat gerakan sosial keagamaan adalah memiliki program terencana untuk agenda-agenda masyarakat di masa depan. Sehingga, Maiyah cenderung lebih tepat dipandang–paling tidak hingga hari ini–sebagai visi atas sebuah nilai universal. Sebagai visi, maka Maiyah adalah perangkat lunak atau software yang ditanamkan ke dalam alam pikiran manusia.

Gerak Maiyah bersumber dari konsep Maiyatullah yang dideskripsikan sebagai “Bersama Allah dalam setiap ruang dan waktu yang ditempuh manusia”. Sehingga, setiap momen yang dialami manusia adalah peristiwa di mana Allah tak pernah lepas untuk terlibat di dalamnya.

Maiyatullah–senantiasa bersama Allah–ini kemudian diyakini oleh orang sebagai “pengemban visi”. Pengemban visi ini dipanggil sebagai Orang Maiyah. Orang Maiyah tersebut memiliki cara berpikir dan pandangan sendiri (world view) yang unik atas berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Mereka juga memiliki tata perilaku (code of conduct) nya sendiri yang bisa jadi berbeda dengan orang lain. Orang Maiyah kemudian berkelompok sebagai Jamaah Maiyah.

Jamaah Maiyah seringkali berkumpul untuk mengembangkan diri dengan berbagai cara, sesuai dengan potensi lokal masing-masing. Jamaah Maiyah memiliki dunianya sendiri, sebuah imagined village. Imagined Village itu oleh Cak Nun disebut sebagai Jannatul Maiyah.

Sebagai Visi atau sebagai software, Maiyah tidak mungkin mengikat, baik secara aturan internal maupun secara hukum dengan kaidah-kaidah formal tertentu. Wilayah kerja visi dan software adalah di lapangan kesadaran dan cara berpikir. 

Seperti halnya dunia internet dan media sosial, Jamaah Maiyah lebih merupakan komunitas informal yang terbuka dan tidak memiliki daftar keanggotaan. Ibarat sepetak lapangan rumput, setiap orang boleh masuk, keluar atau berkeliaran di dalamnya dengan berbagai kepentingan yang dibawa masing-masing.

Maiyah tidak mengembangkan struktur otoritatif yang umumnya digunakan oleh organisasi atau gerakan sosial, meskipun peluang untuk itu sangat terbuka. Kalaupun ada komunitas-komunitas Jamaah Maiyah di daerah tertentu yang bertemu, berkomunikasi secara intens bahkan memiliki peran atau proyek sosial bersama–yang disebut Simpul Maiyah–mereka tidak dalam kerangka berada di bawah suatu garis koordinasi struktural. Simpul Maiyah memiliki kedaulatan dan kemerdekaan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi lokal mereka.

Dengan karakter seperti di atas, maka Maiyah ibarat model “gerakan sosial keagamaan mutakhir” yang sedang dan terus menerus mencari formula bagi dirinya sendiri sekaligus mendisrupsi model “gerakan sosial keagamaan konvensional” yang selama ini ada. 

Ibarat Go-Jek yang belum bisa dijelaskan apakah dirinya merupakan perusahaan transportasi, perusahaan financial technology, perusahaan perantara penyedia layanan gaya hidup, atau perusahaan apa. 

Meskipun layanan Go-Jek dinikmati dan membantu masyarakat luas dalam kehidupan sehari-hari mereka, akan tetapi belum bisa dirumuskan profil dirinya sebagai perusahaan apa.

Maka seperti halnya Go-Jek lah Maiyah dalam deskripsinya. Maiyah bukan organisasi ataupun gerakan sosial dalam konsep dan wujud yang selama ini dipahami. Meskipun layanan Maiyah telah dinikmati dan membantu masyarakat dalam menyikapi kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, untuk kepentingan mempermudah pemahaman, penyebutan Maiyah sebagai gerakan sosial kegamaan adalah hal yang paling mendekati realitas Maiyah.

Dari asal usulnya, Maiyah merupakan pemuaian dari dimensi spiritual, dimensi ke-Islaman dan dimensi ke-Indonesiaan dari Cak Nun. Paling tidak, tiga hal itulah yang menjadi tema dominan dalam Maiyah. 

Sehingga, kajian-kajian dalam forum Maiyahan maupun forum-forum Sinau Bareng bersama masyarakat luas senantiasa berada dalam tema-tema diskusi seputar ketiga hal di atas. Di luar, ada tema-tema lain yang sifatnya tentatif menyesuaikan dengan lingkungan di mana Sinau Bareng berlangsung.  (Bersambung, Bagian 1/3)

*Makalah untuk Simposium Regional "Decoding The Labyrinth of Conflict", Unair, 29 November 2018 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun