Mohon tunggu...
Pravita Mutiara
Pravita Mutiara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Government Science'20

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia yang Mendorong Urgensi Pengesahan RUU PKS

16 April 2021   16:02 Diperbarui: 16 April 2021   16:22 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beredarnya stereotip dan persepsi mengenai perempuan di masyarakat tentu akan menimbulkan pemahaman atau pendapat tersendiri terkait pandangan publik terhadap hak dan peran perempuan dari berbagai perspektif, khususnya perspektif perbedaan gender yang masih sering menjadi persoalan di tengah masyarakat. Dahulu, terdapat pemikiran yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat terkait perbedaan hak-hak, peran, dan kewenangan perempuan yang dianggap tidak lebih penting dan terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki. Di Indonesia, pemikiran dan stereotip tersebut menimbulkan adanya pandangan patriarki bahwa perempuan terkesan tidak mampu menonjol atau tidak dapat mendominasi dibandingkan dengan laki-laki, baik secara kemampuan ataupun keseluruhan. Akan tetapi, saat ini pendapat tersebut tidak dapat sepenuhnya dikatakan benar karena tidak adanya pernyataan teruji yang dapat menyatakan secara riil bahwa perempuan tidak mampu untuk melangkah lebih baik dalam melakukan perubahan yang lebih besar. 

Meskipun begitu, perempuan pun berhak untuk diberikan kesempatan yang sama layaknya untuk ikut serta dalam merealisasikan perubahan tertentu dan perlu mendapatkan bentuk perlindungan konkret serta penjaminan hak asasi yang diatur secara hukum, walaupun pada kenyataannya belum dapat terealisasikan dengan baik. Pendapat tersebut sesuai dengan pernyataan yang tercantum di salah satu pasal dalam UUD RI tahun 1945 dan secara garis besar memuat bahwa seluruh masyarakat berhak untuk mendapatkan kenyamanan, tentram dan bebas dari segala bentuk atau tindakan kekerasan. Dengan ini, di era yang sudah mengalami kemajuan mengenai cara berpikir dan pengembangan sudut pandang yang lebih luas atau terbuka juga diharapkan dapat memberikan potensi adanya kemungkinan pengurangan stereotip terhadap perempuan dan pandangan patriarki yang terlalu menjunjung tinggi kedudukan laki-laki dalam segala urusan.

Sebelum itu, masyarakat luas tentu harus memahami dan mengetahui secara umum bahwa perempuan merupakan bentuk sebutan untuk salah satu dari total dua jenis kelamin yang diakui di negara Indonesia. Lazimnya, perempuan juga dianggap sebagai keterwakilan dari makna feminin. Hal ini dikarenakan banyaknya persamaan pendapat masyarakat yang menilai bahwa sosok perempuan biasanya memiliki kemiripan antara satu sama lain mengenai tata kelakuan, daya kemampuan, ciri fisik ataupun kriteria khas lainnya yang lebih berkaitan atau bahkan mencerminkan tolak ukur dari unsur-unsur feminin, sehingga sosok perempuan pun digunakan sebagai wujud yang dapat memaknai atau menjadi ciri khas dari feminisme. Namun, pengertian dari feminisme terlihat berkebalikan dengan persepsi yang menyebar di masyarakat. Definisi feminisme menurut Gadis Arivia selaku salah satu ahli dan aktivis perempuan adalah sebuah teori yang ditujukan untuk meraih hak-hak perempuan dan diperkenalkan oleh para perempuan yang berjuang dengan menyerukan bahwa terdapat suatu tindak penindasan perempuan dan harus dilakukan penonjolan kelebihan atau keutamaan perempuan beserta feminitas dalam berbagai aspek. Mengacu pada definisi tersebut, dapat saya simpulkan bahwa feminisme dapat diartikan sebagai suatu konsep dan pemahaman yang mengacu atau mengarah pada gerakan perjuangan perempuan yang menginginkan terwujudnya kesetaraan antar kedua gender dalam perolehan hak-hak tertentu.

Feminisme juga menitikberatkan pada kesadaran masyarakat agar tidak memandang rendah kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan bernegara atau bermasyarakat. Ditinjau dari persoalan feminisme, terdapat suatu gerakan yang muncul untuk memperjuangkan kepekaan sosial dan kesadaran masyarakat terhadap hak perempuan melalui upaya penyebaran pemahaman tentang keadilan dan keseteraan gender yang ditujukan agar pihak perempuan dari seluruh kalangan dapat diperlakukan sama rata layaknya kaum laki-laki. Menurut saya, secara sederhana pun publik dapat melihat bentuk perjuangan keadilan tersebut dari adanya keinginan perempuan untuk mengubah serta mengevaluasi hal atau bidang tertentu agar penerapannya dapat diberlakukan dengan lebih baik lagi. Salah satu dari hal tersebut, yaitu seperti keinginan dalam konteks persamaan untuk mendapatkan perlindungan, perlakuan dan perilaku dengan seadil-adilnya tanpa memandang unsur atau kepentingan tertentu, baik secara hukum, fisik atau lainnya. 

Munculnya gerakan untuk memperjuangkan hak perempuan pun bukanlah suatu langkah tanpa alasan, melainkan didasari dari adanya keresahan atas permasalahan dan kasus tertentu yang diperkuat dengan informasi yang dilansir oleh berbagai media. Salah satu dari informasi yang dilansir tersebut berasal dari media internet berupa website berita Tempo.co. Dalam website berita tersebut, terdapat hasil publikasi yang mengangkat salah satu permasalahan genting terkait perempuan di Indonesia dengan data perhitungan yang dimiliki oleh lembaga resmi, yaitu mengenai kasus kekerasan perempuan. Berbagai kasus kekerasan perempuan di Indonesia telah tercatat dan terhitung dalam data catatan statistik tahunan oleh Komnas Perempuan dapat dijadikan sebagai bentuk evidensi atas kejadian tersebut. Data Komnas Perempuan menyatakan bahwa sepanjang tahun 2020 telah tercatat banyaknya jumlah kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan mencapai sebesar 299.911 kasus. Dalam data statistik tersebut, laporan penanganan atas permasalahan kekerasan ini merupakan total dari kasus-kasus yang telah didaftarkan ke tiga lembaga negara, yaitu Lembaga Pengadilan dengan 291.677 kasus, Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan dengan 8.234 kasus, serta Unit Pelayanan dan Rujukan Komnas Perempuan dengan 2.389 kasus. Keterangan laporan yang berasal dari ketiga lembaga yang berbeda tersebut menjabarkan bahwa terdapat berbagai macam kasus kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup pribadi ataupun publik, yaitu seperti kekerasan fisik, seksual, perdagangan perempuan, terhadap psikis dan kekerasan akibat perekonomian. 

Meskipun jumlah kasus kekerasan dinyatakan mengalami penurunan setengah angka dari tahun sebelumnya yang mencapai 431.471 kasus, tetapi penyusutan persentase tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai penurunan yang nyata dan signifikan. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang tidak memberikan gambaran, laporan, kondisi, dan catatan penting terkait kasus kekerasan perempuan yang terjadi di wilayah yang bersangkutan. Maka dari itu, kurangnya pemberian informasi tersebut belum dapat memperkuat validasi data statistik karena adanya kekurangan unsur persentase yang tidak terhitung secara spesifik. Hal ini pun memungkinkan adanya jumlah kekerasan yang seharusnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan data yang telah dipublikasi dan menunjukkan bahwa di tingkat kepedulian atau kemanusiaan masyarakat di negara Indonesia belum dapat dijunjung dengan maksimal. Karena pada realitanya, kasus kekerasan pun masih beredar luas. Hal ini dapat dilihat dari salah satu jenis kekerasan yang sering menjadi permasalahan utama di Indonesia, yaitu kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual dinilai justru mengalami peningkatan sejak berlangsungnya pandemi COVID-19. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2021, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyatakan bahwa terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari keseluruhan jumlah 1.008 kasus kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan dan anak yang terjadi dalam sebuah keluarga di masyarakat dan dalam pusaran publik.

Dalam hal ini, Wakil Presiden RI menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan langkah dan upaya untuk menghilangkan, mencegah, serta mengatasi kasus kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan di Indonesia dengan penuh komitmen. Untuk menanggapi upaya lebih lanjut, pemerintah juga telah mengeluarkan inovasi kebijakan baru yang kelak menjadi pedoman utama atas usaha pencegahan dan penanganan konflik kekerasan perempuan. Salah satunya, yaitu dengan membentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual atau kini diketahui sebagai RUU PKS untuk memperkuat dasar aturan mengenai kekerasan karena substansi dalam KUHP atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinilai masih kurang dalam menjamin perlindungan terhadap berbagai kasus kekerasan. RUU ini merupakan wujud urgensi berbentuk naskah undang-undang yang disusun dengan maksud untuk memberikan penjaminan hukum dan perlindungan terhadap korban kasus kekerasan seksual yang mengatur tiga hak untuk korban, yaitu hak penanganan, hak pemulihan, dan hak perlindungan. Namun, RUU ini dinyatakan dihapus dari prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 oleh badan legislatif atau DPR RI. Menurut DPR RI, alasan mengapa dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas dan terus menjadi pertimbangan kelanjutan pembahasan atau pengesahan adalah karena rumitnya untuk mengadakan pembahasan dan keputusan ditengah adanya perbedaan ideologi dengan parlemen. Hal ini tentu saja menjadi kekecewaan tersendiri bagi masyarakat terhadap pemerintah, terutama para perempuan yang sangat mendukung keadilan dan ingin menghilangkan kekerasan.

Menurut argumen saya, penundaan dan penghapusan RUU PKS dari prioritas pembahasan dalam Prolegnas 2020 merupakan keputusan yang kurang tepat untuk dilakukan dan terkesan seperti pemerintah ingin menarik diri dalam upaya penanganan kasus kekerasan yang cukup rumit ini. Karena pada realitanya, selama ini tidak ada bentuk hukum secara resmi yang sungguh-sungguh dapat mengatur dan berperan kuat dalam mengendalikan kasus-kasus tindakan kekerasan yang dialami oleh para perempuan di Indonesia. Pendapat ini juga dinyatakan mengacu pada keraguan pemerintah terhadap pemberlakuan dan penerapan substansi dalam aturan KUHP. Apabila memang terdapat perbedaan ideologi dalam parlemen, mungkin harus lebih dipikirkan dan disesuaikan kembali dengan keadaan masyarakat saat ini yang justru menginginkan adanya pengesahan RUU tersebut. Ditinjau dalam konsep atau prinsip demokrasi Indonesia yang menyatakan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, maka seharusnya pemerintah lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Poin-poin yang tersusun dalam RUU PKS pun lebih difokuskan kepada aturan hukum larangan kekerasan seksual yang dapat mendorong penghapusan tindakan tersebut. Lantas, jika alasannya dikarenakan oleh kepentingan pribadi dari parlemen, maka akan seperti memperjelas ketidaksesuaian tugas dan wewenang pemerintah dalam bertanggung jawab atas rakyatnya berdasarkan konsep demokrasi.

Setelah banyak masyarakat yang bersuara dan semakin gentingnya kasus-kasus kekerasan perempuan di masyarakat, muncul rumor dari pemerintah bahwa RUU PKS termasuk dalam kuota RUU yang akan ditinjau kembali untuk dimasukkan ke dalam daftar prioritas pembahasan Prolegnas. Hal ini merupakan langkah yang sangat baik untuk memberikan perlindungan utama kepada para korban. Namun, tampaknya belum ada perkembangan dan informasi lebih lanjut yang dinyatakan oleh badan legislatif atau oknum pemerintah atas pembahasan RUU ini. Dengan ini, akan lebih baik lagi apabila pemerintah menindaklanjuti proses-proses hukum terkait kasus kekerasan seksual dan memberikan perhatian penuh kepada para korban kekerasan. Wakil Ketua Komnas Perempuan menyatakan bahwa terdapat faktor yang agaknya menyulitkan perempuan dalam melaporkan kasus kekerasan seksual, yakti karena adanya sistematika terkait kewajiban aturan untuk pembuktian kasus yang belum tentu dimiliki oleh korban karena tergantung pada situasi dan kondisi saat mengalami kekerasan tersebut. Dilihat dari sulitnya kondisi tersebut, tampaknya pemerintah harus mengubah dan memikirkan kembali solusi terbaik terkait kewajiban tersebut. Komnas Perempuan juga mengungkapkan harapan besar yang ditujukan kepada pihak pemerintah agar dapat memperhatikan lebih lanjut tentang pemulihan korban dan penyelesaian perkara dari berbagai kekerasan perempuan. Lalu, saya selaku penulis juga ingin mengutarakan bahwa ada baiknya jika pemerintah berkehendak untuk mengupayakan pencegahan kekerasan perempuan dengan menerapkan aturan yang tegas ketika terdapat pihak yang ingin melakukan tindakan tidak berperikemanusiaan tersebut, mengatasi berbagai kasus kekerasan dengan rinci dan teliti supaya korban semakin mendapatkan keadilan, serta menyediakan fasilitas yang memadai dan langkah-langkah pemulihan yang efektif bagi para korban yang mengalami kekerasan dengan harapan dapat menghilangkan seluruh trauma dan pikiran buruk akibat kejadian tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun