Mohon tunggu...
Prastyo Gunawan
Prastyo Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya

Saya adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya yang sedang menempuh semester 2, saya suka menggeluti dunia kreatif bidang audiovisual.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cancel Culture: Keadilan Digital atau Jurang Etika?

9 Juni 2025   18:00 Diperbarui: 9 Juni 2025   15:31 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di era digital yang sangat cepat, media sosial memiliki kekuatan untuk menaikkan dan menjatuhkan reputasi seseorang hanya dalam hitungan menit. Fenomena ini dikenal sebagai cancel culture, yaitu kondisi di mana seseorang atau suatu institusi kehilangan dukungan publik secara massal karena dianggap melakukan pelanggaran moral atau sosial. Wulandari (2022) menyebut cancel culture sebagai mekanisme kontrol sosial baru yang muncul dalam masyarakat digital yang partisipatif dan horizontal.

Cancel culture sering kali dimaknai sebagai bentuk penolakan terhadap figur publik melalui tekanan kolektif di ruang daring. Merriam-Webster mendefinisikannya sebagai kecenderungan untuk menarik dukungan sebagai bentuk ekspresi ketidaksetujuan publik. Definisi ini dipertegas oleh Cambridge Dictionary yang mengartikannya sebagai tindakan publik dalam menghentikan dukungan terhadap seseorang, terutama di media sosial, karena perilaku atau pernyataan yang dianggap ofensif.

Fenomena ini semakin menonjol di Indonesia, seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial. Menurut laporan Kumparan (2025), satu unggahan yang dianggap sensitif dapat memicu seruan boikot terhadap tokoh publik, perusahaan, atau lembaga. Salah satu kasus yang menonjol adalah boikot terhadap PT Alpen Food Industry, produsen es krim AICE, pada tahun 2020. Perusahaan tersebut diboikot setelah muncul dugaan pelanggaran ketenagakerjaan. Reaksi publik saat itu sangat masif dan mempengaruhi citra perusahaan dalam waktu singkat.

Contoh lain adalah boikot terhadap serial "A Business Proposal Indonesia". Salah satu pemainnya dituding menyindir penonton secara tidak pantas. Dalam waktu singkat, media sosial dipenuhi oleh kecaman dan ajakan untuk berhenti menonton serial tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi arena pengadilan publik, di mana penilaian dan sanksi diberikan tanpa mekanisme klarifikasi yang memadai.

Meskipun terlihat sebagai bentuk partisipasi masyarakat, cancel culture tidak lepas dari kritik. Wulandari (2022) menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, cancel culture dilakukan tanpa proses verifikasi informasi yang memadai. Bahkan, dalam beberapa kasus, tuduhan yang mendasari aksi boikot tidak didukung oleh bukti kuat. Rendahnya literasi digital masyarakat menjadi salah satu faktor penyebab. Kominfo (2023) mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia masih mudah terjebak dalam penyebaran hoaks dan informasi tidak terverifikasi. Hal ini diperburuk oleh algoritma media sosial yang memperkuat konten dengan muatan emosional dan kontroversial dibandingkan konten informatif (Zuboff, 2019).

F. Budi Hardiman (2022) mengemukakan pentingnya membangun etika digital di tengah budaya reaktif media sosial. Ia memperkenalkan konsep etika klik, yaitu prinsip jeda reflektif sebelum mengambil tindakan di ruang digital. Dengan mengedepankan nilai berpikir kritis, publik didorong untuk tidak serta merta mengikuti arus cancel culture tanpa mempertimbangkan aspek kebenaran dan dampak sosial.

Sebagai bentuk kontrol sosial, cancel culture memang memiliki sisi positif. Publik dapat menuntut pertanggungjawaban moral dari tokoh yang memiliki pengaruh besar. Isu-isu seperti pelecehan seksual, rasisme, atau diskriminasi dapat diangkat melalui tekanan sosial. Yunus (2021) berpendapat bahwa di satu sisi, cancel culture mencerminkan kesadaran kolektif yang tinggi terhadap nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.

Namun sisi gelap cancel culture tidak boleh diabaikan. Banyak individu yang kehilangan pekerjaan, reputasi, bahkan mengalami tekanan mental karena menjadi target kecaman publik. Proses penghukuman digital sering kali tidak memberi ruang bagi pihak yang dituduh untuk membela diri atau menunjukkan niat memperbaiki. Dalam banyak kasus, publik telah menjatuhkan vonis sebelum ada klarifikasi yang adil.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih berimbang dalam menyikapi cancel culture. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Meningkatkan literasi digital. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memilah informasi, memverifikasi fakta, dan memahami konteks secara menyeluruh (Kominfo, 2023).

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
    Lihat Filsafat Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun