Mohon tunggu...
Prama Ramadani Putranto
Prama Ramadani Putranto Mohon Tunggu... Guru - Menebar Kebaikan dan Energi Positif

Menebar Kebaikan dan Energi Positif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bapak Ibu Guru Kok Marah Melulu Sih?

22 Desember 2022   17:59 Diperbarui: 22 Desember 2022   18:14 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan adalah tentang Memanusiakan Manusia- Sumber : edukasi.kompas.com

"Terkadang niat baik yang tidak tersampaikan dengan baik misalkan saja dengan nada tinggi ketika memberikan nasihat, bisa jadi sebuah alasan trauma mendalam bagi seorang anak, atau dalam hal ini adalah murid."

Mungkin kita pernah memiliki pengalaman pahit ketika duduk di bangku sekolah. Misalnya saja ketika tak mampu mengerjakan soal di depan kelas mendapatkan sabetan rotan di bagian tubuh kita, atau mungkin harus menanggung malu di hadapan banyak teman ketika melakukan sebuah kesalahan yang terkait dengan kedisiplinan. Sebuah hukuman seringkali menjadi sebuah solusi dalam penyelesaian berbagai masalah yang terkait dengan murid dalam sebuah bingkai upaya pendidikan untuk membentuk karakter murid itu sendiri. 

Persoalan kedisiplinan menjadi salah satu hal yang seringkali menjadi alasan mengapa murid harus menerima hukuman. Mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), rasanya akrab sekali dengan hukuman-hukuman yang terkadang membuat hati jengkel, marah, bahkan terekam dalam memori hingga dewasa, atau bisa saja disebut sebagai trauma.

Disiplin Positif dan Kebajikan Universal

Ketika masih menggunakan hukuman yang membuat seorang murid menjadi trauma, misalnya saja dengan hukuman yang tidak relevan dan cenderung menggunakan kekerasan fisik atau kekerasan verbal dalam praktiknya, sudah barang tentu akan membuat anak tidak nyaman dan tidak efektif dalam penyelesaian permasalahan tersebut. 

Kemungkinan seorang murid menjadi pendendam juga begitu besar karena tidak terima diperlakukan seperti itu, hilang kepercayaan diri, minder, atau bahkan menjadi pemicu permasalahan kesehatan mental lainnya. Hal ini sungguh berbahaya jika terus-menerus terjadi dalam sebuah proses pendidikan. Perlu rasanya kembali mengingat pesan Ki Hadjar Dewantara, bahwasannya seorang guru itu harus mampu "menuntun" murid-muridnya dengan segala keunikan yang dimilikinya. Rasa perlu mencoba menggali potensi terkait dengan nilai-nilai kebajikan univerisal yang dimiliki setiap orang, dalam hal ini adalah murid, yakni sebuah sifat positif manusia yang ingin dicapai oleh setiap individu. 

Hal ini menjadi motivasi utama untuk diwujudkan di setiap murid, seorang guru berperan besar dalam penerapan disiplin positif sebagai upaya mewujudkannya. Nilai-nilai kebajikan menjadi stimulus untuk membangun motivasi intrinsik murid untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi

"Dalam upaya penegakan peraturan di sekolah ataupun keyakinan kelas/sekolah, manakah yang lebih tepat dan efektif digunakan dalam penyelesaian suatu permasalahan? Apakah hukuman, konsekuensi, atau restitusi?"

Ketika sabetan rotan rasa sakitnya tidak hanya membekasi di bagian tubuh yang terkena sabetan itu, namun juga meninggalkan bekas trauma mendalam dan berkepanjangan bagi seorang siswa, artinya sebuah proses pendidikan dengan menerapkan hukuman bukanlah sebuah hal yang tepat untuk dilakukan. Lalu bagaimana cara yang tepat dalam membentuk karakter positif dalam diri murid itu sendiri? 

Adalah kolaborasi antara konsekuensi dan restitusi menjadi sebuah solusi. Memberikan penekanan konsekuensi terhadap murid apabila melanggara keyakinan kelas atau sekolah rasanya akan membuat murid itu sendiri lebih mudah menerima apapun yang terjadi bilamana ia melakukan sebuah kesalahan tanpa ada penolakan dan amarah yang berlebuh di dalam dirinya. 

Lalu setelah itu, penerapan restitusi yakni sebuah upaya penciptaan kondisi bagi murid dalam upaya memperbaiki diri dari segala kesalahan yang telah diperbuat sehingga kembali siap ketika kembali kepada kelompoknya dengan karakter yang lebih kuat menjadi kolaborasi yang tepat dalam sebuah proses pendidikan. 

Seorang murid akan merasakan lebih dihargai dengan cara seperti ini. Inilah salah satu wujud penerapan "menuntun" seperti halnya yang disampaikan Bapak Pendidikan Nasional kita Ki Hadjar Dewantara.

Lima Posisi Kontrol dan Segitiga Restitusi

"Pertanyaan yang diajukan pada murid dan tindakan atau pendekatan yang tepat ketika melakukan penyelesaian masalah yang terkait dengan murid menjadi hal penting dalam mewujudkan pendidkan yang mampu memanusiakan manusia."

Rasanya sudah bukan zamannya lagi seorang guru marah-marah kepada murid yang melakukan kesalahan. Hal demikian akan menjadikan trauma mendalam dan berkepanjangan bagi murid itu sendiri. Alih-alih ingin membuat murid sadar akan pentingnya berbuat baik, namun malah sebaliknya hal ini akan menimbulkan dendam dalam diri murid itu sendiri. 

Guru rasanya perlu menyadari lima posisi kontrol ketika menghadapi ragam permasalahan yang muncul pada murid. Kuncinya dalah bagaimana mengajukan sebuah pertanyaan yang tepat kepada murid. Pertanyaan yang diajukan merepresentasikan dimana posisi guru itu berada, apakah sebagai penghukum, pembuat merasa bersalah, teman, pemantau, atau manajer. Posisi perilaku kontrol negatif berada pada posisi penghukum dan pembuat orang merasa bersalah. Hal ini terwujud dari pertanyaan yang diajukan kepada murid. 

Seorang penghukum akan mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang terkesan menghardik, menyakiti, hingga menyindir sedangkan posisi pembuat orang merasa bersalah akan berceramah dan menunjukkan kekecewaan mendalam. Kedua hal ini merupakan perilaku negatif dan akan gagal dalam upaya pemulihan identitas murid itu sendiri. Lain halnya dengan posisi sebagai teman atau pemantau, keduanya cenderung menunjukkan perilaku kontrol positif. Seorang guru yang memposisikan sebagai teman dan pemantau sebenarnya mampu memperbaiki identitas murid, namun murid akan ketergantungan dan hanya akan berbuat sesuai dengan ketentuan jika diawasi.

Lain halnya jika guru mampu memposiskan sebagai manajer, ia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat kepada murid dan mampu menguatkan watak atau karakter murid itu sendiri, sehingga terbangun sebuah motivasi intrinsik dalam diri murid, sehingga murid akan mampu mengevaluasi diri dengan baik dalam upaya perbaikan.

"Penerapan segitiga restitusi menjadi solusi dalam upaya penguatan watak atau karakter murid dan hal ini sejalan dengan falsafah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara."

Ketika menghadapi murid yang sedang dalam sebuah permasalahan atau mungkin baru saja melakukan kesalahan, perlu rasanya memposisikan diri secara tepat. Merangkulnya dan memberikan kehangatan serta kenyamanan tentunya dalam upaya mendukung perbaikan dalam diri murid itu sendiri. Menghardik, memarahi, atau mungkin menyindir rasanya bukan langkah yang tepat dalam penyelesaian suatu permasalahan dalam diri murid.

Segitiga restitusi dengan langkah-langkah yang ada di dalamnya memberikan solusi. Ada tiga tahapan yang harus dilalui ketika menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada murid. Ketika mendapati murid yang melakukan sebuah kesalahan, hal pertama yang dilakukan adalah Menstabilkan Identitasnya, hal ini bertujuan untuk mengubah identitas murid yang gagal, gagal dalam hal ini adalah dikarenakan ia telah melakukan suatu kesalahan. 

Oleh sebab itu, sebagai guru perlu untuk melepasakan murid dari jerat rasa bersalah yang berkepanjangan. Hal ini jelas akan berpengaruh dalam upaya perbaikan dirinya jikalau masih saja terbayang-bayang kesalahan yang telah diperbuatnya. Langkah kedua adalah Validasi Tindakan yang Salah. 

Baik dan buruk suatu hal yang dilakukan terjadi karena sebuah alasan, oleh sebab itu guru perlu memahami mengapa seorang murid melakukan sebuah kesalahan, dengan begitu ia akan merasa dicintai dan dipahami sehingga menjadi modal penting untuk menuju langkah perbaikan diri selanjutnya. Langkah terakhir dalam tahapan segitiga restitusi adalah dengan Menanyakan Keyakinan, hal ini dilakukan untuk nilai-nilai yang dipercaya murid untuk dicapai. Peran guru adalah membantu menjaga gambaran tentang nilai positif yang ada dalam diri murid untuk dicapai sebagi upaya perbaikan dirinya. 

Kehadiran guru adalah pemberi rasa aman dan nyaman. Ketika bicara pendidikan, maka cara-cara yang dilakukan pun jelas harus penuh dengan kasih sayang dan mampu memanusiakan manusia. Hal ini jelas akan membuat murid terbangun motivasi intrinsiknya dan semakin kuat karakternya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Penerapan nilai-nilai mulia Ki Hadjar Dewantara yakni "menuntun" murid tentunya dengan kasih sayang sehingga mampu mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. (prp)

1.4.a.8 Koneksi Antar Materi - Modul 1.4

Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 7 Kabupaten Semarang

Prama Ramadani Putranto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun