Anak Jago Hafalan Tapi Gagap Kehidupan, Salah Siapa?
Pernahkah kamu melihat seorang siswa yang nilainya selalu sempurna di rapor, hafal semua rumus di luar kepala, tetapi bingung setengah mati saat diminta menyelesaikan masalah sederhana di dunia nyata? Ia mungkin bisa menyebutkan semua ciri-ciri ekosistem, tetapi tidak tahu harus berbuat apa saat melihat sampah menumpuk di lingkungan sekitarnya. Fenomena ini ironis, namun nyata adanya. Kita sering terjebak memuji anak yang "pintar" di atas kertas, tanpa bertanya, "pintar" untuk apa? Jangan-jangan, selama ini kita hanya memberi mereka daftar belanjaan tanpa peta dan tujuan, lalu berharap mereka sampai di tempat yang benar, YA, CUMA BERHARAP.
Bukan Sekadar 'Pokoknya Paham', Inilah Peta Belajar Sebenarnya
Di dunia pendidikan, ada istilah yang terdengar teknis tetapi sebenarnya sangat mendasar: Tujuan Pembelajaran. Sederhananya, ini adalah jawaban dari pertanyaan, "Setelah belajar bab ini, siswa diharapkan bisa melakukan apa?". Selama ini, banyak tujuan pembelajaran yang terjebak dalam kata-kata abstrak seperti "memahami," "mengerti," atau "mengetahui." Masalahnya, bagaimana cara kita mengukur pemahaman seseorang? Â Apakah dengan melihat anggukan kepalanya saat guru menerangkan?
Robert Mager (1962) pernah menawarkan formula ABCD (Audience, Behavior, Condition, Degree) sebagai solusi:
Audience: siapa yang belajar? (misalnya, peserta didik kelas XI)
Behavior: perilaku apa yang bisa diamati? (misalnya, mampu menganalisis teks)
Condition: dalam kondisi apa? (misalnya, lewat diskusi kelompok)
Degree: standar keberhasilan apa? (misalnya, ketepatan minimal 80%)
Dengan kerangka ini, tujuan seperti "Siswa memahami teks eksposisi" berubah menjadi:
"Peserta didik kelas XI mampu menganalisis teks eksposisi melalui diskusi kelompok dengan ketepatan minimal 80%."