Bayangkan ada dua guru.
Guru A menulis tujuan di RPP-nya: "Siswa memahami konsep demokrasi."
Di kelas, ia menjelaskan sejarah dan definisi demokrasi, lalu memberikan tes pilihan ganda di akhir. Siswa yang hafalannya kuat akan dapat nilai 100. Namun, apakah mereka benar-benar paham esensinya? Apakah mereka bisa melihat nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari? Sulit diukur.
Guru B, sebaliknya, menulis tujuan: "Setelah simulasi pemilihan ketua OSIS, siswa mampu menganalisis tiga prinsip demokrasi yang berjalan dalam proses tersebut secara tertulis."
Untuk mencapainya, ia merancang aktivitas debat kandidat, pemungutan suara, dan diskusi kelompok. Penilaiannya bukan lagi sekadar hafalan definisi, melainkan analisis kritis terhadap pengalaman yang mereka jalani.
Perbedaan hasilnya sangat nyata. Pada Guru A, siswa hanya menjadi penghafal definisi demokrasi. Pada Guru B, siswa benar-benar menjalani dan merefleksikan demokrasi dalam bentuk pengalaman belajar yang bermakna.
Dari kisah ini terlihat jelas bahwa kualitas pendidikan bukan ditentukan oleh banyaknya materi yang diberikan, melainkan oleh sejauh mana tujuan pembelajaran dirancang dengan jelas dan terhubung dengan praktik nyata.
Pendidikan yang hanya berhenti pada hafalan akan melahirkan generasi yang pintar di atas kertas tetapi gagap menghadapi realitas. Sebaliknya, pendidikan yang menekankan pada tujuan yang jelas, terukur, dan kontekstual akan menyiapkan anak-anak kita menjadi pembelajar sejati yang mampu berpikir kritis, bertindak relevan, dan berkontribusi nyata bagi masyarakat. Jika kita ingin sekolah melahirkan generasi yang siap hidup, bukan sekadar siap ujian, maka model Guru B-lah yang seharusnya menjadi arah.
Pelajaran Berharga: Tujuan Bukan Dokumen Mati
Dari sini kita belajar bahwa tujuan pembelajaran bukanlah sekadar formalitas administrasi yang disimpan di laci kepala sekolah. Tujuan itu adalah kontrak, sebuah janji dari pendidik kepada peserta didik. Janji untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna, relevan, dan memberdayakan.
Konsep yang diperkenalkan oleh Biggs (1999) sebagai constructive alignment menegaskan hal ini. Harus ada benang merah yang lurus antara tujuan yang ingin dicapai, aktivitas belajar yang dilakukan di kelas, dan cara penilaian yang digunakan. Jika tujuannya adalah melatih kolaborasi, aktivitasnya harus kerja kelompok, dan penilaiannya harus mengukur kontribusi setiap individu dalam tim. Â Sederhana, logis, tetapi sering terlewatkan.
Mari Rancang Peta, Bukan Sekadar Daftar Belanjaan
Pada akhirnya, tugas kita bersama, baik sebagai pendidik, orang tua, maupun pemangku kebijakan, adalah berhenti memberikan "daftar belanjaan" berupa materi hafalan kepada anak-anak kita. Mari kita berikan mereka "peta" yang jelas. Peta yang menunjukkan ke mana mereka akan pergi, kemampuan apa yang mereka butuhkan untuk sampai di sana, dan bagaimana mereka tahu bahwa mereka telah tiba di tujuan.